Sakit hati sang kekasih terlibat Cinlok (Cinta Lokasi) hingga berakhir di atas ranjang bersama lawan mainnya, Ameera bertekad menuntut balas dengan cara yang tak biasa.
Tidak mau kalah saing lantaran selingkuhan kekasihnya masih muda, Ameera mencari pria yang jauh lebih muda dan bersedia dibayar untuk menjadi kekasihnya, Cakra Darmawangsa.
Cakra yang memang sedang butuh uang dan terjebak dalam kerasnya kehidupan ibu kota tanpa pikir panjang menerima tawaran Ameera. Sama sekali dia tidak menduga jika kontrak yang dia tanda tangani adalah awal dari segala masalah dalam hidup yang sesungguhnya.
*****
"Satu juta seminggu, layanan sleep call plus panggilan sayang tambah 500 ribu ... gimana?" Cakra Darmawangsa
"Satu Milyar, jadilah kekasihku dalam waktu tiga bulan." - Ameera Hatma
(Follow ig : desh_puspita)
------
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara dll)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 08 - Cuma Tidur
"Cak_ ya, Tuhan!!"
Belum sempat Ameera mendengar pengakuan Cakra, sambungan teleponnya terputus. Sebelum itu, Ameera dapat mendengar sedikit kericuhan yang tidak dapat dia simpulkan untuk saat ini, tapi yang pasti dia sudah berpikir jika Cakra sedang tidak baik-baik saja.
Tanpa pikir panjang, dan tanpa lihat keadaan lebih dahulu Ameera bersiap menuju kediaman Cakra. Entah ada atau tidaknya dia di sana, tapi firasat Ameera mengatakan hanya itu jalannya. Busa di rambutnya bahkan belum bersih sempurna, tapi Ameera tak lagi bisa menunda.
Bukan lagi melangkah cepat, Ameera sudah berlari kala menuruni anak tangga hingga membuat penghuni setia ruang keluarga bingung seketika.Tatapan mereka bertemu, sama-sama bingung dan ketika hendak bertanya Ameera melewati mereka begitu saja.
"Ameera mau kemana?"
"Ada urusan, Pa!!"
Papa Mikhail turut berlari mengikuti langkah putrinya ke luar rumah. Memang kebiasaan Ameera kerap kali pergi dadakan, tapi baru kali ini dia pergi pakai kimono. Bisa dipastikan urusan Ameera sangat mendesak hingga Papa Mikhail juga santai saja, toh dia juga sudah dewasa dan sudah sewajarnya menyelesaikan masalah sendiri.
"Ada apa, Mas?"
"Entahlah, mungkin putri kita jatuh cinta lagi atau semacamnya."
Bukannya panik atau berpikiran macam-macam, Papa Khail justru tersenyum penuh makna. Sungguh, tidak ada kekhawatiran lain tentang Ameera bagi Papa Khail kecuali jodoh, dan gosip terbaru tentang putrinya membuat hati pria itu bersorak kegirangan.
"Lagi? Terus Julio bagaimana? Papa beneran berharap gosip itu benar?"
"Namanya jodoh, apa salahnya kalau Meera suka," jawab Papa Mikhail kembali melanjutkan debat mereka yang sempat terhenti akibat kedatangan Ameera buru-buru beberapa saat lalu.
"Ya Tuhan, Pa? Putri kita selingkuh loh, masa diduk_"
"Shuut, mama juga selingkuh dari Zidan dulu ... sebelum menikah boleh saja selingkuh, namanya juga seleksi," jawab Papa Mikhail seraya mengedipkan mata dan membuat Mama Zia terbatuk seketika.
Selingkuh katanya? Sama seperti Julio yang memutarbalikkan fakta, Papa Khail juga demikian. "Selingkuh? Mama tidak pernah selingkuh!! Kita tidak pacaran waktu itu ya, Pa."
"Memang tidak, tapi tidur bareng." Papa Mikhail menjulurkan lidah dan tergelak begitu istrinya memerah bak udang panggang, seketika keduanya lupa usia hanya karena mengulik kisah lama.
Meninggalkan keharmonisan Papa Mikhail dan Mama Zia malam ini, di sisi lain ada hati yang begitu gelisah dan tengah memacu kecepatannya. Tidak ada yang Ameera pikirkan selain tiba di kost Cakra, selama itu pula dia mencoba menghubungi Cakra berkali-kali dan hasilnya masih sama, nihil.
"Ayolah, Cakra ... angkat teleponnya."
Ameera mengusap kasar wajahnya, dia benar-benar khawatir terlebih lagi perjalanan menuju kost Cakra baru setengah jalan. Malam ini semua terasa lambat dan Ameera ingin meledak rasanya lantaran tidak sampai juga, hingga di kali terakhir menghubungi Cakra dia menemukan titik terang.
"Hallo, Cakra!! Kamu baik-baik saja? Katakan padaku, dimana sekarang?"
Sayang, suara yang Ameera dengar untuk menjawab pertanyaannya bukanlah Cakra, melainkan orang lain dan membuat Ameera menghentikan mobil seketika. Kekhawatiran yang sejak tadi membelenggu Ameera benar-benar beralasan hingga mata wanita itu membola. "Rumah sakit?"
Begitu mendapat keterangan jelas dimana Cakra berada, Ameera segera berbalik arah. Sudah dia duga ada yang tidak beres, sejak dahulu firasat Ameera tidak pernah salah.
Perjalanan yang seharusnya membutuhkan waktu lama, dapat dipersingkat lantaran kepanikannya. Tidak hanya di jalan saja, Ameera juga tergesa begitu melewati koridor rumah sakit.
Sudah jelas dia menjadi pusat perhatian. Bukan hanya karena status Ameera, tapi penampilannya yang tidak biasa. Bertahun-tahun Ameera dikenal dengan sosok wanita yang begitu memperhatikan penampilan, malam ini dia terlihat seperti wanita kacau seolah akan kehilangan separuh nyawanya.
.
.
"Cakra."
Tidak peduli siapa yang menemani Cakra di sana. Begitu tiba, Ameera menghampirinya dan melemparkan pertanyaan beruntun yang membuat Cakra mengullum senyum. Khawatir sungguhan atau termasuk dalam sandiwara, tapi siapapun yang melihat paniknya Ameera jelas saja menyimpulkan jika memang benar demikian.
"Satu-satu nanyanya, Sayang."
Jawaban Cakra seketika membuat Ameera bernapas lega. Dia pikir pria itu tidak lagi bisa bicara, mengingat lebam di wajahnya terlihat menyiksa Ameera benar-benar takut jika pria itu celaka.
"Katakan padaku, siapa orangnya?"
"Aku tidak tahu, bangun-bangun sudah di sini ... jika tidak ada Alan dan anak-anak lain, mungkin aku mati," jelasnya sedikit hiperbola, hingga membuat kedua pria yang menjaganya sejak tadi sontak saling menatap.
Jawaban Cakra sontak membuat Ameera tersadar jika di dalam ruangan tersebut tidak hanya ada mereka, melainkan ada dua orang lain yang merupakan saksi mata sekaligus tetangga kost Cakra.
Sejenak Ameera beralih pada mereka, dia bertanya banyak hal dan kebetulan Alan menjelaskan dengan runtut tanpa dilebih-lebihkan. Sedikit pun tidak berbohong karena memang Alan melihat sendiri bagaimana Cakra dihajar tiga orang yang lebih dewasa darinya.
"Terus orangnya bagaimana?"
"Beres, ada di UGD semua," jawab Alan seketika membuat dahi Ameera berkerut seketika.
"Hah? Kenapa bisa?"
"Dihajar balik sama anak-anak, kalau tidak ada pak RT habis mereka."
Ameera berdecak kagum, sungguh sebuah pengakuan luar biasa. Dua orang yang menemani Cakra di ruangan ternyata hanya perwakilan, sementara teman-temannya yang lain ada di luar.
Memang nyali anak muda berbeda, Cakra anak baik yang berada di lingkungan orang baik. Jelas saja ketika Alan memberitahukan Cakra dikeroyok anak-anak lain segera bertindak bahkan menghentikan acara mereka.
"Terima kasih sudah jaga Cakra, titip salam buat anak-anak lain," tutur Ameera begitu sopan kala Alan dan Jovan pamit pergi, sementara Cakra hanya memejamkan mata dan siap dikeroyok pertanyaan oleh teman-temannya andai pulang nantinya.
Usai kepergian mereka, Ameera kini di kursi yang tersedia hingga jarak mereka terasa lebih dekat. Cakra bilang tidak apa-apa, tapi dia tahu sebenarnya tidak demikian dan juga sendirian. Oleh karena itu, dia memilih untuk tetap di samping Cakra selama pria itu menjalani perawatan.
"Pulang saja, Meera, kamu harus istirahat," ucap Cakra masih lemas, bukan dibuat-buat, tapi memang begitu adanya.
"Lalu kamu bagaimana?"
"Aku tidak apa-apa, besok pagi pasti sudah diizinkan pulang."
"Ya sudah, aku pulang besok juga," jawabnya santai, terlihat biasa saja dan sama sekali tidak masalah walau harus menunggu.
"Ck, pakaianmu masih begitu ... apa papamu tidak khawatir?"
"Gampang, aku sudah minta bibi antar pakaianku." Ada saja alasannya, Cakra berhenti menjawab karena berdebat dengan Ameera sama sekali tidak akan ada garis finishnya.
Dia kembali terpejam dan tidak berselang lama dapat dia dengar seseorang memanggil Ameera, sudah pasti bibi yang dimaksud akan memberikan pakaian padanya. Satu hal yang Cakra dapat simpulkan, wanita itu sedikit keras kepala dan tidak suka diperintah.
"Selamat tidur, Cakra."
Suara itu terdengar lembut, tapi Cakra yang memang belum tidur perlahan membuka mata dan melihat dengan jelas Ameera sudah berganti pakaian dan perlahan menjauh darinya.
"Meera."
"Iya? Butuh sesuatu? Haus atau apa?"
Cakra tersenyum tipis, dia tidak menjawab pertanyaan Ameera segera melainkan sedikit bergeser hingga menyisakan ruang kosong di sebelahnya. "Sini," titahnya seraya menepuk sisi kosong tersebut, jelas saja Ameera terpaku seraya susah payah meneguk salivanya.
"Hah?"
"Tidur di sini, masih muat."
"Tidak, aku di sana saja," tolak Ameera dengan jantung yang kembali memanas seketika.
"Dingin, Sayang ... jangan membantah sekali saja bisa?"
Ameera menggigit bibirnya, seketika dia malu dan bingung hendak menjawab apa. Tatapan Cakra terlihat berbeda, bukan tatapan penuh damba atau semacamnya, melainkan tatapan tajam yang membuat Ameera seolah tidak punya kuasa untuk menolak perintahnya. "Maafin Meera, Pa, cuma tidur kok beneran!!"
.
.
- To Be Continued -
mulai baca kisahnya ibra & Kanaya sampai anak cucunya suka banget,
alur & konfliknya gc berlebihan
mengalir lancar serasa liat versi filmnya😍
semangat terus buat kk desy💪
ditunggu terus karya karya hebatnya yg lain 🥰🥰🥰
bukannya ponselnya masih belum kembali? /Doubt/