Tak perlu menjelaskan pada siapapun tentang dirimu. Karena yang menyukaimu tak butuh itu, dan yang membencimu tak akan mempercayainya.
Dalam hidup aku sudah merasakan begitu banyak kepedihan dan kecewa, namun berharap pada manusia adalah kekecewaan terbesar dan menyakitkan di hidup ini.
Persekongkolan antara mantan suami dan sahabatku, telah menghancurkan hidupku sehancur hancurnya. Batin dan mentalku terbunuh secara berlahan.
Tuhan... salahkah jika aku mendendam?
Yuk, ikuti kisah cerita seorang wanita terdzalimi dengan judul Dendam Terpendam Seorang Istri. Jangan lupa tinggalkan jejak untuk author ya, kasih like, love, vote dan komentarnya.
Semoga kita semua senantiasa diberikan kemudahan dalam setiap ujian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DTSI 33
Setelah pulang dari nonton film, Rahman mengajak Ningsih untuk berbelanja kebutuhan rumah di supermarket bawah bioskop. Awalnya Ningsih menolak, sungkan dengan alasan tak ingin merepotkan. Apalagi, Rahman sudah membelikan Jahan yang begitu banyak pada Salwa. Belum lagi, Rahman sudah mentransfer uang bulanan untuk Ningsih. Meskipun belum sah menjadi suami Ningsih, Rahman selalu melakukan tugasnya itu. Berusaha mencukupi kebutuhan Ningsih dan keluarganya. Bukan semata karena rasa cintanya saja, tapi lebih dari itu. Rahman begitu paham bagaimana perjuangan Ningsih dalam mencukupi semua kebutuhannya. Setelah selesai belanja, mereka pergi ke kedai bakso langganan Ningsih, wanita sederhana itu memang sangat menyukai bakso. Setelah selesai dan perut kenyang, Rahman mengantar calon istri dan anaknya pulang kerumah dengan mengendarai mobil Rush warna putih miliknya. Sesampainya di rumah Ningsih, ternyata sudah ada Rina bersama suami dan anaknya.
"Asalamualaikum." Suara salam terdengar berbarengan diucapkan oleh Ningsih, Rahman dan juga Salwa. Rina yang tengah duduk diruang tamu bersama Supri menjawabnya serempak dengan senyum merekah menyambut kedatangan kakaknya.
"Rin, sudah lama?" Sapa Ningsih saat melihat adiknya sudah ada dirumah.
"Sudah satu jam lebih, kangen sama ibuk. Mbak, sehat?" Sahut Rina sambil menyalami kakaknya dan Salwa, pada Rahman Rina mengatupkan kedua telapak tangannya sopan. Sedangkan Supri terlihat duduk memangku anaknya yang sudah semakin sehat dan gemuk.
"Duh, jagoan." Sambut Ningsih yang belum berani menyentuh keponakannya, belum ke kamar mandi untuk cuci tangan dan kaki.
"Sebentar, mbak mau kebelakang dulu. Salwa habis Salim cuci tangan dan kakinya, adik biar gak sawan, jangan pegang adik dulu." Ningsih mengingatkan Salwa yang langsung mengangguk patuh. Bahkan Rahman pun juga melakukan hal yang sama, mencuci tangan dan kakinya juga. Lalu mereka berkumpul di sofa ruang tamu, dengan yakin Rahman mengutarakan keinginannya untuk segera meminang Ningsih, dan niat baiknya itu mendapat sambutan hangat dari Bu Yati, Rina juga Supri.
"Alhamdulillah, terimakasih nak, Rahman. Ibu percaya sama nak Rahman, semoga semua berjalan lancar, ibu hanya bisa mendoakan." Ucap Bu Yati dengan senyuman haru, matanya terlihat berkaca-kaca.
"Aamiin, terimakasih banyak Bu. Dengan restu dan doa dari ibu, insyaallah Rahman akan berusaha untuk menjadi pendamping yang baik untuk Ningsih dan Salwa nantinya. Nanti setelah dari sini, Rahman akan bicarakan niat ini pada orang tua Rahman dan untuk keputusannya nanti akan Rahman infokan lagi. Bismillah, semoga semua diperlancar." Sahut Rahman sambil melirik Ningsih yang tersipu.
"Ningsih ingin, nanti kita tidak usah rame rame acaranya, mas. Yang sederhana saja, kita juga bukan gadis dan bujang lagi, malu." Ningsih membuka suaranya, menyampaikan isi hatinya yang gelisah.
"Senyamannya kamu, saja. Aku ikut saja dan apapun yang membuatmu nyaman dan senang, selagi tidak menyalahi aturan syariat, insyaallah, aku akan mengabulkan." Jawab Rahman dengan senyuman hangat menatap perempuan di hadapannya dengan dada yang tak berhenti berdebar.
"Terimakasih, mas." Sahut Ningsih singkat, wajahnya susah seperti kepiting rebus, malu juga bahagia terpancar jelas dari sorot matanya. Membuat Rahman semakin merasa gemas dan segera ingin menghalalkannya.
Setelah selesai dan dirasa cukup, Rahman pamit undur diri karena hari sudah beranjak sore. Rahman sudah memantapkan hatinya untuk segera menikahi Ningsih. Tak ingin hatinya goyah karena ada yang berusaha untuk merusaknya. Ternyata diam diam Kanti sudah berusaha untuk menghubungi Rahman, bahkan dengan berani mengajaknya untuk ketemuan, namun dengan tegas Rahman menolaknya, Rahman sudah tau niat buruk Kanti. Sedikitpun tidak ada niat di hati Rahman untuk menyakiti Ningsih, sekalipun Kanti sudah bicara menjatuhkan Ningsih pada Rahman. Justru Rahman semakin yakin, jika Kanti bukanlah perempuan yang baik dan Rahman tidak menyukai Ningsih berteman dengan perempuan itu. Namun untuk sementara Rahman memilih diam, menyimpannya rapat atas apa yang sudah Kanti lakukan di belakang Ningsih untuk menjatuhkannya.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
"Mbak, mas Rahman itu baik ya. Tampan juga kaya lagi. Mbak Ningsih beruntung, semoga setelah ini, hidupmu jadi lebih baik, bahagia mbak." Rina menatap sayang ke arah Ningsih yang sedang memangku anaknya.
"Aamiin, doanya. Semoga keputusan ini benar dan mas Rahman benar benar menepati janjinya." Sahut Ningsih tersenyum, Bu Yati merasa lega juga bahagia, akhirnya anak sulungnya menemukan laki laki yang bisa memuliakannya, sudah terlalu lama Ningsih hidup di dalam derita selama ini, dan mungkin sudah saatnya dia merasakan kebahagiaan, buah dari kesabarannya selama ini.
"Mbak, aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Tapi tolong jangan tersinggung." Kembali Rina membuka suaranya, Ningsih menatapnya lekat, penasaran dengan apa yang akan disampaikan adiknya itu.
"Ngomong soal apa, kenapa harus tersinggung? Apa ada yang tidak aku ketahui?" Jawab Ningsih dengan mengernyit heran. Lalu Rina memberikan kode agar Salwa tidak ikut mendengarkan.
"Salwa, mama mau ngomong urusan orang dewasa sama mbk Rina. Salwa main di kamar dulu ya, nak. Salwa bisa nonton tv dulu." Ningsih yang langsung paham, langsung memberikan Salwa pengertian. Dan Salwa pun patuh tanpa banyak bicara lagi. Salwa memang hampir tidak pernah membantah ucapan ibunya.
"Ada apa, apa yang tidak aku tau, Rin?" Ningsih kembali melontarkan pertanyaan saat Salwa sudah masuk ke dalam kamarnya dan terdengar suara tv yang sudah di nyalakan.
"Mbak, lebih baik jangan terlalu dekat sama mbak Kanti. Dia tidak sebaik yang kita bayangkan, aku gak mau jika suatu saat kedekatan kalian membuat masalah di hidupmu mbak." Sahut Rina dengan wajah terlihat cemas. Ningsih semakin bingung dengan maksud ucapan adiknya itu.
"Maksud kamu bagaimana, Rin? Memangnya ada apa dengan, Kanti? Dia baik dan juga gak neko neko kok sama mbak." Balas Ningsih yang semakin tidak mengerti kemana arah pembicaraan adiknya itu.
"Mbak Kanti memang baik, tapi itu tidak tulus. Dia punya niat lain dibalik kebaikannya itu. Mbak Ningsih pokoknya jangan terlalu terbuka dengan dia soal masalah mbak. Dia itu ular kepala dua, licik dan licin." Ucap Rina dengan sorot kebencian, lantaran dengan telinga dan matanya sendiri, Rina mendengar Kanti ngomongin Ningsih dengan segala fitnahan nya.
"Maksudnya gimana sih ini, mbak makin gak ngerti." Sahut Ningsih yang masih bingung dengan apa yang di utarakan oleh adiknya.
"Mbak Kanti sudah menebar keburukan soal mbak. Apa mbak tau, dia sudah koar koar kalau mbak Ningsih itu janda kegatalan. Bahkan dia bilang kalau mbak itu sudah merebut mas Rahman dari istrinya, mbak itu pelakor. Dan bukan cuma itu saja, bahkan dia juga bilang kalau mbak juga jadi selingkuhannya mas Angga dan sering dikasih uang karena mbak sudah melayani mas Angga di hotel. Bahkan dia juga bilang kalau mbak itu sering minta baju bajunya dia, dan masih banyak lagi. Ini bukan dari omongan orang lain ya, mbak. Demi Alloh aku mendengar sendiri dengan telingaku ini. Jadi, lebih baik kamu tidak usah berteman dengan perempuan ular itu, mulut dan hatinya busuk sekali." Geram Rina yang berapi api menceritakan apa yang sudah dia dengar dari mulut jahat Kanti di belakang Ningsih.
"Astagfirullah, rasanya mbak masih gak percaya. Kenapa Kanti sejahat itu." Balas Ningsih dengan rasa yang tidak menentu. Bahkan Bu Yati yang mendengar semua cerita Rina ikut merasa geram dan mengingatkan Ningsih untuk mulai jaga jarak dari Kanti.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
jangan lupa mampir juga di karya aku yang lain.
Novel baru :
#Hati Yang Kau Sakiti
#Dendam terpendam seorang istri
Novel Tamat
#Anak yang tak dianggap
#Tentang luka istri kedua
#Tekanan Dari Mantan Suami (Tamat)
#Cinta dalam ikatan Takdir (Tamat)
#Coretan pena Hawa (Tamat)
#Cinta suamiku untuk wanita lain (Tamat)
#Sekar Arumi (Tamat)
#Wanita kedua (Tamat)
#Kasih sayang yang salah (Tamat)
#Cinta berbalut Nafsu ( Tamat )
#Karena warisan Anakku mati di tanganku (Tamat)
#Ayahku lebih memilih wanita Lain (Tamat)
#Saat Cinta Harus Memilih ( Tamat)
#Menjadi Gundik Suami Sendiri [ tamat ]
#Bidadari Salju [ tamat ]
#Ganti istri [Tamat]
#Wanita sebatang kara [Tamat]
#Ternyata aku yang kedua [Tamat]
Peluk sayang dari jauh, semoga kita senantiasa diberikan kesehatan dan keberkahan dalam setiap langkah yang kita jalani.
Haturnuhun sudah baca karya karya Hawa dan jangan lupa tinggalkan jejak dengan like, komentar dan love nya ya say ❤️
sekedar saran utk karya2 selanjutnya, kurangi typo, dan di setiap ahir bab jgn terlalu banyak yg terkesan menggantung.
semoga smakin banyak penggemar karyamu dan sukses. terus semangat.. 💪😊🙏
mksh ka/Kiss/sumpah ceritanya bagus buat candu
entah apa hukumnya wandi mentalak irma tanpa saksi juga ..syahkan cerainya. ktnya hrs dpn saksi jatuhin talak