Tutorial membuat jera pelakor? Gampang! Nikahi saja suaminya.
Tapi, niat awal Sarah yang hanya ingin membalas dendam pada Jeni yang sudah berani bermain api dengan suaminya, malah berakhir dengan jatuh cinta sungguhan pada Axel, suami dari Jeni yang di nikahinya. Bagaimana nasib Jeni setelah mengetahui kalau Sarah merebut suaminya sebagaimana dia merebut suami Sarah? Lalu akankah pernikahan Sarah dengan suami dari Jeni itu berakhir bahagia?
Ikuti kisahnya di dalam novel ini, bersiaplah untuk menghujat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lady ArgaLa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 22.
"Dia bukan korban, tapi dialah pelakunya."
Jeni sontak menoleh dan matanya membulat sempurna saat melihat Adam berdiri gagah di belakang dengan tangan terlipat di dada.
"Maaf? Apa maksud anda, Tuan?" tanya si bule sopan.
Adam berdecih. "Sesuai yang anda lihat, wanita ini sebenarnya bukanlah korban pemerkosaan. Tapi ... dialah pelakunya."
"Bang!" Jeni memelototkan matanya.
Sedang si bule tampan kebingungan. "What's? Bagaimana anda bisa tau itu?"
"Karna saya ... adalah suami wanita ini. Ah, maaf ralat. Maksud saya ... calon mantan suami." Adam menyeringai lebar.
Jeni tertegun melihat reaksi Adam, ini bukan Adam yang dia kenal. Bagai dua orang yang berbeda Jeni bahkan sampai tak mengenali suaminya.
Bule itu berjalan mendekati Adam. " Maafkan saya, tapi sepertinya ini adalah masalah keluarga kalian. Saya tidak ingin ikut campur, kalau begitu ...." berbalik menatap Jeni. "Nona, bagaimana saya bisa menggantikan ponsel anda?"
Adam diam seribu bahasa, namun Jeni yang merasa baru saja tertangkap basah menjadi kalut dan tak bisa berpikir.
"Nona?" tanya bule itu lagi.
"Ah, berikan saja ponselmu sementara untuk saya sampai nanti kita bertemu lagi dan kita aka membahasnya lebih lanjut," tukas Jeni membuang kebingungannya.
Bule itu tampak mengerutkan keningnya, namun sejenak kemudian mengeluarkan sebuah ponsel keluaran terbaru miliknya dari dalam saku.
"Ini, Nona. Semoga anda tidak marah karna saya merusak ponsel anda." Bule itu mengulurkan ponselnya dan langsung saja di terima Jeni dengan mata berbinar.
"Tuan, kalau begitu saya permisi dulu. Ada pertemuan penting yang harus saya hadiri," pamitnya lagi pada Adam.
Adam membalas jabatan tangannya. "Baiklah, semoga nanti kita bisa bertemu lagi saat situasinya tidak seperti ini."
Bule itu tersenyum dan mengangguk, kemudian melangkah cepat memasuki gedung hotel tempat Jeni check in sebelumnya.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Jen?" tembak Adam dingin sambil berkacak pinggang menatap wanita yang masih berstatus istrinya itu.
Jeni yang tengah mengagumi ponsel barunya itu terkesiap dan langsung cepat-cepat memasukkan ponsel itu ke dalam tas kecil yang di bawanya.
"Ah, ap- apa urusanmu memangnya, Bang? Seenaknya berucap sembarangan di depan orang asing," gerutu Jeni membalik keadaan.
Tapi Adam yang sudah terbiasa menghadapi kelakuan Jeni sudah hapal akan tabiat istrinya yang tak pernah mau mengalah itu.
"Kenapa? Memang itu yang kamu mau kan? Dan itu juga yang akan terjadi," tukas Adam datar.
Jeni kebingungan menghadapi perubahan sikap Adam yang menurutnya hampir mirip dengan Sarah saat dia di rumahnya tempo hari.
'ah, sial. Bang Adam kenapa sih? Jangan bilang kalau ...,' batin Jeni khawatir.
Adam tersenyum miring. " Ya, kamu benar," ucap Adam seakan tau isi hati Jeni.
Adam berjalan menuju kursi taman yang tak jauh darinya, dan seperti kerbau di cucuk hidungnya Jeni malah membuntutinya.
"Apa maksud kamu, Bang? Jangan berbelit-belit. Kita sudah bahas ini sebelumnya kan? nggak punya hati sekali kamu kalau sampai ...."
"Lalu apa kamu masih punya hati, Jen?" sela Adam.
Jeni tercekat, Adam terlihat begitu berbeda di matanya saat ini. Sangat ... berwibawa dan tak terbantahkan, entahlah ... tapi itu yang tampak di mata Jeni saat ini.
"Tidak perlu terkejut, bukankah semuanya sudah jelas?" imbuh Adam santai.
"Kamu aneh, Bang." Jeni menghempaskan tubuhnya di sebelah Adam, namun Adam justru beringsut menjauhi Jeni.
Jeni menatapnya keheranan namun juga ada sudut hatinya yang tercubit mendapat perlakuan dingin dari adam yang selama ini selalu bucin padanya
"Bang, kamu ...." Jeni menggantung kalimatnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Adam mendesah lirih. "Yah, Jen. Abang sudah tau semuanya ... dan Abang ... kecewa sekali sama kamu, Jen. Abang kira selama ini, kamu cuma belum bisa menerima Abang. Tapi ternyata Abang tidak sangka kalo kamu senekat itu."
Jeni kembali tercekat, dia ingin berucap namun lidahnya terasa kelu. Ingin membela diri tapi apa yang di katakan Adam memanglah benar adanya. Air mata Jeni menetes, dia pun bingung kenapa dia menangis padahal harusnya dia senang bisa terbebas dari hubungannya dengan Adam yang sejak awal memang tak di sukainya.
"Padahal Abang berharap suatu saat kamu akan berubah, dan bisa mulai menerima Abang seperti Abang belajar menerima kamu dulu. Tapi ternyata ... semuanya hanya angan-angan, kamu bahkan sudah melangkah terlalu jauh dengan pria lain. Jujur Abang sakit hati, Jen. Tapi ... Abang sadar diri kalau Abang memang tidak mempunyai tempat di hati kamu sejak awal. Jadi ... harusnya semua ini wajarkan? Kamu berontak dan memilih menjalin hubungan dengan pria lain." Adam tertawa sumbang mengungkapkan isi hatinya.
Tak ada tangis yang di keluarkan Adam, sudah kering air matanya meratapi Jeni sebelumnya. Namun dia tau, semua itu tak akan ada gunanya jika Jeni sendiri nyatanya tidak mencintainya.
"Lalu bagaimana keputusan kamu setelah tau itu semua, Bang?" Jeni berpura-pura tegar walau kini hatinya tercabik entah karena apa, namun tetes demi tetes air mata di pipinya sudah cukup mewakili kalau dia ternyata tak rela akan berpisah dari Adam.
Adam menarik nafas dalam, memantapkan hatinya kalau ini jalan terbaik untuk mereka berdua.
"Maaf, Jen. Tapi Abang sudah tidak sanggup, Abang ikhlaskan kamu, Jen. Dengan ini saya Adam Abrar menjatuhkan talak padamu Jeni prastika Sari, mulai saat ini saya bebaskan kamu dari semua hubungan dan kewajiban kamu atas saya, saya bebaskan kamu dari semuanya."
Tes
Satu titik air mata jatuh di mata Adam, namun dengan cepat dia menyusutnya dan kembali duduk tegak seakan tak terjadi apa-apa.
"Apa, Bang? Kamu nalak aku? tapi kamu nggak bisa begini, Bang! gimana sama kedua orang tua aku?" jerit Jeni frustasi, dia bahkan lupa kalau saat ini tengah berada di tempat umum bahkan kini orang yang berlalu lalang di tempat itu mulai melirik ke arah mereka.
Adam berdiri dan mendesah panjang. "Maaf, tapi dari awal bukan Abang yang menginginkan ini, tapi kamu. Dan semua masalah ini juga bermula dari kamu, jadi Abang harap kamu harusnya sudah punya solusi saat hal ini akhirnya terjadi."
Jeni terisak lemah, tak mampu berkata-kata. Habis sudah semua harapan dan rencananya, Bima yang selama ini dia harapkan pun nyatanya bergerak lebih lambat daripada seekor siput. Sampai akhirnya Adam yang selama ini menjadi tempat bersandar Jeni dan kedua orang tuanya mengetahui semua dan memilih pergi.
"Apa sudah tidak ada maaf di hatimu, Bang? kalau bukan buatku, setidaknya kasihanilah orang tuaku. Mereka bisa makan selama ini karna kamu, Bang." Jeni terisak lirih, berharap masih ada sedikit iba di hati Adam akan kedua orang tuanya.
Adam menoleh sedikit dan mendesah panjang. "Hah, maaf Jen. Tapi mulai saat ini ... itu bukan lagi urusan Abang. Bukankah pria yang kamu kencani itu adalah orang kaya seperti kata mu? harusnya dia mampu kan membiayai orang tuamu lebih dari aku yang hanya seorang tukang nasi goreng ini?"
Jeni berdiri dengan terburu-buru. "Sejak tadi kamu selalu bilang seakan aku sudah tidur dengan pria lain, Bang! Sekarang aku tanya, apa kamu punya buktinya?"
Adam berbalik dan tersenyum. "Apa kita harus melihat bukti itu bersama, Jen? apa stok rasa malu mu masih ada?"