NovelToon NovelToon
Mengasuh Cinta Duda Kaya

Mengasuh Cinta Duda Kaya

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Kaya Raya / Pengasuh / Ibu Tiri
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Cherryblessem

Caca, seorang mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa di London, terpaksa bekerja sebagai pengasuh anak CEO kaya, Logan Pattinson, untuk mencukupi biaya hidup yang mahal. Seiring waktu, kedekatannya dengan Logan dan anaknya, Ray, membawa Caca ke pusat perhatian publik lewat TikTok. Namun, kisah cinta mereka terancam oleh gosip, kecemburuan, dan manipulasi dari wanita yang ingin merebut Logan. Ketika dunia mereka dihancurkan oleh rumor, Caca dan Logan harus bertahan bersama, menavigasi cinta dan tantangan hidup yang tak terduga. Apakah cinta mereka cukup kuat untuk mengalahkan segalanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cherryblessem, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hadiah dibalik kenangan natal

Caca terkejut bangun saat ia merasakan Ray perlahan turun dari kasur dan berlari keluar kamar. Gadis itu langsung bangkit dari tempat tidur, sedikit tergesa. Ia tersenyum saat menyadari apa yang membuat Ray begitu bersemangat. Ini adalah pagi Natal, hari yang pasti sangat ditunggu oleh anak kecil seperti Ray.

Caca segera menyusul, mendengar langkah kecil Ray yang menggema di lorong menuju tangga. Wajahnya berbinar melihat Ray berlari dengan penuh antusias. Ia tahu apa yang dituju oleh bocah kecil itu: pohon Natal yang dihiasi ornamen berwarna-warni, tempat kado-kado telah tertata dengan rapi.

“Hore!” seru Ray dengan penuh semangat saat ia mencapai tangga.

Benar saja, ketika Caca menyusulnya, ia melihat pemandangan yang membuat hatinya ikut menghangat. Di bawah pohon Natal, tumpukan kado berwarna cerah menjulang tinggi, menanti untuk dibuka. Wajah Ray tampak berbinar seperti mentari pagi, dan pemandangan itu membuat Caca terdiam sejenak.

Tak pernah ia bayangkan sebelumnya bahwa ia akan menyaksikan momen Natal seindah ini. Tumpukan kado itu seolah memanggil kembali kenangan masa kecilnya, kenangan yang ia kubur dalam-dalam karena tahu mimpi itu tidak akan pernah tercapai. Namun kini, melalui Ray, ia merasa seolah impian kecilnya dihidupkan kembali.

“Selamat Natal, Calista,” suara lembut Nyonya Pattinson memecah lamunannya. Ia berdiri di ruang tamu dengan senyum hangat di wajahnya, mengenakan gaun sederhana namun elegan.

Caca tersenyum kecil, mencoba menguasai perasaannya yang meluap-luap. “Selamat Natal, Nyonya Pattinson.”

Dengan langkah pelan, ia menuruni tangga, memperhatikan Ray yang sudah sibuk mencari-cari hadiah yang tertulis namanya. Bocah itu tampak bersemangat membuka kado pertamanya. Ketika melihat Caca, Ray langsung melambai dengan wajah berseri.

“Caca! Lihat!” teriak Ray, mengangkat sebuah kotak besar yang baru saja ia buka.

Caca tersenyum lembut. Kebahagiaan Ray begitu nyata, begitu tulus, dan entah bagaimana, wajah kecil itu mengingatkannya pada Logan. Meskipun jarang tersenyum, Logan memiliki kilau yang sama di matanya ketika ia bahagia.

“Caca, kemarilah! Kita semua mendapatkan hadiah!” seru Nyonya Pattinson lagi, suaranya penuh semangat dan kehangatan. Ia menunjuk ke arah kado-kado yang tersusun rapi.

Hati Caca berdebar-debar. Ia tidak menyangka akan mendapatkan sesuatu di pagi Natal ini. Dengan langkah ragu, ia mendekati pohon Natal. Adrenalinnya meningkat, membayangkan apa yang mungkin menunggunya.

“Ini, milikmu,” kata Nyonya Pattinson sambil menyerahkan sebuah kotak berukuran cukup besar yang dibungkus kertas merah berkilauan.

“Terima kasih,” gumam Caca dengan nada kagum, tangannya gemetar saat menerima kado itu. Ia menatap kotak tersebut, mencoba menebak apa yang ada di dalamnya.

Dengan perlahan, ia membuka kertas kado itu, jantungnya berdebar kencang. Begitu ia melihat isi di balik kertas yang robek, tubuhnya seolah membeku. Wajahnya berubah, dari terkejut menjadi penuh rasa haru. Ia menutup mulutnya, menahan isak yang hampir keluar.

“Nyonya…” suaranya bergetar, matanya mulai berair. Ia menatap Nyonya Pattinson dengan ekspresi tak percaya.

“Selamat Natal, sayang,” ujar Nyonya Pattinson lembut. Senyumnya begitu tulus, penuh keibuan.

Caca tidak mampu menahan emosinya lagi. Ia langsung memeluk wanita itu dengan erat. Air matanya mulai mengalir, meskipun ia mencoba untuk tetap tenang. “Terima kasih, Nyonya. Terima kasih banyak.”

“Kau pantas mendapatkannya, Calista. Kau sudah menjadi bagian dari keluarga kami sekarang,” jawab Nyonya Pattinson sambil membelai punggung Caca dengan lembut.

Kata-kata itu membuat hati Caca semakin hangat. Ia tidak menyelesaikan membuka kado itu sepenuhnya sebelum memeluk erat wanita yang kini ia anggap seperti seorang ibu. Setelah menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya, ia kembali membuka bungkus kado tersebut. Ketika akhirnya ia melihat isinya dengan jelas, ia terkesiap.

Sebuah MacBook Pro terbaru ada di dalam kotak itu. Matanya membelalak, tidak percaya pada apa yang ia lihat. “Astaga… ini… ini benar-benar untukku?” suaranya nyaris berbisik.

Nyonya Pattinson tertawa kecil. “Tentu saja. Santa tahu kau membutuhkan itu, kan?”

Caca tersenyum lebar, memeluk erat kotak MacBook di dadanya. “Aku tidak tahu harus berkata apa… Ini lebih dari yang pernah aku bayangkan.”

“Aku senang kau menyukainya,” ujar Nyonya Pattinson, mengusap lembut rambut Caca. “Santa selalu tahu yang terbaik untuk anak-anak baik.”

Caca tertawa kecil mendengar ucapan itu. “Aku rasa Santa benar-benar memperhatikan tahun ini.”

Momen itu begitu hangat, begitu penuh kasih, hingga Caca merasa dadanya hampir sesak oleh kebahagiaan. Ia tidak bisa berhenti bersyukur karena telah dipertemukan dengan keluarga Pattinson yang begitu baik hati. Seumur hidupnya, ia tidak pernah merasa begitu diterima, begitu dihargai.

Ray, yang telah selesai membuka semua hadiahnya, tiba-tiba berlari menghampiri Caca. “Caca, lihat! Aku dapat banyak mainan!” serunya sambil menunjukkan beberapa barang di tangannya.

“Wah, Ray. Kau pasti anak yang sangat baik tahun ini,” balas Caca, mengacak rambut bocah itu dengan lembut.

Ray tertawa, lalu menarik tangan Caca. “Ayo kita main bersama! Aku ingin menunjukkan semuanya!”

Caca mengangguk, tertawa kecil melihat antusiasme Ray. Namun sebelum ia pergi, ia menatap sekali lagi ke arah Nyonya Pattinson, memberikan senyum penuh rasa terima kasih. Wanita itu membalas senyumnya dengan anggukan lembut, seolah berkata, Kau pantas mendapatkannya.

Caca mengikuti Ray ke sudut ruangan, tetapi pikirannya masih berputar-putar pada apa yang baru saja terjadi. Hadiah itu bukan hanya sekadar benda bagi Caca. Itu adalah simbol penerimaan, simbol bahwa ia benar-benar dianggap sebagai bagian dari keluarga ini.

Ia memeluk MacBook itu erat-erat di dadanya, seolah tidak ingin melepaskannya. Sambil duduk di lantai bersama Ray yang sibuk bermain, ia melirik ke arah pohon Natal, ke arah semua hadiah yang telah dibuka. Di sana, ia tidak hanya melihat materi, tetapi cinta dan perhatian yang tulus dari sebuah keluarga yang telah mengubah hidupnya.

Di tengah suara tawa Ray yang riang, ia menarik napas dalam-dalam dan berkata pada dirinya sendiri, “Terima kasih, Tuhan. Terima kasih karena telah menempatkanku di sini.”

-

Setelah puas bermain dengan Ray dan membongkar seluruh hadiah miliknya, Caca berjalan menuju dapur, berniat mengambil beberapa minuman dan makanan. Kehidupan di kediaman Pattinson benar-benar memberinya pengalaman yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya—kenyamanan dan kemewahan yang terasa asing baginya.

"Calista?"

Sebuah suara rendah dan serak memanggilnya ketika ia membuka kulkas. Ia tersentak, mendapati Logan duduk di lantai, bersandar pada meja bar dengan sebotol whiskey di tangannya. Gelas kosong dengan sisa es batu ada di dekatnya.

"Logan?" Caca sedikit melompat, terkejut melihat keadaannya. Pria itu tampak berantakan, wajahnya memerah, dan matanya sayu. "Maaf, aku tidak tahu Anda ada di sini."

"Tidak perlu minta maaf," ucap Logan seraya menyeringai kecil. Suaranya berat, aroma alkohol kuat menyeruak di udara. "Sebenarnya, aku senang kau datang."

Caca ragu sejenak, namun akhirnya melangkah mendekat. Ia duduk di sebelah Logan yang tampak seperti orang yang menanggung beban dunia di pundaknya.

"Maaf kalau saya mengganggu waktu Anda," kata Caca canggung.

Logan menggeleng. "Tidak, kau sama sekali tidak mengganggu. Sebenarnya, kau selalu membawa ketenangan." Ia tersenyum kecil, meskipun ekspresi itu terselipkan kesedihan.

"Anda... baik-baik saja?" tanya Caca hati-hati.

Logan tertawa pelan, hampir sinis. "Menurutmu?" Ia mengangkat gelasnya, menatap cairan amber di dalamnya. "Kau suka hadiah Natalmu?"

Caca mengangguk sambil tersenyum. "Sangat suka. Saya tidak pernah menyangka akan mendapatkan sesuatu yang begitu istimewa."

"Aku senang mendengarnya," kata Logan sambil menuangkan whiskey ke gelas kosong. "Di sini, semua orang berhak merasa spesial. Bahkan kau."

Caca menunduk, tersenyum kecil, namun tetap merasa gugup. Perasaan aneh mulai menjalari dirinya melihat pria di depannya yang biasanya begitu tenang dan menguasai situasi, kini tampak rapuh.

"Minum?" Logan menyodorkan gelas whiskey itu ke arahnya.

"Ah, tidak. Saya tidak minum alkohol."

"Setidaknya cobalah."

Caca ragu, namun akhirnya menerima gelas itu. Ia menyesap sedikit, dan segera mengernyit karena rasa yang membakar tenggorokannya. Logan tertawa keras melihat ekspresi wajahnya.

"Kau benar-benar lucu, Calista," ucapnya sambil menyandarkan kepalanya ke meja bar. "Itulah masalahnya. Kau selalu membuatku memikirkanmu."

Caca membeku. "Maaf? Apa maksud Anda?"

Logan menatapnya, senyumannya menghilang, digantikan oleh sorot mata serius. "Aku tidak tahu kapan ini dimulai. Mungkin saat kau tersenyum untuk pertama kali. Atau saat aku melihat caramu memperlakukan Ray. Tapi sekarang, aku tahu satu hal... kau mengacaukan pikiranku."

"Logan..." Caca tergagap, tidak tahu harus berkata apa.

"Kenapa?" Logan mengabaikan kebingungannya. "Kenapa kau harus datang ke hidupku dan membuat semuanya... berbeda?"

"Saya tidak bermaksud—"

"Kau menyebalkan, Calista," potong Logan dengan tawa getir. "Menyebalkan karena aku tidak pernah membiarkan siapa pun masuk. Tapi kau? Kau memaksa masuk tanpa aku sadari."

Caca menatap pria itu, dadanya berdegup kencang. Ia tidak tahu apakah harus merasa tersanjung atau ketakutan. "Logan, Anda mabuk. Mungkin sebaiknya—"

"Tidak, aku tidak mabuk," Logan menyela. "Setidaknya, tidak terlalu mabuk untuk menyadari apa yang kurasakan."

Ruangan itu tiba-tiba terasa sunyi. Logan menatapnya, dan kali ini tatapan itu begitu dalam hingga membuat Caca merasakan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.

"Calista..." Suaranya rendah, hampir berbisik. "Katakan sesuatu. Apapun."

Caca menghela napas panjang, berusaha meredakan kegelisahan di dalam dirinya. "Logan, mungkin... kita tidak seharusnya membicarakan ini sekarang."

Logan tersenyum tipis, tapi matanya memancarkan luka. "Mengerti. Tapi aku ingin kau tahu, aku tidak menyesal mengatakannya."

Caca berdiri, meraih gelas whiskey dari tangan Logan dan meletakkannya di meja. Gadis itu menatap logan dengan penuh kehati-hatian. Ucapan pria itu barusan membuat jantungnya berdebar kencang.

Caca menatap wajah Logan lebih lekat. Keduanya saling pandang meskipun Logan masih terduduk dan Caca sedang berdiri menghadap pria kusut itu.

"Logan, kau bisa panggil aku Caca saja. Tidak perlu lagi menyebut Calista. Seperti Anda ingin saya memanggil Anda tanpa embel-embel Tuan."

Logan mengangkat alis, terkejut dengan permintaan itu. Sebuah senyum samar kembali muncul di wajahnya.

"Baiklah, Caca," katanya pelan, namanya terasa asing namun begitu manis di bibir Logan.

Caca menatapnya sejenak sebelum berbalik, hendak meninggalkan dapur. Namun sebelum ia melangkah lebih jauh, suara Logan kembali memanggilnya.

"Caca..."

Caca berhenti, menoleh dengan hati-hati.

"Aku tidak akan menyerah," ucap Logan dengan nada tegas, tapi matanya penuh emosi yang tak bisa ia sembunyikan.

Caca hanya menatapnya, bingung dan tidak tahu harus berkata apa. Akhirnya, ia hanya mengangguk pelan sebelum meninggalkan Logan yang masih terduduk di lantai.

Di luar dapur, Caca bersandar di dinding, mencoba mengatur napasnya yang tiba-tiba terasa berat. Kata-kata Logan terus terngiang di kepalanya, membuatnya merasa terjebak di antara perasaan yang bercampur aduk.

Sementara itu, di dalam dapur, Logan menatap gelas kosong di depannya, senyumnya penuh arti. "Aku akan membuatmu mengerti, Caca," bisiknya, seolah berjanji pada dirinya sendiri.

1
seftiningseh@gmail.com
semngat berkarya
oh ya cerita ini menurut aku sangat menarik. apalagi judul nya jangan. lupa dukung aku di karya ku judul nya istri kecil tuan mafia
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!