Nara Stephana, pengacara cemerlang yang muak pada dunia nyata. Perjodohan yang memenjarakan kebebasannya hanya menambah luka di hatinya. Dia melarikan diri pada sebuah rumah tua—dan takdirnya berubah saat ia menemukan lemari antik yang menyimpan gaun bak milik seorang ratu.
Saat gaun itu membalut tubuhnya, dunia seakan berhenti bernafas, menyeretnya ke kerajaan bayangan yang berdiri di atas pijakan rahasia dan intrik. Sebagai penasihat, Nara tak gentar melawan hukum-hukum kuno yang bagaikan rantai berkarat mengekang rakyatnya. Namun, di tengah pertempuran logika, ia terseret dalam pusaran persaingan dua pangeran. Salah satu dari mereka, dengan identitas yang tersembunyi di balik topeng, menyalakan bara di hatinya yang dingin.
Di antara bayangan yang membisikkan keabadian dan cahaya yang menawarkan kebebasan, Nara harus memilih. Apakah ia akan kembali ke dunia nyata yang mengiris jiwanya, atau berjuang untuk cinta dan takhta yang menjadikannya utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masuk Ke Dimensi Lain
Pagi datang seperti lonceng kemerdekaan. Dengan koper kecil dan ransel di pundaknya, Nara meninggalkan rumah tanpa menoleh. Angin dingin pagi itu seolah mendukung langkahnya, membisikkan kata-kata yang menenangkan: ini saatnya terbang, jauh dari sangkar.
Ia pergi ke pinggir desa--tempat di mana dunia terasa lebih sunyi, tetapi juga lebih jujur. Rumah itu sederhana, nyaris kosong, kecuali sebuah lemari tua di sudut ruangan. Kayunya retak-retak, dan catnya mengelupas seperti luka yang sudah lama dilupakan.
“Haduh, kenapa nenek nggak bawa lemari miliknya ya?” gumam Nara sambil mendekat. Ia membuka pintunya perlahan, dan matanya langsung terpaku.
Nara menemukan sebuah lemari tua tersebut di sudut ruangan ketika sedang menata barang-barang miliknya. Awalnya ia mengira lemari itu kosong, tapi ketika dibuka, matanya membelalak. Di dalamnya, tergantung sebuah gaun berwarna ungu dengan desain yang luar biasa indah seperti gaun putri di negeri dongeng.
“Kenapa gaun secantik ini ada di sini?” bisiknya, jari-jarinya menyentuh kainnya dengan hati-hati.
Rasa penasaran menyeretnya lebih jauh. Ia melepas jaketnya dan mengenakan gaun itu. Ketika kain lembut itu menyentuh kulitnya, dunia di sekitarnya berubah. Udara menjadi berat, seperti ribuan kupu-kupu yang mengepakkan sayap di dadanya.
Tapi belum sempat ia mencerna apa yang terjadi, tubuhnya seperti ditarik oleh kekuatan tak terlihat. Pandangannya gelap, dunia sekelilingnya lenyap dalam sekejap.
Angin kencang berputar di sekelilingnya membawa bisikan-bisikan tak jelas seperti suara-suara asing yang memanggil dari balik tirai waktu. Nara terjatuh, terhempas tanpa bisa mencegahnya.
Ketika tarikan itu berhenti, Nara membuka matanya dan dia mendapati dirinya berada di tempat yang asing—hutan lebat yang penuh kabut dengan langit berwarna senja, merah-oranye yang memudar. Kesejukan angin menyentuh kulitnya, membawa bau tanah basah yang asing di hidung. Dia mencoba berdiri. Tubuhnya masih terasa lemas setelah apa yang terjadi, tapi tak ada waktu untuk merenung.
Di depannya, jurang menganga lebar. Air terjun bertingkat-tingkat mengalir deras di bawahnya, dan suara gemuruhnya menambah suasana mencekam.
“Dimana ini?” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri. Tapi sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara derap langkah kuda mendekat memecah keheningan. Beberapa pria berpakaian baju zirah duduk di atas para kudanya.
Ketupak.. ketupak.. ketupak..
Nara bisa melihat bayang-bayang mereka melintas di antara pepohonan. Dari arah itu, dia bisa merasakan bahwa mereka sedang mendekat.
Nara menahan napas, berusaha menundukkan tubuhnya dan menyembunyikan diri di balik batu besar di tepi jurang. Sepertinya tak ada pilihan selain berdiam diri dan berharap mereka tidak melihatnya. Selama dia belum tahu tempat apa yang ia pijak, Nara sebisa mungkin menghindari pertemuan dengan makhluk di dalamnya. Salah-salah dia bisa jadi tawanan bahkan terjebak selamanya di sini.
Di balik batang pohon besar, jantungnya berdebar saat suara derap langkah kuda semakin mendekat. Ia mencoba tetap tenang, menyembunyikan diri agar tidak terlihat oleh pasukan prajurit yang sedang lewat.
"Area ini bersih," salah satu prajurit berkata dengan suara tegas.
"Terus maju! Jangan biarkan dia lolos!" sahut yang lain.
Perlahan, derap kuda mulai menjauh. Nara akhirnya menghela napas lega, melonggarkan tubuhnya yang sempat tegang. Namun, saat ia baru hendak melangkah pergi, suara berat terdengar dari arah belakang.
"Woy, tolongin gue!"
Nara tersentak. Ia segera menoleh ke arah sumber suara. Matanya memindai sekitar, namun yang ia lihat hanya semak belukar dan kabut tebal. Tidak ada apa-apa di sana.
"Nara, tolongin gue."
Hah? namanya disebut membuat Nara terjingkat.
"Lo dimana? kenapa ada suaranya doang?" Nara bertanya dengan nada waspada. Tak ada jawaban. Hutan kembali sunyi, seakan suara tadi hanyalah halusinasinya.
Namun, saat ia menurunkan pandangan, matanya tertumbuk pada sosok kecil di atas tanah. Seekor landak kecil, dengan bulu berduri yang sebagian kusut dan berdarah hitam, tengah menatapnya lekat.
"Gue di sini!" Landak itu berbicara, suaranya berat dan terdengar sedikit memaksa.
Nara terperangah. "Lo... bisa ngomong?"
"Ya, bisa. Nggak usah kaget, wahai manusia. Di sini banyak hal yang lebih aneh dari sekadar landak yang ngomong," jawabnya sambil mencoba berdiri, tapi terlihat meringis.
"Lo kecebur di got?" kata Nara spontan. Dia melihat landak itu berlumuran cairan hitam.
Landak itu mendengus. "Ini bukan kecebur di got, tapi gue lagi terluka. Cairan hitam ini darah gue Nara." Sekali lagi Nara mendengar namanya disebut-sebut.
"Kok lo bisa tahu nama gue? sedangkan gue aja masih bingung ini tempat apa?!"
"Pokoknya lo bantuin gue dulu sekarang. Ceritanya nanti aja."
Nara memutar bola matanya. "Oke, terus gue harus ngapain?"
"Pertama-tama lo taruh tubuh gue di telapak tangan lo."
Nara melakukan apa yang si landak minta. Sekarang sudah ada di tangan wanita itu, landak kembali bersuara.
"Lo basuh gue pakai Air Mata Senja, nama danau yang tidak jauh dari sini. Ayo jalan ke arah barat daya."
Tanpa banyak bertanya, Nara pun mengikuti arahan landak. Sebenarnya Nara kurang begitu yakin landak ada di pihaknya, tapi karena nalurinya mengatakan harus menolong landak ini, wanita itu jadi bergerak sesuai hati.
"Nama gue Uto," ujar si landak singkat di dalam keheningan yang tercipta. "Dan kalau lo mau tahu kenapa lo ada di sini, gue mungkin bisa ceritakan setelah nanti gue berubah wujud."
"Berubah wujud? lo landak jadi-jadian?"
"Wujud gue aslinya bukan begini. Kita udah sampai di Mata Air Senja. Lo buruan basuh gue pakai itu."
Nara menaruh telapak tangannya di atas permukaan danau. Tangan satunya lagi ingin mencebik air ke tubuh Uto, namun landak tersebut meminta agar diceburkan saja.
Byuur.
"Uto?" Nara memanggil dengan nada bingung, berdiri dan mundur beberapa langkah.
Tubuh Uto tampak berubah. Bulunya perlahan menghilang, digantikan oleh sesuatu yang jauh lebih besar dan... manusiawi?
"Apaan ini?!" seru Nara dengan tampang tak percaya.
.
.
Bersambung.
Nara