Sinopsis
Caca, adik ipar Dina, merasa sangat benci terhadap kakak iparnya dan berusaha menghancurkan rumah tangga Dina dengan memperkenalkan temannya, Laras.
Hanya karena Caca tidak bisa meminta uang lagi kepada kakaknya sendiri bernama Bayu.
Caca berharap hubungan Bayu dan Laras bisa menggoyahkan pernikahan Dina. Namun, Dina mengetahui niat jahat Caca dan memutuskan untuk balas dendam. Dengan kecerdikan dan keberanian, Dina mengungkap rahasia gelap Caca, menunjukkan bahwa kebencian dan pengkhianatan hanya membawa kehancuran. Dia juga tak segan memberikan madu untuk Caca agar bisa merasakan apa yang dirasakan Dina.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 RENCANA CACA SEMAKIN KACAU
Mataku mulai berair, bukan karena sedih, tetapi karena marah. Marah pada diriku sendiri, marah pada Mas Bayu, dan marah pada Laras yang sudah bermain dengan perasaannya.
"Tapi Caca…" Mas Bayu mencoba berkata, tapi aku memotongnya.
"Jangan 'tapi'! Kamu tahu apa yang kamu lakukan, Mas. Kamu menghancurkan segalanya! Rumah tangga kita, hubungan kita, semua itu hanya karena seorang wanita yang bahkan tidak peduli dengan kamu!" suaraku semakin meninggi. "Aku hanya ingin semuanya berjalan lancar. Aku hanya ingin kita semua bahagia, tapi kamu… kamu malah merusaknya!"
Aku bisa melihat keraguan di mata Mas Bayu. Dia ingin berbicara lebih banyak, tapi aku tidak memberi kesempatan. "Aku sudah cukup, Mas. Jangan buat aku lebih kecewa lagi."
Saat aku hendak pergi, tiba-tiba aku mendengar suara Laras yang datang dari belakang. "Kamu memang egois, Caca. Kenapa kamu tidak bisa menerima kenyataan? Mas Bayu lebih bahagia dengan aku, dan itu membuatnya merasa lebih hidup."
Aku berbalik dan menatap Laras dengan tajam. "Jangan sekali-kali kamu menganggap dirimu lebih baik dari aku, Laras. Kamu tidak tahu apa yang telah kulakukan untuk keluarga ini."
Laras hanya tersenyum sinis. "Kamu tidak akan pernah bisa mengendalikan segalanya, Caca. Dan kali ini, kamu gagal."
Aku menatap mereka berdua, merasakan amarah yang memuncak. Rencanaku yang awalnya sempurna kini berantakan. Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku merasa seperti semuanya sudah terlambat, dan yang lebih buruk, aku merasa terjebak dalam permainan yang tidak pernah aku rencanakan.
Esoknya, pagi yang cerah tiba-tiba berubah menjadi mencekam. Aku sedang duduk santai di kamar mewah yang sudah biasa aku tempati, menikmati secangkir kopi hangat, ketika aku mendengar suara langkah kaki di luar. Tanpa bisa aku hindari, jantungku berdegup kencang. Ada sesuatu yang sangat menakutkan dalam suasana ini. Ternyata, itu suara langkah kaki Mbak Dina.
Perasaan takut dan cemas mulai menguasai diriku. Aku tahu, jika Mbak Dina datang, pasti ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi. Selama ini aku selalu merasa terancam dengan kehadirannya, apalagi setelah dia mengetahui rencanaku yang sudah berantakan. Aku berusaha menenangkan diri, tapi perasaan itu tetap tidak bisa kuhalau.
Aku mendengar pintu diketuk pelan. "Caca, bisa kamu keluar sebentar?" Suara Mbak Dina terdengar dari luar, tegas dan dingin.
Aku memejamkan mata sejenak, mencoba meredakan degupan jantung yang semakin keras. Tidak ada jalan mundur. Aku harus keluar, apapun yang akan terjadi.
Aku membuka pintu dengan perlahan, dan terlihat Mbak Dina berdiri dengan tatapan tajam yang sudah sangat aku kenal. Dia memandangku dengan penuh amarah, seolah ingin mengungkapkan sesuatu yang besar.
"Ada apa, Mbak Dina?" Aku mencoba untuk terdengar tenang, meskipun hatiku sudah berdebar tak terkendali.
Mbak Dina menghela napas panjang, lalu menatapku dengan penuh kebencian. "Caca, aku sudah tahu semua tentang apa yang kamu lakukan. Tentang Laras, tentang rencanamu untuk merusak rumah tangga kita." Suaranya semakin tajam, seperti pisau yang siap mengiris. "Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiranmu, tapi aku ingin kamu berhenti sekarang juga."
Aku terkejut, tak menyangka Mbak Dina bisa mengetahui semuanya. "Bagaimana kamu bisa tahu?" tanyaku, berusaha menunjukkan ketidakpedulian, meskipun dalam hati aku merasa sangat terpojok.
"Tentu saja aku tahu," jawab Mbak Dina dingin. "Aku tidak bodoh, Caca. Aku sudah tahu apa yang kamu coba lakukan. Kamu ingin menghancurkan rumah tangga kami, kan? Menggoda suamiku untuk dekat dengan Laras dan membuat kami berantakan. Tapi percayalah, aku tidak akan membiarkan itu terjadi."
Aku mencoba menahan diri, berusaha untuk tidak membalas kata-kata tajamnya. "Aku hanya ingin melihat kakakku bahagia, Mbak Dina. Apa salahnya kalau aku ingin mencoba sesuatu yang baru?" jawabku, meskipun aku tahu itu hanyalah sebuah alasan yang tak berdasar.
"Jangan beri aku alasan, Caca," balasnya dengan suara yang semakin keras. "Kamu tidak tahu siapa yang sedang kamu hadapi. Aku tidak akan membiarkan kamu merusak apa yang sudah aku bangun."
Keringat dingin mulai membasahi dahiku. Aku tahu ini bukan ancaman kosong. Mbak Dina sudah tahu apa yang aku lakukan, dan dia pasti akan melakukan apapun untuk melindungi rumah tangganya. Aku merasa semakin terjepit dalam permainan yang aku sendiri yang buat.
"Aku akan mengingatkan kamu, Caca," kata Mbak Dina dengan nada lebih rendah, tapi penuh ancaman. "Kamu tidak akan pernah bisa menang dari aku. Jadi, berhenti sebelum semuanya terlambat."
Aku hanya bisa terdiam, merasa tak berdaya di hadapannya. Mbak Dina sudah memegang kendali, dan aku tahu, rencanaku kali ini akan gagal total.
Jantungku berdegup kencang saat Mbak Dina melangkah mendekat, tangan kirinya menggenggam sesuatu yang terlihat seperti sebuah amplop. Dia menatapku dengan ekspresi penuh kemenangan, dan dengan sengaja mengeluarkan foto dari dalam amplop itu.
Aku merasa darahku seolah berhenti mengalir begitu melihat foto yang ada di tangannya. Itu adalah foto lama, foto yang aku sendiri ingin kubuang jauh-jauh, sebuah kenangan yang sangat memalukan—foto di klub malam, dikelilingi oleh laki-laki yang bukan siapa-siapa, mengenakan pakaian yang terlalu minim dan menunjukkan sisi diriku yang tak ingin diketahui oleh siapapun, apalagi keluarga Mertuaku.
"Ini dia," kata Mbak Dina dengan senyum tipis yang penuh sarkasme. "Aku yakin foto ini bisa membuat keluarga mertuamu sangat bangga, Caca. Apalagi kalau aku mengirimkan foto ini ke mereka. Apa yang mereka akan pikirkan tentangmu?"
Suara Mbak Dina terdengar seperti sebuah senjata tajam yang mengiris-iris hatiku. Aku merasa seolah dunia ini runtuh di depanku, dan tidak ada jalan keluar.
"Jangan... Jangan lakukan itu, Mbak Dina," suaraku tergetar. Aku berusaha untuk tetap tenang, meskipun dalam hati aku sangat ketakutan. "Tolong... Jangan berikan foto itu ke mereka. Aku memohon."
Mbak Dina hanya tersenyum sinis, lalu melangkah mundur dengan langkah penuh kemenangan. "Kamu tahu, Caca, aku bisa sangat baik hati. Aku tidak akan mengirim foto ini ke keluarga Mertuamu... asal kamu berhenti bermain-main dengan suamiku. Berhenti mengganggu rumah tanggaku, dan aku akan menyimpan rahasia ini."
Hatiku terasa seperti dihimpit batu besar. Aku ingin berteriak, marah, dan membalasnya, tapi aku tahu itu tidak akan membantu. Foto itu adalah sesuatu yang sangat memalukan bagiku, dan aku tahu jika foto itu sampai ke tangan keluarga Mertuaku, aku akan hancur.
Aku hanya bisa terdiam, menahan air mata yang hampir meleleh. "Aku tidak pernah bermaksud... menghancurkan rumah tanggamu, Mbak Dina," kataku dengan suara pelan, penuh penyesalan.
Dia tidak menanggapi, hanya mengangguk pelan, dan dengan satu kata terakhir, dia pergi, meninggalkan aku dengan rasa takut yang mendalam.
"Satu kata, Caca. Hati-hati."
Aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang sangat berat yang menghimpit dadaku. Semua rencanaku berantakan. Aku tak tahu harus berbuat apa. Keputusanku yang buruk untuk memainkan permainan berbahaya ini kini kembali menghantui aku. Aku merasa sangat terjebak dalam situasi ini, dan rasanya hidupku hancur dalam sekejap mata.
Sesaat, aku hanya bisa duduk terdiam di ruang itu, memikirkan segala akibat yang mungkin datang, tanpa tahu apakah aku bisa keluar dari mimpi buruk ini. Akhirnya mbak Dina pun keluar dari kamarku. Lebih baik aku menghubungi Laras. Aku akan menyuruh dia untuk berhenti
Aku gemetar saat menekan nomor ponsel Laras, berusaha untuk tetap tenang meski rasa takut terus mencekikku. Pikiranku kacau, dan aku tahu aku harus menghentikan semuanya sebelum benar-benar terlambat. Aku menunggu sejenak, dan akhirnya suara Laras terdengar di ujung telepon.
"Laras," suaraku terdengar cemas, "Aku mohon, hentikan semuanya. Ini sudah terlalu jauh. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, tapi kalau kita terus begini, semuanya akan berantakan."
Ada jeda sejenak, sebelum Laras menjawab dengan nada yang tak kuterima. "Caca, aku… aku nggak bisa. Aku… aku sudah sangat mencintai Mas Bayu. Aku tak bisa berhenti begitu saja."
Aku hampir tak percaya dengan apa yang aku dengar. Ini tidak mungkin. Laras yang selalu tampak mengendalikan segalanya, sekarang malah terjebak dalam perasaan yang tidak kuharapkan. "Laras, jangan lakukan ini. Ini terlalu berbahaya! Mbak Dina sudah mengetahui semuanya, dan dia mengancam akan menghancurkan kita semua! Jika kamu terus seperti ini, kita semua akan hancur, termasuk kamu!"
Aku bisa merasakan Laras menarik napas panjang sebelum dia berbicara lagi, suara berat dan penuh tekad. "Caca, aku tahu kamu khawatir. Tapi aku sudah terlanjur terjebak dalam perasaan ini. Aku benar-benar mencintai Mas Bayu, dan dia juga merasa hal yang sama. Aku nggak bisa mundur sekarang."
kadang kasian Ama Caca, tp kenapa dia ngga mikir y gimana perasaan Dina. yg skg dia alami.
apa Caca ngga sadar ini ulahnya.
makin merasa terzolimi padahal dia sendiri pelakunya