Jangan pernah sesumbar apapun jika akhirnya akan menelan ludah sendiri. Dia yang kau benci mati-matian akhirnya harus kau perjuangkan hingga darah penghabisan.
Dan jangan pernah meremehkan seseorang jika akhirnya dia yang akan mengisi harimu di setiap waktu.
Seperti Langit.. dia pasti akan memberikan warna mengikuti Masa dan seperti Nada.. dia akan berdenting mengikuti kata hati.
.
.
Mengandung KONFLIK, di mohon SKIP jika tidak sanggup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Cerita yang lalu.
"Sampai saat ini, saya masih menafkahi Airin dan Nawang." Kata Bang Langkit.
"Yaa.. Ranca pun juga masih menafkahi Nawang dan Airin. Tapi sebagai manusia yang sebenar-benarnya manusia, hendaknya kita bertanggung jawab penuh atas moral dan materiil yang sudah kita lakukan. Sebab dosa kita tetap akan di perhitungkan nantinya." Jawab Mbah Kakung.
"Airin sakit jiwa, sejak kejadian itu dia tidak bisa di ajak bicara. Apakah seumur hidup, aku tidak berhak memiliki masa depan????" Kata Bang Langkit.
Bang Ratanca melayangkan tinjunya mendengar jawaban sahabatnya. Ini masa yang paling menakutkan sekaligus menyakitkan dalam sebuah perjalanan hidup.
Tangis Bang Ratanca bercucuran. Jika mungkin dulu dirinya sempat menangisi Airin, sekarang dirinya sungguh ketakutan jika Dinar akan salah paham dan membuat mental serta kandungannya terganggu.
Mbah Kakung mengamati amarah cucunya yang meledak-ledak, namun kemudian dengan santainya menyentuh lengan cucunya.
"Amarah tidak akan menyelesaikan masalah, Ngger. Tahan emosimu, ada ibu hamil yang harus tenang..!!" Bisik Mbah Kakung.
Bang Langkit pun kembali duduk dan Bang Ratanca langsung menyulut rokoknya. Suasana menjadi panas sekaligus dingin.
Mbah Kakung yang tau kondisinya sudah semakin meruncing. Apalagi cucunya masih begitu penasaran dengan perasaan sahabatnya untuk Dinar.
"Ada baiknya Langkit kembali pulang dulu, kita harus saling menenangkan hati dan pikiran. Jangan sampai segala amarah, emosi, keras hati malah jadi terlampiaskan pada para bumil. Dinar, juga 'istri' Langkit butuh ketenangan." Saran Mbah Kakung. Beliau yang sudah lebih dulu makan asam garam kehidupan pastinya lebih paham langkah terbaik untuk menyelesaikan permasalahan.
Mbah Kakung bukannya tidak percaya dengan cucunya, namun terkadang sikap emosional seorang Ratanca masih sulit untuk di kendalikan dan dirinya tidak ingin cucunya gegabah.
Bang Langkit segera berpamitan. Ia pun butuh menenangkan diri untuk menyelesaikan permasalahan yang sudah terjadi.
Bang Ratanca pun masuk ke dalam rumah membawa amarah memuncak dalam dada.
"Rancaaa.. tahan emosi mu..!!" Kata Mbah Kakung mengingatkan.
***
Hingga subuh nyaris berkumandang, Bang Ratanca tetap tidak bisa memejamkan matanya sedangkan Dinar sudah terbuai mimpi dan terhanyut dalam tidurnya.
Wajah Airin tidak bisa hilang dari ingatannya yang terus berkelebat menghantui dan membuatnya terus merasakan sakit tak terkira.
Flashback Bang Ratanca On..
"Ku antar kau pulang..!!" Kata Bang Ratanca.
"Aku nggak mau kamu temui Genk motor itu Ran. Tolong mengertilah..!! Aku takut..!!" Kata Airin.
"Mereka onar, sayang. Keliling setiap malam dan membegal orang tidak bersalah di luar sana." Jawab Bang Ratanca.
"Itu bukan tugasmu, itu tugas pihak yang berwajib." Airin begitu tidak menyukai hobby Bang Ratanca yang selalu berhubungan dengan kekerasan.
"Aku tau, tapi apa kita harus menunggu lebih banyak korban yang mati sia-sia. Kau lihat ibu mereka menangis meraung-raung karena kehilangan anak yang sudah mereka rawat dengan kasih sayang. Genk be**bah itu memutus do'a dan harapan. Ibu mereka bertaruh nyawa melahirkan anak dan mereka dengan entengnya menghilangkan nyawa." Ujar Bang Ratanca tidak bisa menahan emosi setiap mendengar anggota Genk motor arogan selalu mencari mangsa.
"Ikutlah aturan, Ran. Kau benar-benar tidak ingin lulus dengan baik dan menjadi menantu Papaku??? Beliau ingin kau kuliah dan menata masa depan." Bujuk Airin.
"Kau tau aku ini tidak suka di perintah orang lain. Untuk apa aku membuka usaha wedding organizer dan jadi penghias hantaran kalau akhirnya aku harus di perintah orang dan bekerja di perusahaan, apalagi perusahaan Papamu. Aku tidak mau jadi pesuruh..!!!!" Ucap tegas Bang Ratanca.
"Tapi Ran, semua demi masa depanmu..!!!"
"Masa depan ada di tangan kita..!!! Kau tau.. aku menahan semua hinaan, di katakan banci karena dekat dengan bunga pun aku rela. Biarkan aku bekerja keras, nantinya semua ini juga akan untukmu..!! Itu.. kau lihat motor itu. Aku setengah mati untuk bisa membelinya..!!" Tunjuk Bang Ratanca kemudian mengambil helmnya dan mengambilkan nya juga untuk Airin. "Sudahlah.. pakai helm ini, aku antar kau pulang..!!"
Airin menepak helm yang di berikan kekasihnya, ia melipat kedua tangan di depan dada lalu berjalan menjauh.
Kesal Bang Ratanca sudah di ubun-ubun kepala. Bagaimana bisa Airin tidak memahami inginnya bahkan Airin juga ingin dirinya mengikuti kata Papanya yang seorang pengusaha.
Tepat saat itu Bang Langkit dan Bang Dalu datang. Kedua sahabatnya itulah yang selama ini selalu mengerti dirinya.
"Jangan ribut sama perempuan..!! Malu, Ran..!!" Bujuk Bang Dalu.
"Aku kejar Airin ya..!!" Kata Bang Langkit.
Bang Ratanca tidak menjawabnya, hatinya semrawut tak karuan apalagi keadaan keluarganya saat itu sedang berantakan. Istri pertama ayahnya meminta agar ayahnya menceraikan ibunya.
"Istighfar Ran..!! Tidak akan ada permasalahan yang tidak bisa di selesaikan. Kamu fokuslah dengan sekolahmu. Sebentar lagi kita ujian..!!" Bang Dalu terus menyemangati Bang Ratanca bahkan di saat keadaan terpuruk sekalipun.
"Kepalaku rasanya mau pecah. Di rumah setiap hari hanya ada keributan. Aku selalu melihat ayahku menampar Mama, Bundaku menangis, merokok, mabuk untuk menghilangkan stress. Disisi lain Airin selalu menekanku agar bisa sesuai dengan keinginan ayahnya. Aku juga punya keinginan, aku punya pilihan dan aku punya keputusan..!!!!!" Jawab Bang Ratanca meluapkan isi hatinya yang tertahan.
Bang Dalu menarik sahabatnya agar bersandar di bahunya, ia menarik kotak rokok dan menyulutkan rokok untuk sahabatnya itu.
"Kau paham nasib kita tidak beda jauh, hanya saja Papaku tidak pernah kasar dengan Mamaku yang sekarang. Aku juga masih beruntung karena Ayahku sangat sayang padaku hingga aku nyaman bersamanya meskipun ayahku bukanlah ayah biologisku." Kata Bang Dalu. "Dengarkan aku, Ran. Kita ini tidak bisa memilih akan terlahir dari ayah yang mana dan rahim siapa. Tapi sejatinya saat kita terlahir sebagai manusia, maka berbuatlah hal baik meskipun orang lain tidak menganggapnya baik. Percayalah, ada awal pasti akan ada akhir dan yakinkan hatimu bahwa suatu saat nanti, bahagiamu akan datang di saat yang tepat."
Bang Ratanca terisak mendengarnya. Ia menangis meluapkan perasaannya. Sama saja seperti wanita, sebenarnya pria pun membutuhkan bahu sebagai sandaran, hanya saja pandangan mata orang tentang kekuatan seorang pria membuat tangis dan rasa menjadi tabu untuk di ungkapkan.
"Kadang rasanya aku tidak kuat, aku ini hanya sampah.. sampah yang tidak berguna."
"Wes Ran.. uwes..!!!! Ojo nangis wae. Kalau sampai pingsan disini, aku nggak mau angkat. Badanmu berat..!!" Omel Bang Dalu.
Flashback Bang Ratanca off..
Bang Ratanca memijat pelipisnya. Setelah hari itu gelapnya hari pun di mulai. Secepatnya Bang Ratanca memeluk Dinar. Saking eratnya, Dinar pun sampai terbangun.
"Om Ran.. Om Ran nangis?????" Tanya Dinar.
"Menyesalkah kamu bertemu denganku, Dinar??"
Kening Dinar berkerut, ia sama sekali tidak paham maksud Bang Ratanca. Kali ini dirinya melihat sosok Ratanca dengan pribadi yang berbeda, suaminya itu gemetar dan nampak ketakutan.
"Bisakah kamu memaafkan saya, jangan tinggalkan saya..!! Saya hanya ingin bersandar padamu..!! Saya takut..!!" Ucapnya kemudian.
Dinar tidak menjawabnya. Di balasnya pelukan itu dan membelai rambut hingga punggung Bang Ratanca dengan lembut meskipun batinnya bertanya-tanya.
.
.
.
.