Di Bawah Umur Harap Minggir!
*****
Salahkah bila seorang istri memiliki gairah? Salahkah seorang istri berharap dipuaskan oleh suaminya?
Mengapa lelaki begitu egois tidak pernah memikirkan bahwa wanita juga butuh kepuasan batin?
Lina memiliki suami yang royal, puluhan juta selalu masuk ke rekening setiap bulan. Hadiah mewah dan mahal kerap didapatkan. Namun, kepuasan batin tidak pernah Lina dapatkan dari Rudi selama pernikahan.
Suaminya hanya memikirkan pekerjaan sampai membuat istrinya kesepian. Tidak pernah suaminya tahu jika istrinya terpaksa menggunakan alat mainan demi mencapai kepuasan.
Lambat laun kecurigaan muncul, Lina penasaran kenapa suaminya jarang mau berhubungan suami istri. Ditambah lagi dengan misteri pembalut yang cepat habis. Ia pernah menemukan pembalutnya ada di dalam tas Rudi.
Sebenarnya, untuk apa Rudi membawa pembalut di dalam tasnya? Apa yang salah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Bertamu
Lina mengawali harinya dengan bangun pagi. Saat sang suami masih terlelap, ia menuju ke dapur untuk menyiapkan makanan.
Ucapan suaminya semalam hanyalah sekedar ucapan. Katanya mau lanjut ronde ke dua, tapi orangnya malah masih asyik di alam mimpi.
Bukan hal yang mengherankan lagi untuk Lina. Itu sudah biasa. Suaminya selain malas bercinta juga gampang kelelahan. Tak pernah lelaki itu ia tanyakan apakah sudah terpuaskan. Lina justru yang selama ini memuaskan.
Sampai suaminya bangun, mandi, lalu sarapan bersama, lelaki itu tak membahas masalah semalam. Seolah tidur telah menghapus memorinya. Lina ingin kesal, tapi lelaki itu memang suami yang tidak peka.
"Sayang, aku berangkat kerja dulu, ya! Kamu jaga diri baik-baik di rumah," pesan Rudi seraya mengecup pipi Lina.
Lelaki itu masuk ke dalam mobilnya lalu menyalakannya. Ia melambaikan tangan ke arah Lina yang masih berdiri di depan pintu. Sejurus kemudian, mobil itu melaju meninggalkan rumah.
Lina menghela napas. Ia merasa kehidupannya di kota baru itu tidak akan jauh berbeda dengan sebelumnya. Ia hanya akan menjadi seorang istri yang berdiam diri di rumah menunggu suami pulang.
"Hah! Kalau seperti ini terus, lebih baik aku kembali bekerja," gumamnya.
"Setidaknya aku punya anak supaya tidak terlalu sepi seperti ini. Tapi, bagaimana mau punya anak kalau bapaknya malas bercocok tanam. Benihnya juga pasti kualitasnya jelek karena kebanyakan kerja," lanjutnya. Ia menggerutu berbicara kepada dirinya sendiri.
Tak berselang lama Rudi pergi, di sebelah tampak Dara dan Trian keluar dari dalam rumah. Keduanya berpakaian rapi dan bersiap akan menaiki mobil.
Lina kira mereka akan masuk mobil bersama, namun hanya Trian yang masuk ke dalam mobil. Dara melambaikan tangan melepas kepergian mobil Trian.
"Selamat pagi, Lina!" sapa Dara yang menyadari keberadaan Lina. Ia melambaikan tangannya.
Lina membalas dengan turut melambaikan tangan.
"Aku kira kamu juga akan pergi kerja," kata Lina. Melihat gaya berpakaian Dara yang begitu rapi dan formal, tidak mungkin wanita itu hanya akan pergi jalan-jalan.
"Ya, aku memang mau berangkat kerja" jawab Dara.
Lina mengernyitkan dahi. "Tapi, kok nggak ikut suamimu?" tanyanya heran.
"Oh, iya. Tempat kerja kita beda. Jadi, aku bawa mobil sendiri," jawab Dara.
"Oh, begitu ...," Lina mengangguk paham.
Ia jadi rindu dengan masa-masa kerjan dulu. Bangun pagi, berpakaian rapi, lalu berangkat ke kantor. Wanita karir selalu terlihat keren meskipun pekerjaannya menuntut untuk kerja keras bagai kuda.
"Kalau begitu, aku berangkat dulu, ya!" pamit Dara. Sekali lagi ia melambaikan tangan ke arah Lina.
Lina ikut melambaikan tangan. Ia memperhatikan mobil Dara yang perlahan bergerak keluar dari carport rumah lalu melaju ke jalanan.
Lina menghela napas. Tetangga satu-satunya sudah pergi. Itu artinya, dia sendirian di blok perumahan itu sekarang.
"Yah ... Aku seperti penjaga kuburan sekarang," gerutu Lina.
Ia kembali masuk ke dalam rumah. Bingung mau melakukan apa, ia memilih untuk duduk bersantai di ruang tengah menyalakan televisinya. Ia menonton drama supaya suasana tak begitu sepi.
"Apa aku melamar kerja saja ya, hari ini? Aku cari dulu siapa tahu ada lowongan pekerjaan," gumam Lina sembari membuka-buka media sosial di ponselnya.
Ia mengetikkan pencarian lowongan kerja yang ada di kota tersebut. Sepertinya ia bisa gila jika hanya duduk diam di rumah saja.
"Kalau kerja kantoran lagi, sepertinya aku juga tidak sanggup. Pasti ada drama lembur dan senioritas deh."
Lina melihat ada lowongan kerja serupa dengan pengalamannya. Namun, ia hanya berniat kerja untuk mengisi waktu. Jika harus menjadi pegawai kantor lagi, ia belum siap untuk bekerja seharian penuh. Maka dari itu, ia mencari-cari pekerjaan lain yang mungkin tidak terlalu memberatkannya.
"Nah! Sepertinya ini cocok!" seru Lina kegirangan.
Ia melihat sebuah lowongan untuk mengisi posisi guru TK. Kebetulan dia juga menyukai anak-anak. Pekerjaannya hanya sampai siang. Kualifikasi pendidikan tidak ditentukan, yang penting sarjana dan menyukai anak-anak.
"Nanti aku akan mencoba mendaftar ke sana!"
***
Lina tampak tengah menyirami tanaman di halaman depan. Suaminya belum juga pulang padahal hari sudah sore. Seharian ia sudah sangat bosan menunggu di rumah sendirian.
"Hah! Katanya cuma kerja setengah hari!" gerutu Lina kepada sang suami yang lagi-lagi mengingkari janji.
Terdengar suara mobil mendekat. Ia kira mobil suaminya, ternyata mobil tetangga sebelah. Itu adalah mobil Fortuner hitam yang tadi pagi dibawa Trian ke kantor.
Benar saja, Trian keluar dari dalam mobil setelah memarkirkannya. Lelaki itu terlihat kebingungan sembari mencoba menelepon orang. Lina hanya bisa memperhatikan sembari melanjutkan kegiatannya menyirami tanaman.
Tiba-tiba Trian menoleh ke arah Lina. Buru-buri Lina mengalihkan pandangan. Namun, Trian tampak berjalan ke arahnya. Lina merasa gugup dihampiri oleh Trian.
"Lina," panggil Trian.
"Ah, iya, ada apa?" tanya Lina. Ia sangat canggung berhadapan dengan lelaki yang pernah menjadi mantan pacarnya itu. Ia mematikan selang airnya.
"Apa Dara menitipkan kunci rumah padamu?" tanya Trian.
Lina mengernyitkan dahi. "Kunci? Dara tidak menitipkan apapun padaku," jawabnya.
Trian mendengus kesal. "Aku tidak bisa masuk rumah karena kuncinya dia bawa. Aku hubungi juga tidak tersambung," ucapnya dengan nada agak kesal.
Trian sudah merasa sangat lelah sepulang kerja. Ia ingin segera beristirahat di rumah. Namun, istrinya belum pulang dan kondisi rumah terkunci.
"Dara langsung pergi setelah kamu pergi tadi pagi."
"Apa dia tidak pulang sebentar ke rumah?" tanya Trian.
Lina menggeleng.
Trian memegangi kepalanya seperti orang kebingungan.
"Kalau kamu mau, tunggu saja di rumahku sampai Dara pulang," ajak Lina.
"Apa itu tidak mengganggumu?" tanya Trian.
"Tidak, tidak apa-apa. Masuk saja, dari pada kamu menunggu di luar pintu," ujar Lina.
Trian akhirnya mau masuk ke rumah Lina. Dia juga merasa canggung dan tidak enak hati karena kemarin sudah berpura-pura tidak mengenal wanita itu.
"Maaf, ya, hanya ada ini." Lina mengeluarkan beberapa kotak minuman buah kemasan dan menyajikannya di hadapan Trian. Ia baru mengambilnya dari dalam kulkas.
"Kenapa kamu repot-repot begini? Aku jadi tambah sungkan," kata Trian.
"Tidak apa-apa. Ini juga seadanya."
Lina duduk tepat di hadapan Trian. Keduanya nampak canggung tak berani bertatapan.
"Maaf untuk yang kemarin," ucap Trian mengawali pembicaraan.
"Kemarin? Memangnya kenapa?" tanya Lina heran.
"Kemarin aku pura-pura tidak mengenalmu," jawab Trian jujur. Ia sangat merasa bersalah dan terbebani.
"Ah, itu ...." Lina tidak menyangka jika Trian akan membahasnya. "Aku bisa memahami mungkin kamu ingin menjaga perasaan istrimu. Tidak apa-apa, kamu tidak perlu minta maaf. Lagi pula, itu sudah lama berlalu," katanya bijak.