Aira harus memilih di antara dua pilihan yang sangat berat. Di mana dia harus menikah dengan pria yang menjadi musuhnya, tapi sudah memiliki dirinya seutuhnya saat malam tidak dia sangka itu.
Atau dia harus menunggu sang calon suami yang terbaring koma saat akan menuju tempat pernikahan mereka. Kekasih yang sangat dia cintai, tapi ternyata memiliki masa lalu yang tidak dia sangka. Sang calon suami yang sudah memiliki anak dari hubungan terlarang dengan mantannya dulu.
"Kamu adalah milikku, Aira, kamu mau ataupun tidak mau. Walaupun kamu sangat membenciku, aku akan tetap menjadikan kamu milikku," ucap Addriano Pramana Smith dengan tegas.
Bagaimana kehidupan Aira jika Addriano bisa menjadikan Aira miliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mas Dewa Koma
Ayah Aira dan Arlan memberitahu orang-orang jika pernikahan Aira hari ini dibatalkan karena calon suami Aira mengalami kecelakaan. Semua orang di sana tampak terkejut mendengarnya. Akhirnya mereka semua meninggalkan rumah Aira.
Kedua orang tua Kenzo dan Kenzo yang baru turun dari mobil tampak kaget melihat banyak orang meninggalkan rumah Aira. "Bunda, apa kita datang terlambat? Kenapa semua orang sudah pulang?"
"Bunda tidak tau, Ken. Kita tanya saja pada mereka."
"Kalau begitu biar aku saja yang bertanya pada mereka." Kenzo menghampiri salah satu dari tamu undangan di sana. Kenzo sangat terkejut mengetahui jika acara pernikahan Aira dibatalkan karena calon mempelai laki-lakinya mengalami kecelakaan saat akan menuju rumah Aira.
Kenzo segera memberitahu kedua orang tuanya tentang hal ini. "Kasihan sekali nasib Aira. Dia pasti sangat shock mendengar hal ini."
"Kita sebaiknya pergi saja dan tidak mengganggu mereka dulu."
"Iya, Yah. Kalau begitu kita pulang saja sekarang." Kenzo dan keluarganya berjalan pergi dari sana.
Aira masih belum sadar. Niana dan mama Aira tampak cemas dan menangis di sana. "Aku sudah memberitahu semuanya. Bahkan acara resepsi nanti malam juga sudah aku cancel. Ayah tidak tau apa lagi sekarang yang harus kita lakukan." Pria yang akan menjadi wali nikah untuk Aira itu pun tampak duduk lemas melihat nanar pada gadis yang tengah pingsan dengan masih memakai kebaya pengantinnya.
"Ma, Yah, kita seharusnya segera ke rumah sakit untuk melihat keadaan Dewa dan keluarganya."
"Iya, Mama tau, Arlan, tapi mama juga masih khawatir dengan Aira. Kejadian ini benar-benar sangat mengejutkan. Mama bingung apa yang harus kita lakukan sekarang." Niana memeluk mama Aira.
Malam itu di suatu gedung rumah sakit. Tangis ibu Dewa tidak berhenti saat dirinya dihadapkan oleh sosok putra kesayangannya yang terbaring tidak berdaya di atas ranjang rumah sakit dan berbagai alat yang menempel pada tubuhnya. Dewa mengalami suatu insiden kecelakaan yang sangat parah, mobilnya bahkan hancur dan sekarang dia harus terbaring dengan mata masih terpejam dan berbagai alat medis menempel di tubuhnya.
"Sayang, kamu harus sabar. Siapapun tidak tau akan datangnya suatu musibah." Pria paruh baya itu berusaha bersikap tegar meskipun sebenarnya hatinya benar-benar hancur melihat putra kesayangannya terbaring seperti itu.
"Yah, tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini jika memang ini mimpi buruk, aku benar-benar tidak sanggup melihat putraku seperti itu." Wanita dengan kebaya putih itu menangis dalam dekapan suaminya.
"Ini bukan mimpi, Ibu, ini kenyataan yang harus kita terima." Bibir pria paruh baya itu bergetar saat mengatakan hal itu.
Ibu Dewa semakin mengeratkan pelukannya saat mendengar apa yang di ucapkan oleh suaminya. "Kenapa ini bisa terjadi? Seharusnya ini adalah hari bahagia putra kita, dia akan menikah dengan Aira, gadis yang sangat dia cintai, tapi kenapa harus seperti ini?" ucap wanita itu frustasi.
"Kita tidak akan ada yang tau apa yang akan terjadi dalam hidup seseorang, Sayang!" Ayah Dewa akhirnya membawa istrinya itu keluar dari ruangan di mana Dewa dirawat dan tidak lama beberapa orang datang menghampiri ibunya Dewa dan ayah Dewa yang masih saling mendekap.
"Tante Safa," suara lrih nan berat itu memanggil nama mamanya Dewa. Wanita yang bernama Safa itu melihat siapa yang memanggilnya, dan dia langsung berlari dan memeluk Aira dengan sangat erat.
"Aira." Tangis kedua wanita itu pecah. Apalagi Aira yang benar-benar masih sangat shock dia mengangis sangat kencang.
Ayah Dewa mendekat dan ikut memeluk Aira calon menantunya itu. Pria paruh baya itu juga berusaha menenangkan Aira dan istrinya yang sama-sama menangis.
"Kalian berdua harus kuat menerima kenyataan ini. Ini cobaan bagi kita semua. Aira kamu harus kuat, Nak. Dewa sekarang sangat membutuhkan kamu. Dia membutuhkan support kamu agar dia terbangun dari komanya," jelas pria paruh baya itu.
Aira melepaskan pelukannya pada ibu calon suaminya, dia menatap nanar pada calon mertuanya. "Dewa koma, Yah?" tanya Aira dengan suara tersengal.
Ayah Mas Dewa tidak menjawab, dia hanya menganggukkan kepalanya perlahan, tanda mengiyakan ucapan Aira. Seketika tubuh Aira merosot ke bawah, Niana yang datang dengan keluarga Aira langsung menghampiri Aira dan ikut duduk di bawah memeluk Aira yang menangis.
"Om, bagaimana keadaan Dewa saat ini?" tanya Arlan.
"Dia mengalami koma, Arlan. Kata dokter benturan keras yang terjadi dalam kecelakaan itu membuat Dewa mengalami luka yang sangat parah di bagian kepalanya dan dokter sudah benar-benar berusaha menyelamatkan nyawa Dewa. Nyawa Dewa selamat, tapi dia mengalami koma dan dokter tidak bisa memprediksi kapan dia akan terbangun dari komanya." Pria paruh baya itu akhirnya menangis dan Arlan menepuk pelan pundak ayah Dewa.
"Om harus kuat." Arlan mencoba menenangkan pria itu.
Malam itu Aira menunggui Dewa di sana, walaupun tidak boleh menunggu di dalam ruangan ICU, Aira sudah sangat senang bisa melihat Mas Dewanya dari kaca besar di luar. Tubuh Aira sebenarnya sangat lemas saat harus menyaksikan tubuh calon suaminya dipenuhi dengan alat-alat medis untuk menopang kesembuhannya.
Aira beberapa hari setia menunggu Dewa di sana. Namun, dia tetap tidak mendapat kepastian kapan Dewa akan bangun dari tidur panjangnya alias koma.
Hari-hari Aira lalui dengan linangan air mata berharap Mas Dewa akan bangun dari komanya. Arlan bahkan beberapa hari ini masih di sana untuk menemani adik kesayangannya menghadapi masalah yang sedang dihadapinya, padahal dia seharusnya harus pergi melihat bisnis kulinernya di luar kota.
"Ai, kamu sebaiknya jangan terus-terusan sedih seperti ini, hal itu juga tidak akan baik buat kamu." Arlan mencoba memberi nasehat pada adiknya agar tidak terlalu larut dalam kesedihannya.
"Apa yang harus aku lakukan, Mas Arlan? Aku benar-benar tidak bisa berpikir, aku hanya ingin berada di samping Dewa saat ini, aku berharap dia segera sadar dan melihat aku menunggu dia di sana." Aira tidak dapat menahan butiran air mata yang dari tadi bertahan di kelopak matanya.
Arlan menghapus air mata Aira yang jatuh di pipi. "Aku tau, apa yang kamu alami ini sangat berat, Dek, tapi kamu harus terus melanjutkan hidup kamu. Kamu bahkan beberapa hari ini tidak masuk kuliah, padahal kuliah ini sangat penting buat masa depan kamu juga."
"Aku tidak ingin masuk kuliah dulu, Mas Arlan," ucapnya lirih.
"Kamu tidak boleh seperti itu. Apa dengan seperti ini Dewa akan terbangun dari komanya? Aku yakin Dewa tau bahwa kamu selalu setia menemani dirinya di sana, tapi kamu juga harus memikirkan tentang diri kamu."
Aira hanya memandangi secangkir teh hangat yang ada di atas mejanya. Airin dan Arlan saat ini sedang berada di kantin rumah sakit di mana Dewa dirawat.