Perkumpulan lima sahabat yang awalnya mereka hanya seorang mahasiswa biasa dari kelas karyawan yang pada akhirnya terlibat dalam aksi bawah tanah, membentuk jaringan mahasiswa yang revolusioner, hingga aksi besar-besaran, dengan tujuan meruntuhkan rezim curang tersebut. Yang membuat mereka berlima menghadapi beragam kejadian berbahaya yang disebabkan oleh teror rezim curang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoreyum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Awal Mula Pergerakan Bawah Tanah
Pagi itu, Haki berdiri di depan oven besar yang mengeluarkan aroma harum roti segar. Di toko roti tempatnya bekerja, Haki adalah salah satu baker andalan. Tangannya dengan cekatan membentuk adonan menjadi roti yang sempurna, sementara pikirannya melayang jauh dari rutinitas ini. Sejak pertemuan semalam dengan teman-temannya, ia tak bisa berhenti memikirkan langkah-langkah yang akan mereka ambil. Namun di saat bersamaan, ia sadar bahwa pekerjaannya ini adalah bagian penting dari hidupnya.
Setiap hari, Haki berangkat subuh dari rumah untuk mengolah adonan, memanggang, dan menyiapkan roti-roti untuk dijual. Toko roti tempatnya bekerja cukup terkenal di daerah kampus, dan banyak mahasiswa serta dosen yang menjadi pelanggan tetap. Meski kadang lelah, Haki menyukai pekerjaannya. Ada kepuasan tersendiri ketika melihat pelanggan tersenyum setelah menikmati roti yang ia buat.
Namun, di balik senyumnya yang ceria dan semangat berapi-api, Haki sering merasa frustrasi. Dia tahu hidupnya bisa lebih baik, dan dia berambisi untuk keluar dari kehidupan yang penuh keterbatasan ini. Ketika berita soal undang-undang baru yang merugikan rakyat kecil itu muncul, Haki merasakan ketidakadilan yang sangat nyata. “Apa gunanya semua kerja keras ini kalau pemerintah terus menindas kita?” pikirnya sambil meletakkan roti di atas rak penjualan. Baginya, perlawanan yang mereka rencanakan bukan sekadar tentang politik—ini soal masa depan.
Sementara itu, di tempat lain, Dito sibuk dengan pekerjaannya di toko peralatan hiking. Sejak pagi, ia sudah berurusan dengan pelanggan yang mencari berbagai macam barang, dari sepatu hiking hingga tenda. Toko ini cukup ramai, terutama di akhir pekan ketika banyak orang berencana untuk mendaki gunung atau berkemah. Meskipun Dito terlihat santai dengan sikap cool dan jaim-nya, ada sisi lain yang hanya diketahui oleh teman-teman dekatnya. Pekerjaan ini adalah sumber stres bagi Dito, meskipun ia jarang menunjukkannya. Setiap hari, ia harus berhadapan dengan permintaan yang sering kali merepotkan, sambil tetap menjaga citra tenangnya.
Tapi di balik itu semua, Dito peduli pada hal-hal yang lebih besar daripada sekadar pekerjaan. Diam-diam, ia adalah seorang pemikir. Ketidakadilan yang terjadi di negaranya selalu menjadi beban pikiran. “Gue nggak mau terjebak di sistem kayak gini seumur hidup,” gumamnya dalam hati sambil menata barang di rak. Dia tahu bahwa perlawanan yang mereka rencanakan akan penuh risiko, tapi ia siap. Tidak ada yang lebih dia benci daripada ketidakadilan.
Di sisi lain, Luvi menjalani harinya sebagai seorang konten kreator. Gadis itu memulai harinya dengan menyiapkan kamera, tripod, dan pencahayaan di kamar apartemennya. Setelah itu, ia mengatur semua alat-alatnya untuk syuting video terbaru. Sebagai mahasiswa Ilmu Komunikasi, Luvi memahami betul bagaimana cara memanfaatkan media sosial untuk menyuarakan pesan. Videonya selalu dipenuhi dengan ide-ide segar, baik tentang kehidupan mahasiswa, isu-isu sosial, atau bahkan sekadar vlog sehari-hari yang menarik ribuan penonton.
Namun, akhir-akhir ini, isi kepalanya penuh dengan rencana lain. Bagaimana ia bisa menggunakan pengaruhnya di dunia maya untuk memulai sesuatu yang lebih besar? Ia ingin menggerakkan orang-orang dengan kontennya, memanfaatkan kemampuannya untuk memicu perubahan. “Kalau gue bisa bikin konten viral soal hal-hal sepele, kenapa nggak bikin sesuatu yang bisa nyentuh hati orang banyak soal ketidakadilan ini?” pikir Luvi sambil menatap kamera. Bagi Luvi, kontennya bukan lagi sekadar hiburan, tapi senjata.
Di sebuah perusahaan listrik, Yudi sedang memeriksa jaringan kabel dan alat-alat berat. Sebagai karyawan teknisi di perusahaan yang mengalirkan listrik untuk masyarakat, Yudi sering merasa bangga dengan pekerjaannya. Meski begitu, hari-harinya tidak selalu mudah. Setiap hari dia harus berurusan dengan masalah teknis yang menuntut fisik dan mental yang kuat. Di tengah kesibukan itu, Yudi sering merasa resah. Dia mencintai pekerjaannya, tapi sistem yang ada di atasnya sering kali membuatnya merasa terjebak.
Saat sedang memeriksa alat pengukur listrik, Yudi teringat akan diskusi dengan teman-temannya semalam. Dia tahu, jika mereka benar-benar memulai gerakan ini, mereka akan berhadapan dengan sistem yang jauh lebih besar dan kuat daripada apa yang bisa dia bayangkan. Namun, di saat yang sama, Yudi merasa ada tanggung jawab untuk ikut serta. “Kita udah terlalu lama dibodohi sama sistem ini. Kalau bukan kita yang bergerak, siapa lagi?” gumamnya sambil melanjutkan pekerjaannya.
Dan terakhir, di sebuah kantor perusahaan pajak, Mayuji duduk di meja kerjanya, sibuk dengan angka-angka dan data. Sebagai admin, pekerjaannya adalah mengelola laporan dan berkas-berkas pajak dari klien perusahaan. Mayuji dikenal sebagai karyawan yang rajin dan teliti. Namun, di balik sikapnya yang polos dan lugu, Mayuji adalah pemikir yang brilian. Dia memahami seluk-beluk hukum dan politik dengan cara yang tidak dimiliki oleh banyak orang seusianya. Di dalam pikirannya, selalu ada rencana cadangan, cara untuk menemukan celah dalam sistem.
Sambil mengisi data di komputer, pikirannya melayang pada percakapan semalam. “Kalau kita bisa memanfaatkan hukum untuk melawan mereka, kita punya kesempatan buat menang,” pikirnya. Bagi Mayuji, perlawanan ini bukan hanya soal kekuatan fisik atau demonstrasi di jalanan. Ini adalah soal kecerdikan dan strategi. Mereka akan melawan bukan hanya dengan teriakan, tapi dengan rencana yang matang.
---
Malam harinya, setelah pekerjaan mereka selesai, kelima teman ini kembali berkumpul di kafe kecil di dekat kampus. Meskipun lelah setelah seharian bekerja, ada percikan semangat dalam diri mereka. Rencana yang telah mereka sepakati perlahan mulai terbentuk.
Di sudut kafe, Luvi duduk dengan laptop terbuka di depannya. Ia menunjukkan beberapa rancangan konten yang sedang ia persiapkan kepada yang lain. "Gue udah siapin beberapa video konsep. Awalnya gue bakal angkat topik-topik ringan soal ketidakadilan ekonomi, biar penontonnya nggak langsung curiga. Setelah itu, gue baru mulai masuk ke isu yang lebih serius."
Haki memandangi layar laptop itu sambil tersenyum. “Gue suka. Kita nggak bisa langsung ngegas, tapi kalau orang udah peduli, mereka bakal ikutin arah kita.”
Dito menyesap kopinya pelan-pelan, tampak berpikir. “Sementara Luvi mulai dengan itu, gue bakal coba nyari akses ke database kampus. Gue udah tau beberapa titik lemah di sistem IT mereka. Gue bisa dapet data mahasiswa yang mungkin sepikiran sama kita.”
Yudi yang duduk di sampingnya, mengangguk pelan. “Gue setuju. Tapi kita harus hati-hati. Gue bakal coba rekrut anak-anak Teknik yang gue kenal. Mereka nggak suka ikut demo, tapi mereka pasti ngerti soal ketidakadilan ini.”
Mayuji, seperti biasa, tetap diam sambil mendengarkan. Namun, di dalam pikirannya, strategi demi strategi terbentuk dengan rapi. "Kalau kita bisa manfaatin celah hukum yang ada, kita bisa dapet keuntungan besar. Gue bakal coba susun argumen buat melawan undang-undang yang baru disahkan itu. Kita harus punya bukti kuat kalo kita mau dapet dukungan publik."
Suasana di kafe malam itu penuh dengan energi baru. Meski suasana di sekitar mereka tenang, diskusi yang mereka lakukan terasa penuh ketegangan. Setiap dari mereka tahu, apa yang mereka rencanakan bukan sekadar aksi demo biasa. Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang bisa mengguncang sistem.
“Gue suka arahnya,” kata Haki dengan mata berkilat-kilat. “Kita harus jadi lebih pintar dari mereka. Kita gak bisa cuma turun ke jalan tanpa strategi.”
Yudi mengangguk setuju. “Benar. Kita harus main lebih cerdik dari mereka. Dan gue yakin, kita bisa bikin pergerakan ini gede.”
Mereka berlima tahu bahwa langkah yang mereka ambil penuh risiko. Namun, mereka juga menyadari bahwa gerakan ini memiliki potensi untuk menjadi sesuatu yang besar. Jika dilakukan dengan benar, mereka bisa mendapatkan dukungan dari ribuan mahasiswa di seluruh negeri. Apa yang dimulai sebagai ide kecil di kampus ini, bisa menjadi pemicu perubahan besar.
Sambil menutup laptopnya, Luvi berkata, “Oke, gue bakal mulai nyebarin konten pertama besok. Kita lihat gimana reaksi orang. Kalau konten gue bisa viral, itu langkah pertama yang sukses.”
Dito menambahkan, “Sementara itu, gue bakal kerja di belakang layar. Nggak ada yang bakal tau kalau kita yang di balik semua ini.”
“Dan gue akan terus pantau perkembangan undang-undang itu,” tambah Mayuji. “Kita nggak bisa bergerak tanpa tahu persis apa yang kita lawan. Gue juga bakal coba hubungi beberapa teman yang bisa bantu.”
Haki merasa optimis. “Kita punya senjata kita sendiri. Mereka mungkin punya media dan kekuasaan, tapi kita punya ide, dan itu yang bakal bikin mereka jatuh.”
Malam itu, pergerakan mereka benar-benar dimulai. Setiap dari mereka punya peran masing-masing dalam gerakan bawah tanah ini. Luvi dengan pengaruhnya di media sosial, Dito dengan keahliannya di dunia IT, Yudi dengan kemampuannya merekrut orang, Mayuji dengan kecerdikannya dalam hukum, dan Haki dengan semangat berapi-apinya yang selalu menjadi motivasi.
---