Kisah ini menceritakan hubungan rumit antara Naya Amira, komikus berbakat yang independen, dan Dante Evander, pemilik studio desain terkenal yang perfeksionis dan dingin. Mereka bertemu dalam situasi tegang terkait gugatan hak cipta yang memaksa mereka bekerja sama. Meski sangat berbeda, baik dalam pandangan hidup maupun pekerjaan, ketegangan di antara mereka perlahan berubah menjadi saling pengertian. Seiring waktu, mereka mulai menghargai keunikan satu sama lain dan menemukan kenyamanan di tengah konflik, hingga akhirnya cinta tak terduga tumbuh di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darl+ing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejujuran
Setelah menyimpan berkas-berkas desain yang diberikan oleh Fajar di atas meja, Naya merapikan tasnya dengan cepat. Di ruang tamu, Widuri menunggunya dengan tenang, namun tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya akan keadaan Naya. "Ayo, Nay. Kita berangkat sekarang ke rumah orang tuamu, masih ada waktu sebelum sore," ujar Widuri, mencoba mendorong semangat temannya.
Naya mengangguk, tetapi di dalam hatinya terasa berat. Sejak menerima telepon dari ibunya beberapa hari yang lalu, pertanyaan besar terus menghantui pikirannya: bagaimana ia akan menjelaskan kepada kedua orang tuanya tentang gagalnya pernikahan dengan Arfan? Orang tuanya, terutama ibunya, sudah berinvestasi begitu banyak untuk mempersiapkan segala sesuatunya—dan sekarang semua itu tampak sia-sia.
Dalam perjalanan menuju rumah orang tuanya, Naya duduk diam di kursi penumpang. Wajahnya mencerminkan kecemasan, sementara Widuri fokus menyetir di tengah hiruk-pikuk lalu lintas. Udara dalam mobil terasa tegang, dan setelah beberapa saat, Naya akhirnya membuka pembicaraan, memecah keheningan yang menyiksa itu.
“Aku benar-benar nggak tahu harus bilang apa ke mereka, Wid,” ucapnya pelan, tatapannya lurus ke jalan. "Mereka pasti kecewa luar biasa. Semua sudah dipersiapkan. Undangan sudah disebar, bahkan rencana tempat resepsi sudah dikunci. Sekarang semuanya berantakan."
Widuri menoleh sebentar ke arah Naya sebelum kembali fokus ke jalan. "Iya, aku bisa bayangin, Nay. Tapi kamu harus hadapi ini. Orang tua kamu punya hak untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kalau kamu diam-diam saja, mereka hanya akan makin bingung dan kecewa nantinya."
Naya menarik napas dalam-dalam, merasakan beban berat di dadanya. "Tapi aku takut, Wid. Mereka sudah menaruh harapan besar. Bagaimana aku bisa jelaskan bahwa Arfan selingkuh? Ini semua terasa begitu kacau."
"Tidak, Nay," sahut Widuri dengan tegas, "kamu tidak bisa menyalahkan diri sendiri atas apa yang dilakukan Arfan. Kesalahan ada pada dia, bukan kamu. Orang tua kamu harus tahu itu, seberapa pun sulitnya."
Naya terdiam, memandang lurus ke depan. Setiap kilometer yang mereka tempuh menuju rumah orang tuanya terasa semakin berat, seolah jarak fisik sekaligus menjadi jarak emosional yang semakin sulit ia tempuh.
Sesampainya di depan rumah masa kecilnya, Naya menatap bangunan itu dengan perasaan campur aduk. Rumah ini penuh kenangan manis dari masa kecilnya, tetapi kali ini ia kembali membawa kekecewaan besar. Ibunya, seperti biasa, pasti sudah menunggu di dalam, siap dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak mudah ia jawab. Sementara itu, ayahnya—yang selalu pendiam—mungkin tak akan banyak bicara, namun kekecewaannya akan terasa.
"Aku bakal nemenin kamu, Nay. Tenang aja," kata Widuri lembut, mencoba memberikan dukungan moral.
Naya menatap sahabatnya dengan penuh rasa terima kasih. “Aku nggak tahu apa yang akan terjadi kalau kamu nggak ada di sini, Wid,” balasnya dengan senyum tipis, penuh rasa syukur.
Keduanya keluar dari mobil dan berjalan perlahan menuju pintu depan rumah. Naya menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan keberanian untuk menghadapi kenyataan yang akan segera terungkap.
Saat pintu terbuka, ibunya langsung menyambut dengan senyum lebar dan suara penuh kehangatan. "Naya, akhirnya kamu datang juga! Ibu sudah masak makanan kesukaan kamu. Ayo, masuk!"
Naya memaksakan senyum, meskipun hatinya masih berkecamuk. Widuri berjalan di belakangnya, diam-diam memberikan dukungan. Setelah beberapa menit berbasa-basi di ruang tamu, ibunya mulai menyentuh topik yang paling Naya takutkan: pernikahan.
"Jadi, bagaimana persiapan pernikahanmu, Nak?" tanya ibunya dengan nada penuh antusias. "Ibu dengar undangan sudah mulai disebar. Betul, kan?"
Naya menggigit bibirnya, merasakan tenggorokannya mengering. Ia tahu bahwa saat ini akan datang, tapi tetap saja, rasanya sulit untuk menghadapinya.
"Ibu, ada yang harus aku ceritakan," Naya mulai berbicara pelan, suaranya sedikit bergetar. "Pernikahan antara aku dan Arfan… dibatalkan."
Ekspresi ibunya berubah seketika. Senyum di wajahnya memudar, digantikan oleh tatapan bingung dan tidak percaya. “Dibatalkan?” tanya ibunya pelan, nyaris berbisik. “Kenapa, Naya? Apa yang terjadi?”
Dengan berat hati, Naya menjelaskan. “Arfan selingkuh, Bu. Aku nggak bisa menikah dengan dia setelah tahu apa yang dia lakukan. Aku nggak bisa—aku nggak mau.”
Ibunya terdiam, mencoba mencerna kabar yang mengejutkan itu. Mata ibunya mulai berkaca-kaca, seakan-akan berusaha memahami sesuatu yang begitu menyakitkan. “Selingkuh? Tapi kenapa kamu nggak bilang dari awal?”
Naya menunduk, berusaha menahan air mata yang mulai menetes. “Aku takut, Bu. Aku tahu kalian sudah mempersiapkan segalanya, dan aku nggak mau mengecewakan kalian. Tapi aku nggak bisa terus hidup dengan kebohongan ini. Aku nggak bisa menikah dengan seseorang yang tidak setia.”
***
Setelah Naya selesai menjelaskan semua yang terjadi terkait gagalnya pernikahannya dengan Arfan, ia berharap mendapatkan dukungan dan pengertian dari ibunya. Namun, yang ia terima justru sebaliknya. Ibunya menatapnya dengan ekspresi datar, lalu mulai berbicara dengan nada yang terdengar lebih seperti kritik daripada simpati.
"Arfan memang salah, tapi coba kamu lihat dirimu sendiri, Naya," ucap ibunya, suaranya tegas namun dingin. "Penampilanmu seperti ini... siapa yang betah melihatmu setiap hari? Kamu terlalu banyak bekerja, sampai lupa merawat diri. Rambutmu kusut, wajahmu tampak lelah dan kusam. Bahkan pakaian yang kamu kenakan terlihat terlalu sederhana. Wanita lain di luar sana pasti jauh lebih menarik di mata pria seperti Arfan."
Naya terdiam, tubuhnya seolah membeku. Matanya mulai berkaca-kaca. Bukan ini yang ia harapkan. Kata-kata ibunya menusuk dalam, terasa seperti serangan yang langsung mengarah ke hatinya. Dengan tangan yang bergetar, ia mencoba menahan air mata yang mendesak keluar. Beban emosional yang ia pikul selama ini terasa semakin berat.
"Ibu, aku bekerja keras bukan untuk diriku sendiri. Aku harus bertahan, terutama setelah Arfan menghancurkan segalanya. Apa yang Ibu harapkan dariku?" Suara Naya bergetar, mencerminkan kepedihan yang ia rasakan. Ada nada getir dalam setiap katanya, meski ia berusaha mengendalikannya.
Ibunya menghela napas panjang, lalu duduk di hadapan Naya. Tatapannya mengandung ketidakpuasan yang jelas. "Aku mengerti kamu bekerja keras, Naya, tapi itu bukan alasan untuk melupakan dirimu sendiri. Penampilan itu penting. Arfan mungkin salah, tapi kamu juga harus introspeksi diri. Kamu terlalu fokus pada pekerjaanmu hingga lupa bahwa ada hal-hal lain yang sama pentingnya. Seorang wanita harus bisa menjaga keseimbangan. Bagaimana mungkin pria bisa bertahan kalau istrinya selalu tampak berantakan?"
Perkataan itu menghantam Naya lebih keras dari yang ia bayangkan. Ia memejamkan mata, berusaha menahan amarah yang bergejolak dalam dirinya. Namun, emosi yang semakin berkecamuk membuatnya sulit untuk tetap tenang.
"Jadi, ini salahku?" Naya akhirnya berbicara, suaranya sedikit meninggi. "Salahku karena aku tidak cukup cantik untuk Arfan? Karena aku bekerja keras untuk sesuatu yang penting bagiku, aku pantas diselingkuhi?" Pertanyaannya tak lebih dari cerminan kepedihan yang ia simpan.