Raisa terpaksa menikah dengan Adam, bodyguard dari Papanya sendiri, karena insiden di satu malam yang telah di rencanakan pesaing partai Papanya.
Posisi Papanya yang menjadi orang momor satu dari sebuah partai politik membuat Raisa terpaksa menerima pernikahan yang sama sekali tidak pernah ia inginkan itu demi menyelamatkan Papanya juga nama baiknya sendiri karena foto-foto vulgarnya itu telah di sebar luaskan oleh orang tak di kenal.
Namun bagaimana Raisa yang keras kepala dan sombong itu menerima Adam sebagai suaminya sedangkan Raisa sendiri selalu menganggap Adam hanyalah penjilat dan pria yang mengincar harta Papanya saja.
Rasa bencinya pada Adam itu tanpa sadar telah menyakiti hati pria yang menurutnya kaku dan menyebalkan itu.
Bagaimana juga Raisa berperang melawan hatinya yang mulai tertarik dengan sosok Adam setelah berbagai kebencian ia taburkan untuk pria itu??
mari ikuti perjalanan cinta Raisa dan Adam ya readersss...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi.santi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makan siang yang gagal
"Puas kalian??"
Raisa bukannya tak ingin mengejar Adam, tapi dia ingin menjelaskan kepada kedua sahabatnya jika mereka tak bisa seenaknya mengajak Rio seperti itu. Terlebih beberapa hari yang lalu Raisa sudah menceritakan kepada mereka jika dirinya tak bisa seenaknya lagi bertemu dengan Rio.
"Maaf Sa" Sesal Stevi.
"Sayang, jangan marah sama mereka. Aku yang salah karena aku minta bantuan sama mereka. Soalnya aku susah banget mau ketemu kamu"
Raisa bingung harus mencari alasan apa untuk mengatakan kepada Rio jika dirinya sudah tidak ingin melihat wajah munafik pria itu lagi.
"Tapi nggak gini caranya Rio!! Aku juga lagi cari cara yang tepat buat ketemu sama kamu" Dusta Raisa.
"Padahal gue sudah nggak sudi ketemu sama lo!!"
"Tapi kapan sayang?? Aku udah kangen banget sama kamu"
Telinga Raisa sakit mendengar Rio memanggilnya sayang seperti itu.
"Rio please, masalah ku baru aja selesai. Lebih baik kamu pergi aja dulu. Nanti aku hubungi kamu lagi" Raisa sudah muak melihat wajah penuh kepura-puraan milik Rio.
"Oke oke aku pergi. Tapi jangan lupa telpon aku ya"
Raisa hanya mengangguk saja, meskipun rasanya malas mengiyakan permintaan Rio itu.
Setelah Rio benar-benar pergi dari sana, Raisa berlatih menatap kedua sahabatnya yang sejak tadi terdiam karena merasa bersalah.
"Sa, sorry" Cicit Fany.
"Hufffttt..." Raisa duduk dengan kesal.
"Gue kan udah bilang, masalah kemarin nggak akan selesai kalau Mas Adam nggak bantuin gue"
"Gue baru sadar kalau lo panggil dia Mas Adam, cieee"
"Fan!! Serius dikit dong!!" Keluh Raisa.
"Tau ni si Pani"
"Lo juga sama aja kali Step" Delik Fany tak suka saat mengingat Stevi kecentilan menggoda Adam.
"Udah, udah!! Kalian bikin gue tambah pusing" Raisa memijat kepalanya yang berdenyut.
Raisa pusing memikirkan bagaimana menghadapi Adam setelah ini. Pria kaku itu pasti akan terus menyinggung dirinya tentang masalah kemarin.
"Sebenarnya gue nggak mau cerita tentang masalah ini sama kalian. Tapi gue nggak mau kalau kalian sampai kaya gini lagi"
Stevi dan Fany mendadak berubah menjadi serius mendengarkan Raisa.
"Rio adalah orang yang ada di balik kejadian malam itu, dan dia juga yang udah menyebarkan foto di cafe kemarin"
"Apa!!!" Kaget kedua wanita di di depan Raisa.
"Lo yakin Sa??"
"Gue udah lihat buktinya"
Raisa masih sangat kecewa jika mengingat kenyataan itu. Ternyata orang yang paling dia percaya, telah menghancurkannya dengan sangat keji. Mengantarkan Raisa ke dalam pernikahan yang sama sekali tidak ia inginkan. Rasanya seperti di masukkan ke dalam penjara ketetapan karena terikat dengan orang rendahan seperti Adam.
"Gue nggak nyangka ternyata dia sejahat itu" Fany menerawang tak percaya.
"Tapi kenapa hubungan lo sama Rio kaya baik-baik aja?? Makanya gue sama Fany mau bantuin Rio ketemu sama lo Sa"
"Laki gue yabg suruh, gue nggak tau alasannya apa suruh gue pura-pura kaya gini. Tapi ya udah gue nurut aja dulu. Daripada huru-hara kaya kemarin lagi"
"Ciee laki gue nyebutnya sekarang. Mulai ada rasa ya lo?? Mulai sadar kalau laki lo itu idaman wanita banget??"
"Apaan sih, berisik tau!!" Sinis Raisa pada Stevi. Kedua sahabatnya itu terus saja menggodanya sejak tadi. Hingga tanpa mereka sadari, pipi Raisa mulai memanas di buatnya.
"Ya udah, gue balik dulu dan untuk sementara tolong tetap bersikap biasa aja di depan Rio"
"Oke, kita bakalan ada di pihak lo Sa, tenang aja"
Raisa hanya mengangguki omongan Stevi, kemudian dia beranjak pergi. Secepat mungkin ingin kembali ke kantor menemui Adam. Menjelaskan tentang kedatangan Rio yang tanpa sepengetahuannya meski Raisa tak yakin jika Adam akan percaya begitu saja kepadanya.
Raisa menapaki gedung berlantai dua di sebuah pabrik kain terbesar itu dengan menenteng makan siang untuk Adam. Di jalan tadi Raisa sengaja membeli makanan untuk Adam, mengingat pria itu tadi belum menyentuh makanannya sama sekali sebelum kedatangan Rio.
Dan tentu saja Raisa tau apa penyebab laki-laki itu terus diam menunjukkan wajah masamnya. Tak lain dan tak bukan yaitu karena perkataan Stevi yang membahas tentang perceraian mereka.
Raisa yakin jika Adam pasti tak suka jika masalah rumah tangga mereka di ketahui orang lain terutama sahabat Raisa.
Ingin rasanya Raisa mengutuk sahabat laknatsss itu saat bibirnya merepet tanpa bisa si rem sama sekali.
Raisa menarik nafas panjangnya sebelum tangannya menekan gagang pintu ruangan Adam. Menyiapkan dirinya untuk menghadapi kemarahan Adam ataupun sikap dingin Adam.
"Mas Adam aku bawakan ma..."
Ucapan Raisa terhenti di tenggorokannya karena melihat pria yang sejak tadi berada di pikirannya sedang menikmati makan siang bersama sekretaris seksinya. Kedua orang itu tampak terkejut dengan kedatangan Raisa yang tiba-tiba.
Buru-buru Raisa menyembunyikan makanan yang ia bawa di belakang badannya.
"Maaf ganggu, kalian lanjut aja. Aku keluar dulu"
Niatnya untuk menemani Adam makan siang harus urung di lakukan karena Gaby sudah ada di sana. Mereka duduk berdua saling berdampingan menikmati makan siangnya.
"Ngapain juga gue harus marah?? Gue kan nggak punya perasaan apa-apa sama dia"
Raisa kembali ke tempat duduknya dengan menepis sebuah perasaan aneh yang menerpanya saat ini.