Ayuni dan kedua temannya berhasil masuk ke sebuah perusahaan majalah besar dan bekerja di sana. Di perusahaan itu Ayuni bertemu dengan pria bernama Juna yang merupakan Manager di sana. Sayangnya atasannya tersebut begitu dingin dan tak ada belas kasihan kepada Ayuni sejak pertama kali gadis itu bekerja.
Namun siapa sangka Juna tiba-tiba berubah menjadi perhatian kepada Ayuni. Dan sejak perubahan itu juga Ayuni mulai mendapatkan teror yang makin hari makin parah.
Sampai ketika Ayuni jatuh hati pada Juna karena sikap baiknya, sebuah kebenaran akan sikap Juna dan juga teror tersebut akhirnya membawa Ayuni dalam masalah yang tak pernah ia sangka.
Kisah drama mengenai cinta, keluarga, teman, dan cara mengikhlaskan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23. ASUMSI
...“Saat dunia mulai kejam,...
...saat kegelapan merundung duka,...
...cahaya hangat masih menuntunku....
...Saat mata mulai memandangmu,...
...saat hati mulai berdebar untukmu,...
...kenyataan memberitahuku,...
...kalau aku menginginkanmu.”...
Mataku rasanya berat ketika kakiku melangkah masuk ke dalam kantor. Kugeraikan rambut, berusaha menutupi wajah mengerikanku karena masalah kemarin. Beberapa orang yang memandangku penasaran, tentu saja datang ke kantor dengan mata sembab siapa yang tidak akan curiga kalau sesuatu terjadi padaku.
Kedua temanku sudah tahu apa yang terjadi padaku kemarin, tapi mereka sepakat untuk saat ini tidak akan memberitahu kakakku mengenai masalah yang menimpaku. Sama halnya denganku, mereka berdua tidak percaya kalau kakakku sampai melakukan hal gila itu. Mereka saja tidak percaya apalagi aku adiknya. Mereka menghiburku semalaman sepulang mereka dari kerja, tidak membiarkanku seorang diri hingga aku tertidur.
Dan hari ini aku berangkat lebih dulu dibandingkan mereka, tidak enak rasanya jika mereka terus memerhatikanku setelah semalaman menjagaku. Lagian aku memang tidak ingin ke kantor terlalu siang, akan ada banyak pasang mata yang menjadikanku target tatapan penasaran mereka, dan aku benci itu.
“Ayuni? Pagi!” suara yang kukenal tertangkap pendengaranku.
Kenapa ia harus datang sepagi ini? batinku yang mengomel ketika mendapati biang kerusuhan datang lebih awal padahal aku sedang tidak dalam suasana hati bagus untuk mendengar lawakannya.
“Pagi, Ndre,” balasku tanpa memandang ke arahnya.
Dalam sekejap seperti kebiasannya, Andre sudah ada di sampingku, berjalan seiring dengan langkah pendekku. Seperti biasa pula ia mulai berceloteh dan melontarkan ucapan tidak masuk akalnya akan kegiatan yang tidak kuketahui.
“Lo nggak keliatan semangat hari ini, apa karena belum beliin gue sarapan.” Dia kumat. Namun, seketika ia menghadang jalanku, memandangku dengan dahi berkerut dalam. “Mata lo kenapa? Abis nangis? Siapa yang buat lo nangis? Apa Juna?” tanyanya.
“Apa sih, gue nggak nangis kok,” dustaku.
Andre memegang pundakku, menyejajarkan wajahnya dengan wajahku. Ekspresinya serius, memandang mataku langsung agar mengatakan yang sebenarnya. “Mata lo sembeb, merah gitu lo bilang nggak nangis. Jangan bohong sama gue, kenapa lo nangis? Apa ada hubungannya sama lo yang lari ke luar kantor kemaren? Juna ngejer lo kan, dia yang buat lo nangis?”
“Bukan dia,” jawabku seraya mengalihkan pandanganku darinya, tak berani jika harus menatapnya. “Ini masalah kakak gue itu. Ada orang yang nelepon gue kemaren dan nyuruh gue ketemu sama dia dan ...”
Ucapanku yang menggantung sepertinya membuat Andre tidak sabar, tangannya mencengkeram pundakku, memintaku secara tidak langsung mengatakan kelanjutannya.
“Orang itu bilang Kak Indra pembunuh, dia bahkan ngasih foto sebagai bukti,” kataku akhirnya.
Andre adalah orang pertama yang tahu mengenai foto dan masalah kakakku itu setelah Dini dan Rini, dia yang memberi banyak saran atas beberapa teror yang terjadi padaku di kantor. Rasanya tidak masalah jika aku blak-blakan mengatakan yang kudengar kemarin.
“Siapa yang bilang? Juna?” tuduhnya.
“Bukan. Kenapa lo kayaknya mojokin ke Bos Juna terus?” Aku kembali memandangnya, meminta ia menjawab pertanyaanku dan tidak berkelit.
Mata Andre sesaat melihat sekeliling, memastikan sesuatu tidak ada di sekitar kami berdua sebelum akhirnya ia kembali memandangku. “Sikap Bos Juna itu mencurigakan sejak lo masuk. Ada banyak perubahan sikap yang gue liat darinya, dia seolah memperlakukan lo layaknya ratu. Dia bahkan selalu ada di deket lo setiap kali hal buruk terjadi sama lo. Gue liat dia marah sama lo, tapi di saat yang sama dia peduli. Gue bener-bener nggak ngerti dia.”
“Sikap orang bisa berubah, kan. Kenapa lo yakin hanya ngeliat dari sikapnya?”
“Gue kayaknya belum cerita sama lo ya. Gue dan Juna adalah teman seangkatan saat kuliah, jadi gue kenal dia dengan baik,” jawab Andre seraya melepaskan tangannya dari pundakku.
“Temen seangkatan?!” seruku terkejut. “Jadi lo udah setua itu dan masih bertingkah kayak anak alay,” sambungku.
“Siapa yang lo sebut tua? Lo nggak liat gue masih cukup muda untuk dibilang tua. Lo sendiri nggak nyangka kalau umur gue segitu, kan. Udah gue bilang kalau gue itu patut jadi kakak lo, tapi lo nggak mau manggil gue kakak. Nggak sopan,” cetusnya sok.
Aku merutuk diri sendiri saat tanpa sadar sudah bersikap tidak sopan dengan orang yang lebih tua. Jangan salahkan aku jika aku menganggapnnya seusiaku, lihat saja kelakuannya yang gila dan semaunya itu.
“Balik ke topik awal lagi. Ceritain detailnya kayak mana kejadian kemarin,” pintanya yang kembali berjalan menuju ruang kerja kami.
Kuceritakan semua yang terjadi, semua yang kudengar, hingga semua asumsi yang kukumpulkan. Andre menanggapinya dengan baik, ia mencari masalah dalam setiap yang kuceritakan. Ia meminta agar aku menunjukan foto yang diberikan oleh Pak Revan. Untuk sesaat Andre tidak mengatakan apa pun, hanya menyimpan pikirannya untuk ia sendiri. Andre bahkan memerhatikanku, seolah menilai apa yang ada di pikiranku mengenai apa yang ia pikirkan. Ia tidak memberitahu apa pun mengenai pendapatnya. Entah apa yang membuatnya bersikap ragu.
Dengan baik hatinya Andre memberikan beberapa jalan keluar, membuat asumsi agar aku tidak salah memilih jalan akan teror yang terus menggerayangiku. Andre hanya menemukan jalan buntu mengenai Pak Revan yang memberikan foto tentang kakakku itu, ia mengira kalau semua ini ada hubungannya.
"Gue rasa yang nggak suka dengan kakak lo ada lebih dari satu orang. Satu orang di kantor ini, kedua Pak Revan itu. Dan kemungkinan aksi penguntit dan juga penculikan itu rencana dari salah satu mereka. Sebaiknya lebih hati-hati lagi, tetap waspada," kata Andre serius.
"Kenapa lo yakin ada dua orang yang benci sama kakak gue?" tanyaku, masih memeroses apa yang Andre lontarkan barusan.
"Nggak mungkin Pak Revan itu bisa sampai masuk ke kantor dan taruh semua barang-barang serta catatan kecil itu di meja lo, Ayuni. Dan kalaupun dia menyuruh orang lain, orang sini setahu gue nggak mau berurusan dengan orang di luar kantor. Terlalu beresiko kalau lo sampai punya nama buruk di perusahaan ini, karena bakal susah buat lo bisa diterima perusahaan lain lagi," jelas Andre.
Jika dipikirkan baik-baik benar apa yang dikatakan oleh Andre. Kemungkinan seperti itu memang terbaca jelas, khususnya oleh orang yang telah lama jadi karyawan sini.
"Lagipula foto-foto yang lo temuin di meja lo itu beda dengan foto yang dikasih sama Pak Revan itu. Orang yang menaruh foto dan memo di meja itu semata ingin mengingatkan aja kalau kakak lo nggak sebaik yang lo pikirin. Sedangkan foto dari Pak Revan justru terlalu jelas, seolah dia ada di tempat itu dan mengambil foto itu ketika kejadian, dan bisa aja apa yang ada di foto nggak sesuai dengan kejadian sebenarnya," tutur Andre.
Aku melongo mendengarkannya. Tidak pernah aku melihat Andre dalam mode serius seperti ini, seolah ia menggunakan seluruh otaknya untuk berpikir. Bahkan hal yang ia katakan itu terdengar sangat mudah untuknya.
"Kenapa?" tanyanya saat kau terus memandanginya seperti orang bodoh.
"Mimpi apa gue semalam sampe bisa ngeliat seorang Andre Gunawan pake otaknya buat mikir," celetukku.
"Oh, tentu ini tidak gratis, Kawan," ucapnya dengan senyum lebar mencurigakan.
Mataku melebar ketika melihat di tangannya kini memegang benda yang sangat kukenal. Berpikir bagaimana benda persegi itu bisa berakhir di tangannya. Dan aku mengumpati diriku sendiri karena kau yang menaruhnya di atas meja,
"Andre balikin dompet gue!" seruku.
Namun sayang, pria itu sudah melarikan diri. Dan aku bertaruh kalau ia pergi ke coffee shop di seberang jalan sana, serta entah apa lagi yang akan pria sinting itu beli dengan uangku.
Aku kembali menyandarkan tubuhku di punggung kursi, tidak tahu harus berpikir seperti apa. Aku tahu dengan jelas bagaimana kakakku, dan tidak mungkin kalau kakakku adalah seorang pembunuh.
Akan tetapi, teror yang terus menderaku memaksa otakku membentuk perihal baru akan kebenaran mengenai kakakku. Dan yang membuatku berpikir jauh ke sana adalah kakakku yang sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku. Ia tahu mengenai isi dari foto-foto yang kudapatkan, tapi ia terus saja mengatakan agar aku tidak memikirkannya. Ia tahu kalau ada kemungkinan aku berada dalam bahaya yang serius. Ia hanya tidak ingin mengatakannya agar aku tidak ketakutan atau panik, karena itu ia terus beberapa kali menyuruhku pindah kerja atau pun pindah ke kota lain. Ia ingin menyembunyikanku. Atau mungkin asumsiku itu terlalu berlebihan?