SAMUEL
"Kamu akan menikah dengan Samuel"
"APA!?" ucap seorang gadis cantik berambut lurus panjang berwarna hitam pekat, ia tak percaya orang tuanya yang tak pernah ikut campur dalam urusan percintaannya tiba-tiba melontarkan keputusan mengejutkan itu. Angelina menatap wajah kedua orang tuanya dengan mata membelalak, tak mampu memproses kata-kata yang baru saja didengarnya. Selama ini, mereka selalu memberinya kebebasan dalam memilih jalan hidupnya sendiri. Tapi, hari ini, segalanya terasa begitu asing.
"Apa maksud ayah dan ibu?" tanya Angelina, suaranya bergetar menahan kekecewaan yang perlahan merayap di hatinya.
Ayahnya menghela napas panjang, seolah mencoba menenangkan diri sebelum menjelaskan, "Samuel adalah pria yang baik, Angelina. Dia sudah lama menunggumu. Ini keputusan terbaik untuk masa depanmu."
Angelina menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Pria yang baik? Dia jauh lebih tua dariku! Aku bahkan tidak mencintainya," bantahnya dengan suara parau, dadanya terasa sesak. Bagaimana bisa mereka menganggap Samuel sebagai sosok yang pantas untuk dirinya?
Namun, ibunya malah tersenyum tipis, seakan menganggap penolakan Angelina sebagai hal sepele. "Kau masih muda, sayang. Cinta itu bisa datang seiring waktu," katanya dengan nada yang dingin, seperti menolak mengerti perasaan putrinya.
Angelina merasa terperangkap, tak berdaya di antara harapan orang tuanya dan mimpi-mimpinya sendiri. Untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa kebebasan yang selama ini ia rasakan hanyalah ilusi belaka.
"Tidak! Tidak! Pokoknya aku tidak mau menikah dengan Samuel!" gerutu Angelina membayangkan tubuh kekar dan wajah Samuel saja sudah ngeri apalagi membayangkan harus hidup bersamanya selamanya. Bulu kuduk Angelina meremang. Samuel, dengan tubuh kekarnya dan tatapan tajamnya, selalu terlihat seperti sosok yang mengintimidasi di matanya. Membayangkan dirinya menjadi istri pria berusia hampir dua kali lipat darinya membuatnya muak.
"Aku tidak peduli dengan alasan ayah dan ibu," lanjutnya sambil menahan napas, berusaha menenangkan gejolak emosinya. "Aku tidak bisa menerima pernikahan ini, apa pun yang terjadi."
Ibunya, yang tadinya masih bersikap tenang, mulai kehilangan kesabaran. "Sudah cukup, Angelina. Keputusan ini bukan untuk diperdebatkan. Samuel sudah membantu kita banyak sekali, dan inilah waktunya kita berterima kasih."
"Apa?! Jadi karena utang budi, aku harus mengorbankan masa depanku?" Angelina semakin tak percaya dengan apa yang ia dengar.
"Samuel pria yang bertanggung jawab dan setia. Dia telah menunggu lama untukmu. Kau harusnya merasa beruntung."
Kata-kata itu menghantam hati Angelina. Beruntung? Baginya, pernikahan ini terasa seperti hukuman, bukan sebuah berkah. Perasaan marah, kecewa, dan takut bercampur aduk dalam dirinya, menenggelamkannya dalam kebingungan yang tak berujung.
"Tidak! Aku tidak mau! Jika kalian masih memaksa ku, aku akan melarikan diri dari pernikahan!" ancam Angelina.
Ayahnya yang sedari tenang, tiba-tiba menyahut dengan nada tajam, "Jangan coba-coba, Angelina! Kau tahu konsekuensi yang harus kau hadapi jika berani melakukan hal bodoh seperti itu." Tatapan ayahnya berubah dingin dan tegas, sesuatu yang jarang sekali dilihatnya.
Angelina terdiam, hatinya berdegup kencang. Ancaman ayahnya membuat nyalinya sedikit ciut, tapi ia tak ingin menyerah begitu saja. "Kenapa kalian seperti ini?" tanyanya dengan suara serak, matanya berkaca-kaca. "Selama ini kalian selalu bilang aku bebas memilih jalan hidupku sendiri. Kenapa sekarang kalian memaksaku?"
Ibunya menatapnya dengan tatapan lelah namun tegas. "Karena ini bukan soal pilihan lagi, Angelina. Ini soal keluarga, soal masa depan. Kau mungkin tidak memahami sepenuhnya sekarang, tapi suatu hari kau akan mengerti."
"Bagaimana bisa aku mengerti sesuatu yang jelas-jelas menghancurkan hidupku?" jawabnya getir, suaranya terdengar putus asa. Angelina merasa seperti burung yang baru saja kehilangan sayapnya. Semua mimpinya seolah musnah di hadapan kenyataan yang begitu pahit.
"Samuel sudah menunggu lama, dan kami telah berjanji," ayahnya menegaskan sekali lagi. "Pernikahan ini akan tetap berlangsung, suka atau tidak."
Dengan hati yang terluka, Angelina hanya bisa menatap kedua orang tuanya tanpa daya, menyadari bahwa ia kini terperangkap dalam pernikahan yang tidak pernah diinginkannya.
"Kalian semua jahat!" lalu Angelina lari masuk ke dalam kamarnya dengan air mata yang mengalir deras di pipinya. Pintu kamarnya dibanting keras, dan ia langsung menjatuhkan diri di atas ranjang, tenggelam dalam tangis. Hatinya terasa remuk, kecewa, dan marah. Orang tua yang selama ini ia anggap sebagai pelindung, kini justru menghancurkan kepercayaannya dengan memaksanya menerima pernikahan yang tak diinginkannya.
Angelina menggenggam bantalnya erat, mencoba meredam isak tangisnya. Pikirannya berputar-putar, mencari cara untuk melarikan diri dari semua ini.
"Aku tidak bisa hidup seperti ini…." bisiknya sesenggukan.
Dalam keheningan kamar yang hanya dihiasi suara tangisnya, pikiran Angelina mulai dipenuhi rasa takut dan putus asa. Namun, di balik semua rasa sakit itu, ada tekad yang perlahan tumbuh dalam dirinya. Jika orang tuanya benar-benar ingin memaksanya, ia akan melakukan apa pun untuk melawan, bahkan jika itu berarti meninggalkan semua yang ia kenal.
Tanpa menyia-nyiakan waktu, Angelina langsung bangkit dari tempat tidur nya dan menuju lemari untuk mengemas beberapa pakaian secukupnya. Tangannya gemetar saat ia memasukkan baju dan barang-barang penting ke dalam tas kecil, pikirannya dipenuhi rencana untuk melarikan diri. Ia tahu ini bukan keputusan yang mudah, tapi ia tak punya pilihan lain. Jika tetap tinggal, ia akan terperangkap dalam pernikahan yang memaksanya menyerahkan mimpi dan masa depannya.
Angelina menatap cermin sekilas, melihat bayangan wajahnya yang basah oleh air mata. “Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus pergi,” bisiknya pada dirinya sendiri, mencoba memberi semangat.
Tanpa suara, ia menyelinap keluar dari kamarnya, berjalan di sepanjang koridor rumah yang terasa sunyi. Ia berharap tidak ada yang mendengar langkahnya, terutama kedua orang tuanya. Setiap detik berlalu dengan tegang saat ia semakin mendekati pintu depan, satu-satunya jalan menuju kebebasan. Di dalam hatinya, Angelina berjanji pada dirinya sendiri—ia akan bertarung demi hidupnya, walau harus sendirian.
Ketika ia berhasil membuka pintu depan, tiba-tiba ia tersentak mundur saat melihat didepannya — Samuel
Berdiri dengan tatapan tajam yang penuh keyakinan. Wajahnya yang dingin dan tegas tampak menilai setiap gerakan Angelina, seakan mengetahui niatnya sebelum ia sempat melangkah keluar.
"Kamu mau pergi ke mana, Angelina?" tanyanya dengan suara rendah namun penuh kendali, membuat tubuh Angelina langsung membeku di tempat.
Angelina menelan ludah, mencoba menahan gemetar di tubuhnya. "Bukan urusanmu, Samuel!" jawabnya, suaranya sedikit gemetar.
Samuel menggelengkan kepalanya sambil tersenyum tipis, seolah menyiratkan bahwa ia sudah menduga semuanya. "Kamu benar-benar berpikir bisa lari dari ini semua? Aku sudah menunggu terlalu lama untuk membiarkanmu pergi begitu saja, Angelina."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments