Dinda, 24 tahun, baru saja mengalami patah hati karena gagal menikah. Kehadiran seorang murid yang bernama Chika, sedikit menguras pikirannya hingga dia bertemu dengan Papa Chika yang ternyata adalah seorang duda yang tidak percaya akan cinta, karena kepahitan kisah masa lalunya.
Akankah cinta hadir di antara dua hati yang pernah kecewa karena cinta? Mampukah Chika memberikan seorang pendamping untuk Papanya yang sangat dia sayangi itu?
Bila hujan tak mampu menghanyutkan cinta, bisakah derasnya menyampaikan rasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Banjir
Sambil tertawa, Ken lalu mendekati meja itu, dan langsung duduk bergabung dengan mereka.
Wajah Dinda merah padam, menahan emosi yang telah melandanya.
"Ken aku mohon! Kau pergi dari sini! sudah kukatakan berulang kali, aku tidak ingin melihat wajahmu!" seru Dinda.
"Dinda! Aku hanya ingin bicara baik-baik padamu, tapi kau tidak pernah memberiku kesempatan!" sahut Ken.
"Kesempatan yang mana lagi? Bukankah kau sendiri yang membuang kesempatan itu? Mohon maaf, pintu hatiku sudah tertutup untukmu!" cetus Dinda.
"Kau dengar itu bung! Dia tidak ingin bicara padamu! Kenapa kau memaksanya?!" ujar Dio.
"Dinda, kau tidak serius kan berhubungan dengan duda ini?" tanya Ken sambil menatap kearah Dinda.
Seketika Dinda terdiam, dia tidak tahu harus mengatakan apa pada Ken, walaupun sebenarnya memang diantara Dinda dan Dio tidak ada hubungan apapun, hanya Sebatas guru dengan orang tua murid.
"Siapa bilang? Bu Dinda ini adalah calon ibu untuk anakku!" kata Dio tiba-tiba. Dinda tertegun, Ken juga nampak terkejut mendengar ucapan dari mulut Dio.
"Tuh dengar Om! Bu Dinda itu kan calon ibuku, jadi Om pergi jauh-jauh deh!" timpal Chika.
"Bohong! Aku tidak percaya, mana mungkin Kau melupakan aku begitu saja Din? Kita sudah berhubungan sekian tahun, waktu yang membuktikannya! Aku yakin di dalam hatimu, pasti kau masih mencintai aku!" sergah Ken yang merasa tidak terima dengan apa yang dia dengar barusan.
Tiba-tiba Chika berdiri lalu mengguyur kepala Ken dengan jus jeruk yang ada di hadapannya, Ken sangat terkejut, matanya melotot, rambut dan pakaiannya basah dan kotor.
Kemudian dengan cepat Chika kembali menyiram saos pedas ke arah mata Ken, sehingga pria itu meringis kesakitan.
"Kurang ajar kau setan kecil!" umpat Ken sambil memegangi matanya yang pedih itu.
"Awas aja kalian! Aku tidak terima perlakuan ini!" lanjut Ken yang kemudian berjalan cepat kearah toilet sambil memegangi matanya.
"Hahaha rasain kau Om jahat! Belum tahu dia siapa aku!" seru Chika sambil menepuk dadanya sendiri.
Sementara Dio dan Dinda menutup mulutnya menahan tawa yang sejak tadi ditahannya.
Setelah itu Dio langsung menggendong Chika dan menarik tangan Dinda buru-buru meninggalkan restoran itu, untung saja mereka sudah selesai makan.
Ketika mereka sampai di lantai bawah, ternyata hujan turun sangat deras.
Dinda yang membawa motor tidak mungkin pulang menerobos hujan, apalagi hujan itu disertai angin dan petir yang terdengar menggelegar.
"Pak Dio dan Chika pulang saja duluan, saya masih mau menunggu hujan reda!" kata Dinda.
"Ini sudah sangat sore, dan hujannya juga sangat lebat, kau mau menunggu sampai kapan? mau sampai mall ini tutup?" tanya Dio.
"Tapi saya bawa motor Pak! kalaupun hujan tidak reda-reda, nanti saya akan naik taksi untuk pulang ke kosan saya! Besok pagi baru saya ambil motornya!" jawab Dinda.
"Dari pada naik taksi, lebih baik kau ikut aku, biar aku yang akan mengantarmu pulang!" tawar Dio.
"Tapi ..."
"Ayo Bu Dinda! Jangan malu-malu sama Papa!" celetuk Chika.
Dinda tidak ada pilihan lain selain menganggukkan kepalanya, sesungguhnya dia masih malu atas kejadian tadi saat di restoran.
"Bu Dinda, ucapanku yang tadi di restoran tidak usah dipikirkan ya! Aku hanya berupaya untuk membuat orang itu pergi darimu, hanya untuk menolongmu saja!" kata Dio sambil berjalan ke arah parkiran.
"Iya Pak, saya juga tahu maksud bapak!" sahut Dinda.
Entah kenapa ada yang sedikit perih di sudut hati Dinda.
"Jadi Papa bohongan kalau Bu Dinda itu calon Ibuku?" tanya Chika.
"Ya iyalah, supaya Om yang tadi itu pergi!" sahut Dio.
"Papa jahat!" wajah Chika berubah cemberut.
Sesampainya di parkiran, Chika yang ngambek meminta untuk duduk di jok tengah.
Mau tidak mau Dinda duduk di depan disamping Dio, mereka kemudian keluar dari parkiran dan mulai menerobos hujan yang sangat lebat sore itu.
Jalanan terlihat sangat macet karena di beberapa ruas jalan terjadi banjir yang mengakibatkan kemacetan lalu lintas yang parah, mereka terjebak dalam macet di tengah kota itu.
Sudah satu jam mereka ada di jalanan, dan Chika terlihat sudah tertidur di jok tengah mobilnya, Karena kelelahan.
"Laki-laki yang tadi itu, mantan pacarmu ya? Kulihat dia sering sekali datang mengganggumu!" tanya Dio.
"Dulu saya hampir menikah dengan dia, tapi tiba-tiba dia membatalkan pernikahan kami, padahal saat itu semua undangan sudah disebarkan Hanya tinggal menunggu hari H saja!" ungkapan Dinda.
"Kalau dia mengganggumu lagi, kau jangan sungkan-sungkan menghubungi aku, kau sudah tahu kan nomor ponselku?!" tanya Dio. Dinda menganggukkan kepalanya
Hari Sudah semakin gelap, namun hujan tak kunjung reda, banjir semakin meningkat, kemacetan semakin parah, mereka sama sekali tidak bergerak sejak tadi.
Wajah Dio terlihat mulai frustasi dan lelah.
"Maaf Bu Dinda, sepertinya aku tidak akan bisa mengantarkan pulang ke kosan, kau lihat sendiri, sejak tadi kita berputar di tempat ini, arah ke kosan Bu Dinda harus berjalan memutar, sementara jalanan itu ditutup karena banjir!" Kata Dio.
"Waduh, Jadi bagaimana ya pak? Besok pagi saya juga harus mengajar! Atau Saya turun di sini saja Pak, saya akan cari ojek!" usul Dinda.
"Tidak akan ada ojek banjir-banjir begini, apalagi hujan masih lebat! Mau tidak mau kita harus menginap di jalan, karena jalan menuju ke rumahku juga ditutup karena aksesnya banjir!" ujar Dio.
"Apa? Menginap di jalan?" tanya Dinda melotot.
"Yah, mau tidak mau kita harus mencari hotel di dekat sini, atau kita akan terjebak di jalanan sampai pagi!" jawab Dio.
Macet total yang tidak bergerak sama sekali, membuat Dio makin stress, kemudian dia langsung membelokkan mobilnya kearah sebuah hotel, yang tepat berada di sisi kiri jalan itu.
Dio langsung memarkirkan mobilnya di parkiran Hotel itu, Karena dia sudah tidak tahan lagi.
Sambil menggendong Chika Dio lalu masuk kedalam lobby hotel dan mulai memesan kamar hotel.
"Aku pesan 2 kamar untuk malam ini!" Kata Dio pada seorang resepsionis di hotel itu.
"Aduh maaf Pak, karena banyak yang mengungsi di hotel ini, karena banjir, jadi masih ada sisa satu kamar besar, kenapa tidak mengambil satu kamar saja Pak, bukankah kalian satu keluarga?!" jelas sang resepsionis itu.
"Oh, sebenarnya kami..." Dio mengangkat tangannya saat Dinda akan berbicara.
"Kalau begitu, kami ambil kamar itu sekarang!" potong Dio cepat.
Seorang petugas Hotel kemudian mengantar mereka menuju ke satu kamar yang dimaksud, yang berada di lantai tiga Hotel itu.
"Pak, kalau ada yang memata-matai kita bagaimana? Habislah saya digosipin satu sekolah pak! Hancurlah reputasi saya Pak! Jika ada yang melihat seorang guru menginap di hotel bersama dengan orang tua murid!" seru Dinda dengan wajah khawatir.
Dio kemudian menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Dinda.
"Jangan khawatir Bu Dinda, kupastikan tidak akan ada yang berani menggosipkan kita lagi!" ucap Dio dengan mata coklatnya yang menatap teduh kearah Dinda.
Bersambung..
****