Samuel, pria berusia 38 tahun, memilih hidup melajang bertahun-tahun hanya demi satu tujuan—menjadikan Angelina, gadis 19 tahun yang selama ini ia nantikan, sebagai pendamping hidupnya. Setelah lama menunggu, kini waktu yang dinantikannya tiba. Namun, harapan Samuel hancur saat Angelina menolak cintanya mentah-mentah, merasa Samuel terlalu tua baginya. Tak terima dengan penolakan itu, Samuel mengambil jalan pintas. Diam-diam, ia menyogok orang tua Angelina untuk menikahkannya dengan paksa pada gadis itu. Kini, Angelina terperangkap dalam pernikahan yang tak diinginkannya, sementara Samuel terus berusaha memenangkan hatinya dengan segala cara. Tapi, dapatkah cinta tumbuh dari paksaaan, atau justru perasaan Angelina akan tetap beku terhadap Samuel selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kak Rinn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
kedatangan Aldrich
Di pasaran yang ramai, terdapat seorang pria berkisar umur 26 tahun, memakai kemeja putih dan celana formal hitam sedang berjalan-jalan di kerumunan.
Itu Aldrich!
Aldrich sedang berbelanja kebutuhan rumahnya, ia salah satu teman dekat Samuel tetapi belum menikah.
Ketika Aldrich tiba di tempat penjualan buah, ia terkejut melihat Samuel ternyata berada di sampingnya.
"Samuel?" gumamnya. "Bukankah seharusnya ia mengadakan rapat penting?" Ia lalu berjalan mendekati Samuel dan menepuk pundaknya.
Samuel menoleh dan tersenyum ketika melihat Aldrich di sampingnya.
“Aldrich! Lama nggak ketemu,” ucap Samuel santai, seolah tak terbebani oleh agenda rapat yang baru saja ia tinggalkan.
Aldrich mengernyit, “Samuel, kau... bukannya hari ini ada rapat penting di kantor? Kenapa malah di sini?”
Samuel tertawa kecil," Istriku lagi ngidam, katanya mau yang asam-asam. Jadi ya... aku harus turun tangan langsung.”
“Wah, seorang CEO benar-benar meninggalkan rapat hanya demi memenuhi istrinya yang sedang ngidam, luar biasa!”
Samuel tersenyum lebar, “Kebahagiaan istri nomor satu, bro. Tugas kantor bisa menunggu. Lagipula, kapan lagi aku bisa keluar sebentar dan menikmati suasana pasar?”
Aldrich tertawa, merasa kagum sekaligus geli melihat sisi berbeda dari temannya.
"Ini, Pak, totalnya 150 ribu," kata si penjual sambil menyodorkan asinan yang sudah dibungkus.
Samuel mengeluarkan dompet, menyerahkan uang 200 ribu. "Kembaliannya ambil."
"Ah, terima kasih banyak, Pak!" si penjual tersenyum lebar, jelas senang mendapat bonus tak terduga.
"Sama-sama," jawab Samuel singkat namun hangat, lalu menoleh ke Aldrich yang sedari tadi mengamatinya. "Kau ada waktu? Mau ikut ke rumah?"
Aldrich mengangkat alisnya, sedikit terkejut namun jelas tidak menolak. Sejak lama, ia penasaran ingin bertemu istri Samuel yang sering disebut-sebut. "Boleh."
Mereka berdua berjalan meninggalkan pasar, langkah Samuel penuh semangat, sementara Aldrich sesekali melirik Samuel, penasaran akan apa yang akan ia temukan di rumah temannya itu.
Ketika mereka tiba di mansion megah milik Samuel, Theo, bodyguard setia Samuel, segera membukakan pintu gerbang. Mobil Samuel meluncur masuk, lalu berhenti dengan rapi di area parkir yang luas. Begitu mesin mobil dimatikan, Samuel dan Aldrich pun turun.
Aldrich menatap ke sekeliling, matanya terhenti pada sosok Theo yang berdiri tegap di dekat pintu masuk. "Kau sampai menyewa bodyguard sekarang?" tanyanya, sedikit terkejut. Dia tak pernah menduga, setelah menikah, Samuel akan mengambil langkah seperti ini.
Samuel mengangguk ringan, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Iya, hanya untuk memastikan istriku aman dan nyaman."
Samuel kemudian mengarahkan pandangannya pada Theo. "Theo, bagaimana keadaan istriku? Semua baik-baik saja, kan?"
Theo menunduk hormat. "Iya, Pak. Nyonya baik-baik saja. Saat ini beliau sedang beristirahat di ruang tamu."
Samuel tampak lega mendengarnya. Ia menoleh ke arah Aldrich, memberi isyarat untuk masuk. "Ayo masuk. Kau bisa bertemu langsung dengan istriku."
Dengan rasa penasaran yang tak bisa disembunyikan, Aldrich mengangguk dan mengikuti Samuel masuk ke dalam rumah.
Begitu tiba di ruang tamu, Aldrich tercengang melihat sosok gadis muda yang begitu cantik. Kulitnya yang putih laksana mutiara memancarkan keanggunan, sementara rambut panjangnya yang tergerai dengan lembut seolah menyatu dengan suasana hangat di ruangan itu. Matanya, yang berwarna hazel, tampak memikat, memancarkan kedalaman yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Tanpa sadar, jantung Aldrich berdegup lebih kencang. Ia merasa seolah ada sesuatu yang berbeda tentang gadis ini, sesuatu yang memikat dan membuatnya ingin tahu lebih jauh.
"Sayang, aku bawakan pesananmu," ujar Samuel sambil tersenyum, menyerahkan asinan yang dibeli sebelumnya. Aldrich segera berkedip, terkejut mendengar suara temannya. Ia kemudian menyaksikan interaksi antara Samuel dan Angelina, yang tampak begitu mesra. Samuel mengecup dahi sang istri dengan lembut, sementara Angelina membalasnya dengan pelukan hangat dan senyum yang penuh kasih.
Aldrich menatap mereka dengan perasaan campur aduk. "Beruntung sekali dia... Memiliki istri muda," pikirnya. Ada perasaan iri yang menggelayuti hatinya. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak membandingkan dirinya dengan Samuel. Temannya yang hampir kepala empat itu, memiliki seorang istri muda yang secantik Angelina, sementara dirinya masih mencari-cari arah dalam hidupnya.
"Uhm... dia siapa?" tanya Angelina penasaran, sambil memandang Aldrich.
Samuel menoleh ke arah Aldrich. "Oh, dia temanku. Mau berkenalan?"
Angelina hanya menggelengkan kepala. Namun, Aldrich tidak mundur, ia melangkah maju dan mengulurkan tangannya dengan senyuman lebar. "Apa kabar, Nona? Namaku Aldrich, salah satu teman dekat suamimu," ujarnya sambil menyeringai.
Angelina hanya menatapnya sejenak, lalu mengangguk tanpa ada niat untuk menjabat tangan Aldrich. Ia merasa sedikit canggung dengan sikap Aldrich yang terlalu terbuka, tetapi memilih untuk diam.
Aldrich merasa sedikit kecewa dengan respons Angelina, namun segera menarik tangannya. Ia menatap Samuel dengan penuh rasa ingin tahu. "Siapa nama istrimu?" tanyanya dengan nada lebih serius.
Samuel tertawa kecil. "Hahaha, maafkan aku. Istriku memang sedikit cuek. Dia bernama Angelina."
"Oh, Angelina. Cantik namanya, seperti orangnya," Aldrich berkata, namun tatapannya begitu dalam dan intens saat memandang Angelina, tanpa ia sadari Samuel yang sedang mengamatinya.
"Baiklah, kurasa waktunya untuk menyuguhkan dirimu. Teh atau kopi?" tanya Samuel dengan nada yang lebih ringan, mencoba mencairkan suasana.
"Ah... sepertinya aku ingin teh hangat saja," jawab Aldrich sambil duduk di sofa dengan nyaman, berusaha mengalihkan perhatiannya dari tatapan intens yang ia berikan pada Angelina.
Samuel tersenyum dan mengangguk. "Teh hangat, baiklah. Tunggu sebentar." Lalu ia melangkah ke dapur, meninggalkan Aldrich dan Angelina di ruang tamu yang terasa sedikit canggung.
"Angelina?" tiba-tiba Aldrich bergumam, menyebut nama Angelina dengan suara yang pelan.
Begitu mendengar namanya disebut, Angelina mengerutkan keningnya, sedikit bingung. "Ada apa?" tanyanya dengan nada datar, berusaha menjaga jarak.
Aldrich terkejut mendengar suaranya, namun dengan cepat ia tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan rasa ingin tahunya. "Tidak. Aku hanya tidak habis pikir denganmu. Kau begitu cantik dan muda. Kenapa kau ingin bersama Samuel?"
Angelina membuang muka, mencoba menahan perasaan yang mulai tumbuh dalam hatinya. Ia tidak mungkin mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya—bahwa ia dipaksa menikah dengan Samuel karena orang tuanya yang kasar dan Samuel yang menyogok mereka. Namun, berkat pernikahan ini, ia bisa bebas dari tekanan keluarganya yang menghancurkan.
"Karna aku mencintainya," jawab Angelina dengan suara datar, berharap bisa menutup percakapan ini dengan cepat.
Aldrich mengangkat alisnya, merasakan ketidakcocokan antara kata-kata Angelina dan ekspresinya. Meski ia tahu ada sesuatu yang tidak beres, ia memilih untuk diam. "Begitu ya," katanya sambil pura-pura percaya, meski dalam hatinya ia tahu ada kebohongan yang disembunyikan oleh Angelina.