Di balik kehidupan mereka yang penuh bahaya dan ketegangan sebagai anggota organisasi rahasia, Alya, Alyss, Akira, dan Asahi terjebak dalam hubungan rumit yang dibalut dengan rahasia masa lalu. Alya, si kembar yang pendiam namun tajam, dan Alyss, yang ceria serta spontan, tak pernah menyangka bahwa kehidupan mereka akan berubah drastis setelah bertemu Akira dan Asahi, sepupu yang memimpin di tengah kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azky Lyss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Rencana Tertunda
Ketegangan di antara mereka semakin memuncak. Akira, Alya, Alyss, dan Asahi berkumpul di ruang strategi markas, merencanakan langkah berikutnya. Suasana di dalam ruangan terasa menegangkan, dengan peta musuh tergantung di dinding dan peralatan teknologi di sekitar mereka.
"Akira, apa rencanamu selanjutnya?" tanya Alya, matanya tak lepas dari peta. "Kita tidak bisa membiarkan mereka terus bergerak tanpa kita ketahui."
Akira menatap peta dengan serius, menjelaskan dengan tenang. "Kita perlu memanfaatkan teknologi. Kita bisa menggunakan drone untuk memantau pergerakan mereka dari jauh. Dengan cara itu, kita bisa mendapatkan informasi lebih banyak tanpa mengambil risiko."
Asahi mengangguk setuju, "Dan kita perlu mengatur tim untuk bertugas di lapangan. Alya dan Alyss, kalian bisa membantu dengan pengintaian."
Sementara itu, Alyss menyela, "Tapi kita tidak bisa mengambil tindakan terburu-buru. Kita perlu memastikan semua aman sebelum melangkah."
Alya merasakan ketegangan antara dirinya dan Alyss, tetapi dia menahan diri untuk tidak menunjukkan kecemburuan yang mengendap. "Kita harus bersiap, tidak ada waktu untuk menunggu."
"Betul," kata Akira, mencoba menenangkan suasana. "Mari kita rencanakan strategi dan kembali ke rutinitas kita. Kita punya kuliah besok pagi. Setelah itu, kita bisa melakukan pengintaian."
Mereka sepakat untuk menyusun rencana baru dan bersiap untuk misi mereka berikutnya. Saat malam semakin larut, mereka semua berpisah untuk beristirahat. Namun, pikiran tentang misi dan pertarungan yang akan datang terus mengganggu mereka.
Keesokan paginya, mereka tiba di kampus dengan perasaan campur aduk. Kuliah berlangsung seperti biasa, tetapi suasana di antara mereka masih dipenuhi ketegangan. Akira yang cerdas di bidang teknologi tidak bisa menghilangkan pikiran tentang ancaman yang mengintai.
Setelah kelas berakhir, Akira, Alya, Alyss, dan Asahi memutuskan untuk pergi ke kafe terdekat. Mereka butuh waktu untuk bersantai sebelum kembali ke tugas berat mereka sebagai bagian dari organisasi. Suasana kafe yang ceria dan aroma kopi yang menyegarkan membuat mereka sedikit melupakan ketegangan yang masih menghantui.
“Jadi, setelah semua ini, ada rencana untuk bersenang-senang?” Alyss bertanya dengan senyuman, berusaha mencairkan suasana.
Asahi mengangguk. “Kita bisa pergi ke bioskop nanti. Aku dengar ada film baru yang menarik.”
“Film aksi?” tanya Alya, berusaha terlihat antusias meski dalam hati masih ada sedikit rasa cemburu. Dia ingin memiliki waktu khusus dengan Asahi, tetapi suasana itu selalu terganggu oleh kedekatan Alyss dengan lelaki itu.
“Pastinya! Ayo, kita harus berangkat lebih awal agar bisa mendapatkan tempat duduk yang baik,” kata Akira sambil tersenyum. "Setelah itu, kita bisa membahas rencana kita di markas."
Ketika mereka duduk dan menikmati minuman, pembicaraan mulai mengalir bebas. Mereka bercerita tentang kuliah, tugas-tugas yang menumpuk, dan impian mereka di masa depan. Alyss, yang biasanya pendiam, menjadi lebih terbuka saat berbicara tentang harapannya untuk dapat membantu orang lain melalui pekerjaan di organisasi.
“Aku ingin membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik,” katanya, dengan semangat yang jelas. “Meskipun kita berada di organisasi ini, aku percaya kita bisa melakukan hal-hal baik.”
Asahi tersenyum, mengagumi semangat Alyss. “Itu adalah tujuan yang mulia. Kita bisa melakukan banyak hal, asalkan kita bersatu.”
Alya terdiam sejenak, meresapi kata-kata itu. Di dalam hatinya, dia ingin berkontribusi lebih banyak, tetapi perasaan cemburu terhadap Alyss mengganggu pikirannya. Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia juga bisa memiliki peran penting dalam organisasi.
“Bagaimana denganmu, Alya?” tanya Akira, mengalihkan perhatian kepada Alya. “Apa impianmu?”
Alya tersentak, lalu tersenyum. “Aku… ingin menjadi sniper terbaik yang ada. Aku ingin melindungi orang-orang yang kita cintai.”
Asahi mengangguk setuju. “Kau memiliki potensi besar, Alya. Aku yakin kau bisa mencapainya.”
Mendengar pujian itu, Alya merasa sedikit lebih baik. Namun, saat melihat Alyss, dia merasa terjebak dalam perasaan yang campur aduk. Bahkan kepada saudari kembarnya itu sendiri.
Setelah minum kopi, mereka memutuskan untuk pergi ke bioskop. Selama film, tawa dan teriakan mengisi ruangan, mengalihkan perhatian mereka dari realitas keras di luar. Momen itu memberi mereka kesempatan untuk merasa normal, seolah-olah hidup mereka tidak dibebani oleh tanggung jawab yang besar.
Setelah film, mereka berjalan kembali ke markas, suasana masih terasa ceria. Namun, saat tiba di markas, mereka langsung teringat akan tugas mereka yang tertunda. Meskipun mereka telah bersenang-senang, kenyataan bahwa mereka harus bersiap untuk menghadapi musuh kembali menghampiri pikiran mereka.
Di markas, mereka langsung menuju ruang strategi untuk merencanakan langkah selanjutnya. Akira mulai menjelaskan rencana yang telah dia susun berdasarkan informasi yang mereka kumpulkan.
“Kita perlu melakukan pengintaian pada malam hari ini,” katanya. “Aku telah menyiapkan drone untuk memantau pergerakan musuh. Ini adalah langkah pertama kita untuk melindungi organisasi.”
Asahi tampak bersemangat. “Bagaimana kalau kita berbagi tugas? Alya dan aku bisa memantau dari udara, sementara Alyss dan Akira memantau dari tanah.”
Alyss mengangguk setuju, senang bisa terlibat. “Itu rencana yang baik. Kita bisa mendapatkan banyak informasi tanpa terlalu banyak risiko.”
Malam itu, mereka semua bersiap-siap untuk misi pengintaian. Sebelum berpisah untuk mempersiapkan diri, Alya menangkap pandangan Alyss. Meski ada rasa cemburu, Alya tahu bahwa mereka semua berada di sisi yang sama, dan persahabatan mereka lebih penting daripada perasaan yang rumit itu.
“Semoga kita semua selamat,” Alya berbisik, berusaha untuk menutupi keraguan di dalam hatinya.
“Pasti, kita akan melakukannya bersama,” jawab Alyss, dengan semangat yang tulus.
Kehidupan mereka yang penuh dengan kesibukan, persahabatan, dan tantangan terus berlanjut. Mereka menyadari bahwa meskipun dunia di luar penuh dengan bahaya, mereka memiliki satu sama lain. Dengan semangat baru, mereka bersiap menghadapi apa pun yang datang selanjutnya.