Jakarta, di tengah malam yang sunyi, kedamaian tiba-tiba pecah oleh suara gemuruh menakutkan dari kejauhan. Para remaja —terbangun dari tidur mereka hanya untuk menemukan kota diselimuti kegelapan mencekam. Bayangan-bayangan mengerikan mulai merayap di sudut-sudut jalan; mereka bukan manusia, melainkan zombie kelaparan yang meneror kota dengan keganasan tak terkendali. Bangunan roboh dan jalanan yang dulu damai berubah menjadi medan perang yang menakutkan. Para remaja ini harus menghadapi mimpi buruk hidup mereka, bertarung melawan waktu dan makhluk-makhluk buas untuk bertahan hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 34
Kelompok itu akhirnya berhasil masuk ke dalam markas militer. Nafisah mengedarkan pandangannya dengan kagum dan sedikit gentar, jantungnya berdetak cepat saat melihat teknologi yang tertinggal di sekitar. Setiap sudut ruangan dipenuhi peralatan militer canggih, seolah-olah sebuah pertempuran besar pernah terjadi di sini, meninggalkan jejak kehancuran.
"Apa-apaan tempat ini?" gumam Gathan, wajahnya menegang saat matanya tertuju pada dinding penuh peta dan catatan yang tergantung. "Mereka pasti merencanakan sesuatu yang besar."
Lara mengamati dengan tatapan waspada. “Ini lebih dari sekadar markas biasa…” ujarnya pelan, seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Tatapannya berhenti pada tumpukan file di meja yang penuh dengan coretan dan simbol-simbol yang tak dikenalnya.
Nafisah, tak bisa menahan rasa penasaran, mengambil sebuah folder berlabel “Operasi Genesis” dengan tangan gemetar. "Mungkinkah ini jawabannya?" pikirnya, terkejut dan bersemangat sekaligus.
"Ada apa, Nafisah?" Arka mendekat, tatapannya penuh tanya.
Nafisah memandangnya dengan wajah pucat. “Arka... ini mungkin berisi informasi tentang asal mula virus ini," katanya dengan suara bergetar. Ia membuka folder itu dan mulai membaca beberapa halaman dengan cepat.
Namun, saat Nafisah melanjutkan membaca, suara mekanis bergema di lorong, diikuti lampu merah yang tiba-tiba menyala berkedip-kedip, membuat bayangan mereka tampak bergerak-gerak. Alarm berbunyi kencang, mengisi ruang dengan suara yang memekakkan telinga.
“Semua mundur! Itu alarm jebakan!” teriak Arka panik, wajahnya tegang sambil menarik Nafisah menjauh dari meja.
Sebuah suara elektronik terdengar, diikuti dengan bunyi berdesing di sepanjang lorong. Jebakan mulai aktif satu per satu, jerat laser dan ledakan kecil menyala di depan mereka. Nafisah menggenggam file itu erat, sementara yang lain bergegas mencari jalan keluar.
“Kita harus cepat!” Nizam berteriak sambil menoleh ke belakang, melihat jebakan yang terus menyala, mengejar mereka.
Jasmine memegang tangan Aisyah, menariknya untuk berlari lebih cepat. "Aisyah, jangan sampai terpisah! Kita keluar dari sini bersama!"
Aisyah terengah-engah, mencoba mengatasi rasa paniknya. “Kak, aku takut…” bisiknya dengan suara bergetar.
“Tak apa, kita akan keluar bersama-sama,” jawab Jasmine lembut namun tegas, mencoba menyemangati adiknya.
Saat mereka mendekati pintu keluar, ledakan dari arah belakang membuat mereka semua tersentak. Nafisah hampir tersandung, tetapi Erik segera menangkapnya, menariknya agar terus berlari.
"Jangan berhenti! Itu cuma jebakan kecil, kita masih bisa keluar!" seru Erik, menyemangati meskipun wajahnya terlihat tegang.
Namun, dalam kekacauan itu, mereka menyadari sesuatu yang mengerikan. Delisha tertinggal di belakang. Sebuah pintu otomatis menutup keras, memisahkannya dari kelompok.
“Delisha!” Arka berteriak, matanya melebar saat menyadari Delisha ada di sisi lain pintu yang terkunci. Ia berusaha menarik pintu itu dengan sekuat tenaga, tapi pintu tak bergeming.
Di balik pintu, Delisha menempelkan tangannya ke kaca kecil di pintu itu, wajahnya pucat. "Arka! Tolong… jangan tinggalkan aku!" Suaranya nyaris tak terdengar di tengah suara jebakan yang terus berbunyi.
Arka merasakan beban berat di dadanya. "Aku harus memilih… informasi ini sangat penting… tapi, aku tak bisa meninggalkan Delisha di sini…"
Lara mendekat, menatapnya dengan wajah keras. “Kita tidak punya banyak waktu, Arka,” ucapnya tanpa ekspresi, tapi matanya menunjukkan sedikit kebimbangan. “Jika kita tetap di sini, kita semua bisa mati.”
Arka terdiam, hatinya terombang-ambing antara logika dan perasaan. Di sisi lain, Nafisah menggenggam folder “Operasi Genesis” itu erat, menyadari betapa pentingnya informasi ini. Tapi, melihat wajah Arka yang bimbang, ia tak bisa berkata-kata.
Gathan menggertakkan giginya, melihat Arka yang tak kunjung bertindak. "Arka, dia sahabat kita! Apa yang kita lakukan kalau dia hilang?"
Arka menarik napas dalam, tangannya mengepal erat, mencoba mencari keberanian. Di dalam hatinya, ia merasakan pertarungan yang menyakitkan, antara tanggung jawab untuk informasi penting yang mungkin menyelamatkan semua orang, dan perasaannya untuk Delisha yang terjebak di balik pintu itu.
Dengan wajah penuh kebimbangan dan hati yang berdebar keras, Arka memandang pintu yang memisahkan mereka dari Delisha. "Apa aku benar-benar harus meninggalkannya di sini?"
Teriakan Delisha terdengar samar, menggema di lorong. Wajah Arka memucat, tangannya mengepal hingga buku-bukunya memutih. Di dalam hatinya, konflik berkecamuk. "Aku tidak bisa meninggalkannya di sana... Tapi misi ini bisa menyelamatkan lebih banyak orang. Apa yang harus aku lakukan?"
Gathan melirik Arka, ekspresinya keras. “Arka, kita gak punya banyak waktu. Kalau kita mundur sekarang, semua yang kita capai bisa sia-sia.”
Arka menatap Gathan dengan mata penuh tekad, rahangnya mengeras. "Aku gak bisa meninggalkan Delisha, Gath," katanya lirih, suaranya gemetar, tapi penuh dengan keyakinan. "Kita semua masuk ke sini bersama-sama. Kita juga keluar bersama-sama."
Gathan menghela napas panjang, raut wajahnya penuh frustrasi. “Kalau kita semua mati di sini, gak akan ada yang tersisa untuk diselamatkan, Arka!” Namun, jauh di dalam hatinya, Gathan juga berjuang menekan rasa takutnya akan kehilangan Delisha. "Dia penting untuk kita… dan untukku."
Aisyah melangkah maju, menggenggam lengan Arka dengan erat. Matanya memohon, penuh harap. "Arka, tolong... aku gak bisa biarkan Delisha sendirian di sana.”
Arka terdiam, namun dengan anggukan tegas, ia mengambil keputusan. "Baik, kita kembali," ujarnya mantap, pandangannya beralih ke arah lorong tempat Delisha terjebak.
Arka, Aisyah, dan Abib bergegas kembali, berlari di lorong-lorong gelap. Napas mereka berderap keras, berpacu dengan waktu dan ketegangan yang menyelimuti. Saat mereka mendekati lokasi Delisha, suara seretan kaki zombie terdengar jelas, menggema dalam kegelapan.
Di ujung lorong, Delisha berdiri dengan tubuh yang gemetar, dikelilingi zombie yang bergerak lamban tapi mengancam. Mata Delisha terlihat lelah dan putus asa, namun segera bersinar penuh harapan saat melihat Arka dan yang lainnya datang.
"Arka! Aisyah! Kalian datang…,” suaranya bergetar, dan matanya penuh air mata.
Arka menatap Delisha dengan sorot penuh janji. "Kami gak akan pernah meninggalkanmu," katanya tegas. Ia mengangkat senjatanya, memusatkan fokusnya. “Aisyah, Abib, kita buat jalan keluar sekarang.”
Aisyah mengangguk, menghunus belati di tangannya, matanya dipenuhi ketakutan tapi juga keberanian yang baru tumbuh. "Aku gak bisa lemah sekarang. Kita harus selamatkan Delisha."
Dengan kerjasama yang solid, mereka menyerbu zombie-zombie itu, menggunakan strategi yang telah mereka asah selama ini. Abib bergerak cepat, menusuk zombie yang mendekat dengan presisi. Arka melindungi Aisyah dan Delisha, memberikan mereka celah untuk bergerak.
“Ayo, Delisha!” seru Arka, menarik Delisha yang mulai terhuyung dari kelelahan.
Namun, ketika mereka berhasil melewati kerumunan zombie itu, Abib tersandung, hampir jatuh. Arka dengan cepat menahan tubuhnya, menariknya kembali berdiri.
“Terima kasih, Arka,” bisik Abib, matanya penuh rasa terima kasih dan kagum pada keteguhan pemimpin mereka.
“Gak usah diucapkan. Kita ini satu tim,” jawab Arka singkat, wajahnya tetap fokus pada jalan keluar.
Saat mereka kembali bergabung dengan kelompok utama, napas mereka masih terengah. Semua orang melihat mereka dengan ekspresi lega bercampur cemas.
“Baiklah, sekarang kita keluar dari sini!” seru Arka, suaranya penuh semangat.
Namun, tiba-tiba, suara elektronik bergema di ruangan, dan pintu masuk markas menutup rapat dengan suara berderak keras. Lampu-lampu merah menyala lebih terang, dan suara alarm kembali memekakkan telinga.
"Arka… pintu masuknya… terkunci!" seru Nafisah panik, menatap pintu yang kini tertutup rapat di depan mereka.
Wajah Arka menegang. “Apa?!” Ia berlari ke pintu, mencoba membukanya, namun sia-sia. "Tidak mungkin! Kami terjebak di sini…"
Suara mekanis terdengar lagi, dan dari dinding muncul deretan laser yang menghalangi setiap lorong, membuat jalur pelarian semakin sempit. Mereka semua menatap sekeliling dengan ketakutan, menyadari bahwa jebakan markas ini lebih canggih dari yang mereka duga.
Delisha menggigit bibirnya, air mata hampir tumpah. “Apa kita gak akan bisa keluar dari sini?”
Arka mengepalkan tangannya, tatapannya penuh kegusaran. "Aku gak boleh gagal. Aku harus membawa mereka semua keluar dari sini, bagaimanapun caranya."
Di belakang, Gathan menatap Arka dengan sedikit rasa bersalah. "Mungkin kalau kita gak kembali, kita gak akan terjebak di sini... tapi aku juga tahu, Arka benar. Kita gak bisa meninggalkan siapa pun."
Arka menghela napas panjang, menenangkan dirinya. “Tenang semua. Kita akan cari jalan lain. Ini bukan akhir.”
Namun, di balik sikapnya yang tegar, Arka merasakan beban berat di dadanya. "Apakah ini benar-benar keputusan yang tepat?"