Blokeng adalah seorang pemuda berusia 23 tahun dengan penampilan yang garang dan sikap keras. Dikenal sebagai preman di lingkungannya, ia sering terlibat dalam berbagai masalah dan konflik. Meskipun hidup dalam kondisi miskin, Blokeng berusaha keras untuk menunjukkan citra sebagai sosok kaya dengan berpakaian mahal dan bersikap percaya diri. Namun, di balik topengnya yang sombong, terdapat hati yang lembut, terutama saat berhadapan dengan perempuan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Latah Asu! Dan Celeng!
Blokeng melangkah dengan penuh semangat setelah bertemu dengan teman barunya di warung makan. Dia merasakan adrenalinnya masih mengalir, dan semangat baru membara dalam dirinya. Namun, semangatnya tak bertahan lama saat dia melewati jalan setapak yang dikenal sebagai jalur rawan di pinggir kota.
Di sepanjang jalan itu, banyak hewan liar berkeliaran. Tak lama setelah berjalan, dia mendengar suara gaduh dari semak-semak di sampingnya. Suara itu semakin mendekat, dan saat dia menengok, seekor anjing liar tiba-tiba melompat keluar, menyalak dengan keras.
“Latah asu!” teriak Blokeng sambil melompat mundur. Reaksi spontan itu datang dari dalam dirinya, tak ada yang bisa mengontrolnya. Rasa takut dan kaget mengalahkan logika. Dia merasa jantungnya hampir copot. “Dasar anjing!” Blokeng mencak-mencak, meskipun di dalam hati dia tahu itu hanyalah anjing yang terkejut.
Anjing itu tampak bingung, tetapi tidak menyerang. Justru, dia melarikan diri dan berlari menjauh. Blokeng menepuk dada sambil tertawa kecil. “Aku memang berani, ya? Membuat anjing lari ketakutan,” ucapnya dengan bangga, meski dalam hatinya dia menyadari betapa lucunya kejadian itu.
Namun, keceriaannya tidak berlangsung lama. Tiba-tiba, dia melihat sekelompok celeng di pinggir jalan. Seekor celeng besar berdiri dengan mata yang tajam, seolah menantang siapa saja yang berani mendekat. “Kau mau ngapain, celeng?” gumam Blokeng. Sifat preman yang dia miliki muncul kembali, dan dia merasakan semangat untuk menunjukkan keberaniannya.
“Eh, celeng! Lihat sini!” teriak Blokeng, sambil melangkah maju. Dia mencoba untuk mendekati celeng itu, berharap bisa berinteraksi, meskipun dia tahu betul bahwa itu bukanlah ide yang baik. Celeng itu hanya memandangnya dengan mata tajam, tak gentar sedikit pun.
“Latah asu! Kau tidak berani, ya?” tantang Blokeng, sambil berusaha terlihat menakutkan. Dia berusaha menampilkan keberanian, tetapi dalam hatinya, dia merasakan sedikit ketakutan. “Jangan sampai aku dicari celeng untuk dijadikan makan malam,” pikirnya sambil tertawa kecut.
Namun, celeng itu seolah-olah tidak terpengaruh dengan tantangannya. Dia hanya berdiri di sana, tidak bergerak. Melihat ini, Blokeng semakin merasa penasaran. “Ayo, celeng! Kau tidak mau gelut?” tantangnya lagi, tetapi kali ini celeng itu mulai merengut, seolah merasa terhina.
“Jangan bilang kau takut!” teriak Blokeng, melangkah lebih dekat. Tiba-tiba, celeng itu mengeluarkan suara keras, membuat Blokeng mundur sejenak. “Sial! Kayaknya dia tidak mau bercanda,” ujarnya sambil tertawa nervously.
Dalam momen itu, Blokeng memutuskan untuk melangkah mundur. “Oke, oke! Aku menyerah! Mari kita berdamai,” ujarnya, lalu berbalik dan pergi. Tetapi saat dia melangkah pergi, celeng itu mendekat dan mencium aroma dari tas Blokeng, yang ternyata menyimpan makanan sisa dari warung tadi.
“Dasar celeng! Cuma mau cari makan,” Blokeng menggelengkan kepala. Dia tidak bisa menahan tawa melihat tingkah celeng itu. Namun, dia juga merasa sedikit terancam. “Bisa-bisa aku diserbu segerombolan celeng,” pikirnya.
Saat dia melanjutkan perjalanan, dia mendengar suara gaduh lagi. “Latah asu!” teriaknya lagi, kali ini karena kaget melihat sekelompok anak muda yang tertawa melihatnya dari kejauhan. Mereka ternyata menyaksikan seluruh pertunjukan konyol antara Blokeng dan celeng.
“Eh, bro! Kamu hebat! Nyaris saja gelut sama celeng!” salah satu dari mereka teriak, membuat Blokeng merasakan campuran antara malu dan bangga.
“Ya, ya! Aku memang berani!” jawab Blokeng sambil melambai ke arah mereka, berusaha menunjukkan bahwa dia tidak peduli. Namun, di dalam hatinya, dia tahu dia baru saja melakukan hal paling bodoh di sepanjang hidupnya.
“Dari sekarang, aku harus lebih berhati-hati. Jangan sampai ketemu hewan liar lagi,” gumamnya sambil melanjutkan perjalanan pulang, tidak sabar untuk menceritakan pengalamannya yang konyol kepada teman-teman barunya. Momen-momen lucu seperti ini selalu bisa menghibur, dan itu adalah bagian dari hidup yang tidak ingin dia lewatkan.
Belum reda rasa kaget dan malu setelah menghadapi celeng, Blokeng mendengar suara menggeram di belakangnya. Sebelum sempat berbalik, sebuah gigitan tajam menyengat kulit kepala belakangnya. “Auw!” teriak Blokeng sambil melompat ke samping, menyentuh kepalanya yang terasa perih.
“Latah asu!” teriaknya lagi, kali ini dengan nada kemarahan. Dia berbalik dan melihat seekor anjing, yang tampak seperti anjing liar, berdiri dengan tubuh tegak. Anjing itu menatapnya dengan tatapan yang tajam, seolah menantang Blokeng untuk berbuat lebih lanjut.
“Loh, kamu ini mau ngapain? Emang siapa yang ngajak berantem?” Blokeng mencoba untuk mengesankan keberanian, meskipun hatinya bergetar. Saat itu, dia merasa sedikit terjepit antara kebodohan dan keberanian yang berlebihan.
Anjing itu menggeram pelan, menunjukkan gigi-giginya yang tajam. Blokeng merasa sedikit merinding. “Sial, ini anjing galak!” pikirnya. Dia berusaha tenang, mengambil napas dalam-dalam sebelum merespons. “Hey, aku hanya bercanda! Kamu nggak perlu galak-galak begini,” ujarnya, berusaha meredakan situasi.
Namun, anjing itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan mundur. Blokeng merasakan panik mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Dalam sekejap, dia pun berlari menjauh sambil menjerit, “Ayo, jangan kejar aku! Aku cuma mau pulang!”
Anjing itu mengikutinya, semakin mendekat, dan menggonggong dengan keras. Di saat-saat tegang seperti itu, Blokeng merasa lebih mirip seperti karakter dalam film komedi yang terjebak dalam situasi konyol.
Sambil berlari, dia teringat kembali pada pengalaman menggelikan yang dia alami. “Ini semua gara-gara celeng! Kenapa aku harus bertindak bodoh?!” teriaknya, walaupun di dalam hatinya dia ingin tertawa.
Setelah berlari sejauh mungkin, Blokeng akhirnya menemukan tempat yang aman. Dia bersembunyi di balik pohon besar, sambil berusaha mengatur napas. “Hah… hah…,” dia menarik napas panjang. “Kok bisa ya, dari celeng ke anjing, hidupku kayak roller coaster!”
Anjing itu berhenti mengejar dan berdiri di jarak yang aman, tampak bingung. Seolah mengatakan, “Kenapa kamu lari?” Blokeng menatap anjing itu dengan rasa takut campur rasa lucu. “Mungkin aku salah paham, ya? Kalian semua cuma cari teman!” ujarnya, berusaha bernegosiasi dengan anjing itu.
Setelah beberapa saat, anjing itu mundur perlahan dan mulai menjauh. Blokeng memanfaatkan kesempatan ini untuk beranjak dari tempat persembunyiannya. “Syukurlah, itu bukan cara yang baik untuk bertemu teman baru,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Dengan rasa lega, Blokeng melanjutkan perjalanannya. Namun, dia tidak bisa menghilangkan perasaan aneh yang menggelayuti pikirannya. “Hari ini benar-benar aneh. Mungkin ini saatnya untuk istirahat sejenak dari petualangan konyol,” pikirnya, bertekad untuk pulang dan menyimpan semua cerita ini untuk dibagikan kepada teman-temannya nanti.
Saat dia sampai di rumah, dia merasa kelelahan tetapi bahagia. Meski hari itu penuh kejadian lucu dan menegangkan, Blokeng tahu satu hal: setiap pengalaman, baik buruk atau konyol, adalah bagian dari hidupnya yang harus dinikmati. Sambil merebahkan tubuhnya di kasur, dia tersenyum, memikirkan semua momen-momen aneh yang baru saja dialaminya. “Siapa yang tahu, besok bisa lebih seru lagi!” ucapnya dengan semangat, sambil terlelap dalam tidur.