NovelToon NovelToon
Please! Don'T Be My Boyfriend

Please! Don'T Be My Boyfriend

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Cintapertama / Cintamanis / Teen Angst / Cinta pada Pandangan Pertama / Idola sekolah
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Adzalziaah

"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.

"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.

"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.

"Kita berdua?"

Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.

Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?

Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!

[update setiap hari 1-2 bab/hari]

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25 | Telepon dari Orang Tuaku

“Tapi saat aku bilang aku suka kamu, itu bukan candaan, Aura.” Kata-kata Ryan terus menggema di kepalaku, mengisi setiap ruang kosong pikiranku malam ini.

Aku memandangi langit-langit kamar, mencoba mengalihkan pikiran. Tapi mustahil. Bayangan wajah Ryan dan sorot matanya yang serius tadi siang terus membayangi. Dia tidak terlihat seperti Ryan yang biasanya selalu santai dan penuh canda. Dia sungguh-sungguh mengatakannya dan itu yang membuatku semakin gelisah.

Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Kenapa aku malah menolak seseorang yang tulus menyukaiku? Bukankah itu hal yang selama ini diimpikan banyak orang? Bukankah seharusnya aku merasa bahagia?

Aku menarik napas panjang, mencoba mengusir semua keributan dalam pikiranku. Kutarik selimut sampai menutupi tubuhku, berharap itu bisa menenangkan. Tapi tidak. Semuanya tetap sama. Tubuhku memang berbaring, tapi pikiranku terus berputar-putar tanpa arah.

Tring...

Suara ponselku berdering, memecah keheningan yang hampir membuatku gila. Aku mendongak, melirik layar ponsel yang tergeletak di meja belajar. Nama kedua orang tuaku terpampang di sana. Mereka melakukan panggilan video dari luar negeri, sesuatu yang akhir-akhir ini mereka lakukan lebih sering dari biasanya.

Aku menghela napas pelan, mencoba mengumpulkan energi untuk berbicara. Rasanya berat, apalagi dengan suasana hatiku yang sedang kacau seperti ini. Tapi aku tahu mereka pasti akan khawatir kalau aku tidak mengangkat panggilan ini.

“Halo...” sapaku akhirnya, berusaha terdengar ceria meski senyumnya pasti terlihat palsu di layar.

“Halo, putriku yang cantik!” Suara ibuku terdengar ceria seperti biasa, membuatku sedikit merasa bersalah karena tidak bisa menyamai energinya.

“Apa kabarmu, Nak?” tanya ayahku. Wajahnya muncul di layar, berdampingan dengan ibu.

Aku tersenyum kecil. “Aku baik-baik saja, Yah,” jawabku singkat.

“Apa kamu senang di sekolah?” tanya ibu, nada suaranya lembut. Tapi entah kenapa, aku merasa ada tekanan di balik pertanyaan itu.

Aku terdiam, mencoba mencari jawaban yang tepat. Senang? Aku bahkan tidak yakin dengan jawabanku sendiri.

Tapi untuk menghindari pembicaraan panjang, aku akhirnya hanya berkata, “Iya,” sambil tersenyum kecil.

Ibu dan ayah saling bertukar pandang sejenak sebelum akhirnya ibu berbicara lagi. “Aura, kami ingin mengatakan sesuatu.”

Nada suaranya berubah lebih serius, membuatku menegakkan punggung. Jantungku mulai berdetak lebih cepat.

“Ada apa, Bu?” tanyaku, mencoba terdengar santai.

“Kami sedang mempertimbangkan sesuatu,” ujar ibu sambil menggenggam tangan ayah. “Bagaimana kalau kamu ikut tinggal bersama kami di luar negeri?”

Dadaku serasa dihantam sesuatu yang berat. Aku tertegun, tidak siap dengan usulan itu. Tinggal bersama mereka? Di luar negeri?

“Aku...” Bibirku bergerak, tapi kata-katanya tersangkut di tenggorokan.

Ayah langsung menimpali, suaranya terdengar lebih santai. “Tidak apa-apa juga kalau kamu masih ingin tinggal di sana. Kami tahu pasti berat meninggalkan teman-temanmu.”

Teman-teman? Aku hampir tertawa mendengar itu. Teman-temanku? Aku bahkan nyaris tidak punya siapa pun di sini. Kalau pun ada, Ryan adalah satu-satunya orang yang mendekatiku lebih dulu. Tapi sekarang, aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi dengannya setelah kejadian tadi siang.

“Tidak perlu dijawab sekarang, Nak,” kata ibu, mungkin menyadari kebingunganku. “Kami hanya ingin tahu pendapatmu. Kamu bisa pikirkan dulu.”

Aku hanya mengangguk kecil. “Ah, Ibu, Ayah. Di sini sudah malam. Aku lelah, jadi aku mau istirahat sekarang,” kataku, mencari alasan untuk mengakhiri pembicaraan.

“Baiklah, sayang. Jangan lupa jaga kesehatan, ya,” ucap ibu lembut.

“Iya, Bu. Selamat malam,” jawabku singkat sebelum menekan tombol merah di layar ponsel.

Klik. Sambungan terputus, dan aku membiarkan diriku terhempas kembali ke kasur.

Kedua tanganku menutupi wajahku, mencoba menenangkan gejolak di dada. Tawaran mereka tadi masih terngiang-ngiang di kepalaku. Tinggal bersama mereka di luar negeri? Sungguh, itu bukan tawaran yang mudah kutolak. Orang lain mungkin akan langsung setuju, membayangkan hidup di negara yang lebih maju, memulai petualangan baru. Tapi untukku, semuanya tidak sesederhana itu.

Lalu ada Ryan. Bagaimana dengannya? Aku bahkan tidak tahu apa posisinya di hidupku saat ini. Dia jelas-jelas menyukaiku, tapi aku malah menolaknya. Kenapa? Apa karena aku takut menerima perasaannya? Atau karena aku takut dengan perubahan yang akan datang?

Tidak bisa! Aku terlalu takut untuk menerimanya. Aku ingat bagaimana aku mencoba tersenyum, meskipun di dalam hati aku merasa gugup. Aku mengerti perasaannya, tanpa kupikirkan lebih jauh.

Ryan tidak mengatakan apa-apa setelah itu. Dia hanya mengangguk pelan, senyum tipis yang hampir tidak terlihat terlukis di wajahnya.

Malam ini, aku hanya bisa berharap waktu akan membantuku menjernihkan pikiran. Tapi untuk sekarang, aku harus menerima kenyataan bahwa aku tidak akan bisa tidur nyenyak.

...»»——⍟——««...

Keesokan harinya, aku berjalan ke kelas seperti biasa. Udara pagi terasa segar, tapi entah kenapa hatiku masih terasa berat. Pikiran tentang Ryan dan tawaran orang tuaku terus berputar di kepalaku seperti kaset rusak yang tak bisa dihentikan. Anehnya, semua orang tidak menatapku dengan tajam seperti hari-hari yang kemarin.

Ketika aku sampai di ambang pintu kelas, mataku langsung tertuju pada sesuatu yang aneh. Ryan ada di sana, berdiri di dekat mejaku. Tangannya menggenggam erat sebuah kertas. Wajahnya tampak tegang.

Tidak, lebih dari itu. Dia terlihat marah. Sangat marah. Ada sesuatu dalam cara dia berdiri yang membuatku merasa tak nyaman. Seolah ada rahasia besar yang dia sembunyikan dan aku sedang berada di ambang untuk mengetahuinya.

Aku melangkah masuk, mendekatinya, dengan langkah yang sedikit ragu. “Ryan, kertas apa itu?” tanyaku dengan suara hati-hati.

Dia tampak tersentak, seolah baru sadar aku ada di sana. Cepat-cepat, dia mencoba menyembunyikan kertas itu di balik punggungnya, seolah melindungi sesuatu yang sangat penting.

“Bukan apa-apa,” jawabnya singkat.

Aku mengernyit, tak puas dengan jawabannya. "Tapi sepertinya tadi itu ada di atas mejaku," desakku, tidak bisa menahan rasa ingin tahuku.

Aku mencoba menengok ke belakang tubuhnya, penasaran dengan apa yang sebenarnya dia sembunyikan. Kenapa dia begitu gelisah? Apa yang dia sembunyikan dari aku?

“Aura, ini bukan urusanmu.” Ryan menatapku tajam.

Lalu tanpa menunggu responsku, dia berbalik dan berjalan keluar kelas dengan langkah cepat, hampir berlari. Aku terkejut, merasa ada sesuatu yang salah, tapi aku juga merasa aneh. Kenapa reaksinya bisa begitu? Biasanya Ryan tak pernah seperti ini.

Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja. Ada sesuatu yang salah, dan aku ingin tahu apa itu. Jika ini memang bukan urusanku, kenapa dia harus begitu gelisah? Kenapa harus ada rahasia yang disembunyikan dari aku?

Aku bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar masalah biasa. Aku tidak bisa membiarkan dirinya pergi begitu saja dengan membawa kertas itu menjauh dariku.

“Ryan! Tunggu!” Aku memanggilnya dengan sedikit terengah-engah, berusaha mengejarnya meski langkahnya lebih cepat dariku.

Tentu saja, aku tahu aku tak akan bisa mengejarnya lebih jauh jika dia benar-benar ingin pergi. Tapi ada rasa takut yang aneh di dadaku. Takut kehilangan kesempatan untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Takut bahwa dia akan menjauh lebih jauh dan aku tidak akan pernah bisa mendapatkan jawaban.

Dia tidak menoleh, seolah tidak mendengar suara panggilanku. Tanpa berpikir panjang, aku mempercepat langkahku, Dalam sekejap, aku berhasil meraih lengannya, menariknya perlahan. Dia berhenti sejenak, aku merebut kertas itu dari genggaman tangannya.

“Kertas apa ini?” tanyaku sembari membuka kertas itu dan membacanya.

...»»——⍟——««...

1
Cevineine
Semangat thorr, mampir2 yaa😁
Zanahhan226: Halo..
Aku membuat sebuah karya berjudul "TRUST ME" di MangaToon, mohon dukungannya ya!
total 1 replies
Anonymous
akhirnya yang ditunggu2
ADZAL ZIAH: iya ❤
total 1 replies
diann
kenapa novelnya selalu dimulai dari penolakan?
ADZAL ZIAH: he he he 😆
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!