Dominica Sophia Raviola Dexter, gadis cantik berusia 16 tahun itu merasa hidupnya tidak tenang karena selalu dipertemukan oleh seorang pria bernama Alexander Kai Devinter, pria yang berusia 12 tahun jauh di atas dirinya.
Alexander Kai Devinter, laki-laki berusia 28 tahun, pria single yang dingin dan menutup hati setelah kepergian sang kekasih, hingga orang tuanya nyaris kehilangan harapan memiliki menantu, mulai bangkit kembali dan mulai mengejar gadis yang membuatnya jatuh hati. Setelah pertemuan malam hari di sebuah pesta itu.
Bagai terikat sebuah benang takdir, keduanya selalu dipertemukan secara tidak sengaja.
Akankah Sophia menerima takdir cintanya, atau justru membuat takdir cintanya sendiri?
Don't Boom like!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Claudia Diaz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hubungan Asmara Yang Telah Usai & Kekasih Baru?
Mobil Kevin memasuki pekarangan mansionnya. Ia menyuruh supir keluarganya untuk memasukkan mobilnya ke garasi. Kevin keluar dengan Soya yang berada di gendongannya. Tak lupa tas milik sang putri, tersampir di bahunya.
Zizi menyambut kepulangan sang suami hanya menatap dengan senyuman cantiknya, “Dia habis menangis?"
Kevin hanya mengangguk, “Aku memberitahu tentang keburukan kekasihnya. Dan pengkhianatan yang ia lakukan di belakang putri kita. Ah, tasku masih ada di dalam mobil. Tolong ambilkan, Sayang. Aku akan menidurkan bayi kecil kita di kamarnya. Maaf jika membuatmu repot."
“Sudah kewajibanku sebagai seorang istri, Honey. Sebaiknya kau tidurkan bayi kita di kamarnya, suruh para pelayan untuk menggantikan bajunya agar ia tertidur dengan nyaman!" perintah Zizi.
Kevin mengangguk, ia segera menidurkan sang putri di kamarnya. Kemudian menyuruh pelayan untuk mengganti seragam putrinya dengan baju tidur. Setelahnya Kevin bergegas masuk kamarnya di sana sudah ada sang istri yang menunggu.
Zizi maju mendekati suaminya dan membantu suaminya melepaskan jas yang melekat di tubuh atletis milik suaminya, serta melepaskan dasi yang melingkar di leher sang suami.
“Jujur sebagai seorang ibu, aku ikut merasakan sakit jika melihat putriku terluka. Entah itu Lulu, atau Soya," Zizi membuka pembicaraan.
“Itu wajar, karena kau adalah orang tuanya. Terlebih kau adalah ibu mereka, yang melahirkan mereka, sebagai seorang ayah aku juga merasakan hal yang sama. Aku juga merasakan sakit hati, melihat putriku menangis hanya karena seseorang yang dengan lancang menyakiti putriku. Meski aku mendidik putri kita dengan tegas dan keras, tapi aku tidak pernah lupa bahwa mereka tetaplah perempuan yang memiliki hati yang lembut dan terkadang mudah rapuh," jelas Kevin.
Mata Zizi sudah memerah menahan tangis, dengan lembut Kevin merengkuh pinggang Zizi ke dalam pelukannya.
“Percayalah putri kita esok hari sudah baik-baik saja. Putri kita sudah kembali tersenyum seperti sedia kala, yang kita lakukan hanya perlu tetap disampingnya, menjaganya saat mereka terjatuh," ujar Kevin meyakinkan sang istri.
“Terima kasih untuk beberapa tahun yang kita lewati bersama Kevin, tetaplah selalu bersamaku dan anak-anak kita," Zizi menyandarkan kepalanya di dada Kevin.
“Aku akan selalu bersamamu dan anak-anak kita, Zizi selamanya. I promise," ucap Kevin sambil mengecup puncak kepala Zizi.
Tanpa mereka sadari, Lulu melihat dan mendengar semuanya. Matanya sedikit memerah. Menahan air mata yang siap tumpah kapan saja, beruntung ada Stephen, yang menguatkan dan menenangkannya.
“Richard, awas kau!" Lulu mengepalkan kedua tangannya.
“Hei," panggil Stephen dengan menggenggam tangan pasangannya.
“Aku yakin Daddy pasti sudah melakukan sesuatu. Jangan kotori tanganmu, hanya untuk membalas bajingan seperti dia. Aku juga merasa marah, mendengar Soya disakiti dan dikhianati. Soya sudah seperti adikku sendiri," ujar Stephen, “di mana Soya sekarang?"
“ Di kamarnya. Pelayan mengatakan Soya tertidur di gendongan Daddy saat, Daddy menjemput. Mungkin dia sedang tidak baik-baik saja, saat ini," Lulu menutup kamar orang tuanya perlahan.
Sementara itu, Kevin dan Zizi sendiri sedang melakukan ritual bersama di kamar mandi. berbagi kehangatan dan kenikmatan secara bersamaan. Sebagai bentuk menyalurkan emosi yang tidak dapat mereka ungkapkan satu sama lain secara verbal.
Lulu dan Stephen tengah terduduk di tepi ranjang bayi kecil kesayangan mereka, bahkan tangan Stephen mengusap surai Soya dengan lembut dan penuh kasih sayang layaknya seorang kakak.
“Kau percayakan, jika bayi kesayangan keluarga kita adalah gadis yang kuat, seperti dirimu?" Stephen bertanya sambil mengelus surai hitam milik Soya.
“Hmm ... kurasa kau benar. Bahkan aku merasa dia jauh lebih kuat ketimbang diriku. Aku berharap dia menemukan sosok lelaki yang tepat suatu hari nanti. Yang jelas bisa mengerti bayi kita," ujar Lulu sambil terkekeh.
“Ya semoga saja dan aku merasakan, akan ada seseorang yang akan mengisi hati bayi kita," kata Stephen sambil menatap wanitanya.
“Jangan bercanda, aku masih belum rela Soya cepat tumbuh dewasa dan ada seseorang yang memintanya," Lulu menatap sedih sang adik. Wajahnya terlihat tenang dan damai mirip seperti bayi.
“Bagaimana jika kita bertaruh? Jika aku menang, kau harus menuruti permintaanku ..."
“... aku tidak mau. Pasti permintaanmu ujung-ujungnya ke sana. Ingat, kepalamu bisa dipenggal Daddy dan dijadikan makanan Hochu nanti," potong Lulu cepat.
“Ha-ha-ha ... aku hanya bercanda. Kau ini serius sekali, sih?" Stephen menjepit hidung Lulu dengan gemas, membuat Lulu memekik kesal hingga tidur Soya terusik.
“Eungh," lenguhnya untungnya ia kembali melanjutkan tidurnya.
“Halo Pinguin kecil, ayo bangunlah. Saatnya mandi, kau belum makan malam, Honey," Lulu membangunkan adiknya.
Soya membuka matanya perlahan saat suara Lulu menyapa indera pendengarannya.
“Kakak, aku masih mengantuk!" Soya menutup wajahnya dengan guling.
“No, kau harus mandi kemudian makan malam, Kakak akan siapkan air hangat untukmu!" putus Lulu.
Lulu bergegas menuju kamar mandi dan menyiapkan air hangat untuk sang adik, setelah air hangat sudah disiapkan, Stephen menggendong Soya ke kamar mandi. Di sana masih ada Lulu yang akan membantu sang adik menanggalkan bajunya.
Soya sudah seperti bayi besar mereka, apalagi jika ia sudah malas bangun seperti ini. Soya sudah mirip seperti bayi yang harus dimandikan, hingga dipakaikan baju.
“Nah, karena sudah rapi, sekarang ayo kita turun dan makan malam. Daddy dan Mommy pasti sudah menunggu," ucap Lulu, sementara Soya masih terlihat kesal dengan bibir mencebik.
“Oh, kalian sudah siap ternyata. Ayo kita mulai makan malam saja! Sayang, apa kau masih mengantuk?" tanya Zizi dengan lembut, sang anak hanya mengangguk mengiyakan.
“Maafkan kami, setelah ini kau bisa tidur, Sayang. Akan tetapi, kau harus makan malam terlebih dahulu. Tidak baik, tertidur dalam keadaan perut kosong. Mommy tak ingin putri kesayangan Mommy menderita sakit maag," ujar Zizi.
Mau tak mau, Soya menuruti sang ibu, karena dirinya juga tidak ingin sakit. Soya benci jatuh sakit, karena jika sudah jatuh sakit, akan butuh waktu lama untuk sembuh, meskipun itu hanya sakit sepele, seperti flu misalnya.
Usai makan malam, Soya kembali ke kamar, bersiap untuk tidur. Akan tetapi, dia tersadar bahwa ia harus belajar, terlebih masih ada pekerjaan rumah yang menunggu. Soya mengurungkan niatnya untuk kembali tertidur, dengan menghampiri meja belajarnya dan mulai mengerjakan tugas.
Waktu terus berjalan, tak terasa 2 jam sudah terlewati, saat bersiap untuk tidur, dering notifikasi Soya berbunyi. Menampakkan satu pesan dari salah satu temannya, yang mengatakan, jika ia melihat kekasihnya sedang bermain dengan seorang perempuan, di sebuah diskotek.
Segera saja Soya mengganti pakaiannya dan bersiap untuk pergi ke tempat tersebut, sebelumnya ia mengetikkan pesan pada temannya untuk menunggu di tempat yang telah disepakati.
Dengan mengambil langkah seribu, Soya turun dan berlari keluar. Beruntung ia dapat mengelabui para penjaga dengan akal cerdiknya sehingga ia dapat keluar dari mansion tanpa ada yang merasa curiga.
Soya pergi dengan taksi, pergi ke alamat yang dituju. Hatinya bergemuruh, pikirannya berkecamuk. Dalam hati ia bersumpah akan menghajar Richard dengan tangannya sendiri.
Lama tenggelam dalam lamunannya, suara sang supir menyentak kesadarannya kembali ke permukaan. Ternyata ia sudah sampai di diskotek yang dituju.
Ia lantas membayar taksi tersebut dan keluar dari taksi. Di depan sana temannya sudah menunggu, mereka masuk menghampiri si mana Richard berada.
Benar saja mata bulatnya melihat sang kekasih tengah berciuman dengan panas dan liar. Soya mendekati mereka dan Pyar! Suara nyaring yang mampu memekakkan telinga yang berasal dari gelas melayang hingga membentur tembok dan dan hancur menjadi serpihan, merebut atensi lautan manusia yang memadati tempat tersebut. Membuat dua insan yang tengah berciuman itu tersentak. Detik berikutnya, mata Richard melebar, tak menyangka bahwa sang kekasih ada di depannya, lebih parahnya lagi, tengah memergoki dirinya sedang berciuman dengan wanita lain.
“Jadi, apakah ini merupakan kegiatan kampus yang kau bilang itu, Honey?" Soya bertanya sembari menatap penuh intimidasi.
Richard yang ditanya seperti itu, gelagapan, “Sayang, a ... aku bisa jelaskan."
“Kalau begitu jelaskan!"
“Ini tidak seperti yang kau lihat."
“Oh, ya? Jadi maksudmu aku ini buta dan tidak dapat melihat dengan jelas ... begitu?"
“Bu ... bukan seperti itu maksudku, aku ... aku dijebak, perempuan ini menggodaku!" Richard mencoba mencari seribu alasan untuk meyakinkan sang kekasih.
“Ah, kupu-kupu malam ini menggodamu dengan tubuhnya yang bahkan tidak seberapa jika dibandingkan denganku? Lihatlah tubuh kurang gizi ini. Bagaimana bisa ia percaya diri menjajakan tubuhnya yang seperti jarum jahit. Kau butuh uang?" Soya memandang remeh wanita yang tadi berada di pangkuan kekasihnya. “Berapa uang yang kau butuhkan? 10 juta? 100 juta? 1 Milyar? Aku tidak menyangka ternyata harga diri dan tubuhmu mampu dibayar dengan uang. Serendah itukah harga dirimu?"
Wanita itu menangis terisak, karena harga dirinya seakan dihempaskan jauh hingga ke dasar bumi, ia merasa hina. Nafasnya tercekat tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun.
Jauh di sana, ada seorang pria yang menyaksikan pertengkaran itu sambil menyesap sampanye, mata elangnya memperhatikan dengan seksama.
“Ternyata dugaanku benar selama ini. Kau berselingkuh, lebih parahnya lagi tidak hanya dengan satu wanita?"
“Sayang, sudah kukatakan padamu, aku hanya dijebak!"
“Dijebak ... kau bilang kau hanya dijebak?" Soya mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan bukti kebejatan Richard yang dikumpulkan oleh sang ayah pada kekasihnya.
“Yang seperti ini kau bilang kau dijebak? Mungkin jika ini terjadi untuk pertama kalinya aku masih bisa percaya, tetapi Kai bahkan melakukan berulang kali bermain perempuan di belakangku. Dengan perempuan yang berbeda-beda pula," Soya menghela napas sejenak, “tidak perlu mengelak, ataupun menyangkal semua perbuatan bejatmu itu. Semua buktinya sudah jelas, kau ingin beralasan apa lagi?"
Soya mendekati kekasihnya, kemudian menghajarnya tanpa belas kasihan hingga sang pria tergeletak dengan bersimbah darah. Begitu juga dengan wanita di pangkuannya, gadis itu membenturkan kepala wanita ke tembok berkali-kali hingga pingsan dalam keadaan mengenaskan.
“Kita putus, Richard. Terima kasih atas pengkhianatanmu padaku selama ini!" ucapnya mutlak kemudian pergi meninggalkan Richard yang tergeletak dengan keadaan setengah sadar.
“Gadis yang menarik," gumam pria yang sedari tadi menjadi penonton.
Dalam cahaya lampu yang temaram, dengungan musik, dan hiruk-pikuk lautan manusia yang tenggelam dalam tarian dan kesenangan mereka, Soya sudah menghabiskan setidaknya 3 gelas sampanye, hingga kesadarannya lambat laun terkikis.
“Kau brengsek, Richard Kau brengsek. Apa salahku, apa kurangku, hingga kau tega mengkhianatiku?!" teriakan itu terdengar pilu. Setelah ia membayar sampanye yang ia minum, Soya berjalan keluar meninggalkan diskotek dengan langkah sempoyongan.
“Argh, dasar Richard Loey bajingan!" ditendangnya kaleng bekas itu dengan keras hingga mengenai kepala pria dewasa.
“Oi, siapa yang melakukan ini padaku, cari mati kau?!" teriak pria yang kepalanya terkena kaleng bekas itu.
“Ya, Paman tua kau ingin menantangku berkelahi? Aku tidak takut," ucap gadis itu dengan jalan yang masih sempoyongan, matanya memerah. ”Ayo sini lawan ak ...."
Belum selesai bicara tubuh gadis itu ditarik kencang oleh seorang pria, “Maafkan gadisku jika membuat keributan. Ia kekasihku dan kami sedang bertengkar, oleh karena itu ia sedang mencoba menarik perhatianku."
Soya memberontak, “Hei, apa maksudmu. Siapa kau? Aku bukan kekasihm ... mphhh!"
“Tolong jangan dengarkan dia, sekali lagi maafkan kekasihku, kami permisi!"
“Lain kali jaga kekasihmu, beruntung aku belum menghabisi gadis besar mulut itu!" peringat pria dewasa itu.
“Baik."
Pria itu kemudian memasukkan Soya ke dalam mobilnya.
“Hei, lepaskan aku, kau ini siapa? Apa kau berniat menculikku? Dasar Paman predator!" makinya, “cepat, turunkan aku!"
Soya masih memberontak, berusaha melepas safety belt. Namun, sayangnya tidak bisa, mata sebulat burung hantu miliknya mendelik marah pada pria pemilik mata elang tersebut.
Pria itu mencondongkan tubuhnya ke arah sang gadis dan menyesap bibir hati milik Soya agar gadis itu diam.
Rasanya manis dan lembut bagai cream soda yang pecah di dalam mulut yang mampu membuat pria itu merasa candu.
Sementara gadis bermata burung hantu itu hanya mematung, tubuhnya seolah terkena listrik dan tak mampu bergerak.
Detik berikutnya kegelapan merengkuhnya. Membuat pria itu menyeringai.
“Ya ampun kau benar-benar cerewet dan nakal. Bagaimana bisa anak belum cukup umur sepertimu minum sampanye?" gumamnya, “harus kubawa ke mana gadis ini?"
Dilema, perasaan itulah yang kini merayap ke dalam hati pria dewasa itu. Jika ia mengembalikan sang gadis pada keluarganya, entah apa kemarahan seperti apa yang akan didapatkan gadis itu esok hari, tetapi jika ia membawa pulang ke rumahnya atau ke rumah orang tua sang pria, pasti orang tuanya akan merasa khawatir.
Dengan penuh pertimbangan, akhirnya ia memutuskan untuk mengantar pulang gadis tersebut ke rumah orang tuanya.
Cukup lama ia sampai tujuan padatnya kendaraan yang memenuhi jalan raya membuatnya harus bersabar terjebak dalam sebuah kemacetan. Hebatnya, sebising apa pun suara kendaraan, tak membuat gadis itu terbangun.
Setelah berkendara sekitar 1 jam lamanya, Kai sampai juga di kediaman Dexter. Ia menggendong Soya setelah dipersilakan masuk oleh pelayan atas izin Tuan Rumah.
“Kai Devinter?" panggil Kevin.
“Ah, maaf Tuan. Saya hanya ingin mengantar putri Anda pulang," ujar Kai, lalu Kevin mengambil Soya dari gendongan pria itu.
“Bagaimana bisa putriku bersamamu?"
Lalu mengalirlah cerita Kai bagaimana ia bisa bertemu dengan Sophia di diskotek malam ini tanpa terkecuali. Kevin hanya mengusap kasar wajahnya.
“Saya mohon sebisa mungkin kendalikan emosi Anda, saat bicara dengannya nanti," pinta Kai penuh harap.
“Aku tahu. Ini merupakan pertamakali dalam hidupnya mengalami masalah seperti itu, wajar jika ia merasa frustasi. Justru, aku berterima kasih padamu, karena mau membawa putriku pulang, entah apa jadinya jika tidak bertemu dirimu, mungkin anakku sudah ...." Kevin tak mampu melanjutkan perkataannya.
“Sama-sama, Tuan. Aku ikhlas menolong putrimu, kebetulan saja aku melihatnya dalam bahaya. Kalau begitu saya permisi dahulu, Tuan."
“Jangan panggil aku Tuan. Kurasa usia kita tidak begitu jauh," ujar Kevin.
“Ah, benar juga. Bahkan usia Papa dan Mama saja sudah hampir kepala enam. Mr. Dexter bahkan baru kepala empat, tetapi dilihat dari penampilan fisiknya mana ada yang percaya jika dia sudah berumur segitu? Pantas saja wajah anaknya juga menipu, tidak sesuai dengan usia," batin Kai, “ah, saya bingung harus memanggil Anda bagaimana."
“Senyamanmu saja," Kevin memahami rasa sungkan Kai.
“Ah, kalau begitu, saya pulang terlebih dahulu, Paman. Tidak baik bertamu melewati jam malam seperti ini," pamit Kai.
”Baiklah hati-hati di jalan. Sekali lagi aku berterima kasih padamu karena telah menolong putriku," Kevin tersenyum tulus. Kai mengangguk. Lalu ia keluar dari kediaman ditemani Kevin dan pelayan.