Fure Love

Fure Love

Awalan

...••••...

Suara tawa anak-anak yang bersahutan menyambut pagi Narecha Ayuningtyas begitu membuka matanya setelah terlelap dengan nyamannya. 

Meregangkan badannya, Echa menilik sinar matahari yang menyembul malu-malu dari sebuah ventilasi yang ukurannya begitu kecil tapi cukup untuk menyalurkan udara agar keadaan kamar sempit berukuran dua petak itu tetap nyaman untuk ditempati.

Lalu suara-suara tawa itu berubah menjadi panggilan terhadap namanya membuat Echa beranjak dari kasur tipisnya guna menyambut paginya seperti biasa.

Mengambil ikat rambut yang tergelak diatas meja meja kecil samping kasurnya, Echa mengumpulkan rambut hitam legam panjangnya menjadi satu dan mengikatnya tinggi-tinggi. Ke kamar mandi sebentar untuk membasuh wajahnya dari jejak-jejak tidur yang tertinggal.

Begitu membuka pintu kayu penghalang rumah yang mulai usang, Echa mendapati sepuluh anak-anak yang mengerumuni rumah sempitnya dengan antusias di wajah yang begitu kentara membuat perasaan Echa menghangat begitu melihatnya.

"Ada apa hm, bukannya ibu udah bilang kalau hari ini sekolahnya libur." Echa mendudukkan dirinya diantara anak-anak membuat posisinya menjadi di kerumuni.

"Memang tidak ibu, kami hanya ingin ibu ikut kami ke bukit sana." Alex, seorang anak berusia delapan tahun yang berdiri di depan Echa berbicara dengan logat khasnya.

"Memangnya apa yang hendak kalian lihat kan pada ibu hm?"Echa menatap anak-anak satu persatu dengan dalam.

Echa harus menyimpan pemandangan-pemandangan yang lima tahun terakhir selalu menemaninya dalam hati juga pikirannya. Satu minggu ke depan Echa tidak akan melihat lagi keceriaan, candaan, juga kehangatan anak-anak yang tidak ada habisnya.

"Lebih baik ibu ikut kami saja, nanti lihat kejutan yang telah kami siapkan."

Echa berdiri, "Baik-baik, tunggu sebentar ibu ingin minum dulu,"

Setelah memastikan pintu rumah terkunci dengan rapat, Echa mengikuti langkah anak-anak yang membimbingnya menuju bukit yang berada tidak jauh dari belakang rumahnya.

Sebuah bukit yang sering kali menjadi tempat Echa menyendiri menikmati suasana yang menyajikan pemandangan yang begitu indahnya dikala pikirannya tengah berkecamuk.

Begitu sampai di kaki bukit, tiba-tiba saja anak-anak memasangkan sebuah mahkota yang terbuat dari tanaman rambat yang dihiasi dengan bunga-bunga yang cantik membuat senyum Echa semakin merekah.

"Kalian benar-benar menyiapkan kejutan yang tidak akan pernah ibu lupakan." Lagi-lagi Echa memandang anak-anak dengan penuh haru.

"Tentu ibu, kami harus memberikan kesan yang baik dalam perpisahan ini." Meta menggandeng tangan Echa agar meneruskan perjalanan.

"Kalian membuat ibu tidak ingin berpisah." Echa mengelus kepala Meta dengan lembut.

"Kami pun tidak mau ibu pulang, hanya saja ibu pasti memiliki kehidupan yang harus ibu jalani di kota sana." Perkataan Meta membuat Echa takjub pada gadis yang masih berusia delapan tahun itu.

"Meta, boleh ibu peluk?" suara Echa yang bergetar membuat Meta mengeratkan genggaman tangannya.

"Tentu dengan senang hati Meta akan lakukan, hanya saja ibu tidak boleh menangis hari ini, banyak kejutan yang telah kami siapkan untuk ibu." Meta tersenyum dengan lebar seraya menatap wajah Echa yang kini menangis terharu.

Bagaimana bisa Echa akan melupakan tempat ini. Sebuah kampung kecil yang berada di pedalaman Indonesia bagian timur, tempat dimana Echa melarikan diri dari kehidupannya di ibukota sana.

Tempat yang menerima kedatangan Echa dengan tangan terbuka tanpa pandangan menghakimi yang biasa dia dapatkan sebelumnya.

Lagi, Echa terperangah ketika tidak jauh didepannya, dibawa sebuah pohon besar terdapat wanita-wanita kampung yang menyambutnya dengan nyanyian dan tarian khas pulau ini.

Sungguh, Echa benar-benar terharu melihat orang-orang yang begitu senang akan kehadirannya. Hanya lima tahun tapi cukup membuat Echa merasa jika dirinya menjadi bagian dari mereka layaknya keluarga.

Merida, wanita yang paling dihormati dikampung ini mengulurkan kedua tangannya pada Echa untuk mengikuti tarian yang tengah dilakukan.

Echa dibawa ke tengah-tengah dan kerumunan orang-orang mengelilinginya dengan nyanyian yang terus bersenandung tiada hentinya.

Wajah-wajah penuh senyuman membuat Echa tidak bisa untuk ikut bersenandung dan menari bersama.

Di kampung ini Echa diperlakukan layaknya seorang putri. Tidak pernah sekalipun Echa kekurangan selama disini. Menjadi satu-satunya guru yang berada dikampung yang terletak di pedalaman membuat Echa mendapatkan pengalaman yang begitu berharga.

Meskipun Echa meninggalkan kehidupannya yang sebelumnya penuh dengan gelimangan harta, tidak membuat Echa menyesal melakukannya.

"Ayo kita makan dulu ibu," tarian dan nyanyian telah selesai.

Merida menuntun Echa untuk duduk diatas tikar yang terbuat dari bambu dengan diatasnya sudah tersedia banyak jenis makanan yang terlihat begitu nikmat.

"Bibi Merida, aku benar-benar ingin mengatakan rasa terima kasih ku yang begitu dalam dengan kejutan yang kalian lakukan."

Echa menggenggam tangan hangat Merida dengan senyuman diwajahnya.

Merida membalas genggaman Echa dengan satu tangan mengelus pundak wanita muda itu. Meremasnya perlahan untuk menyalurkan rasa suka cita yang dirasakan.

"Ibu, jangan berkata seperti. Seharusnya kami lah yang berkata terima kasih karena bersedia mengajarkan anak-anak disini dengan bekal bekal ilmu yang begitu berharganya untuk kami,

Kami tahu, sebelumnya pasti ibu sulit untuk beradaptasi dengan tempat yang jauh dari mana-mana ini. Tapi, ibu berhasil melakukannya. Bibi berharap ibu tetap bahagia dimana pun tempat ibu berada,

Dimasa depan nanti, jika ibu ingin datang kesini kami akan menyambut ibu dengan tangan yang terbuka." Ujar Merida dengan panjangnya membuat tangis Echa tergugu.

Sungguh, Echa semakin tidak rela meninggalkan kampung yang berhasil membuatnya merasakan arti keluarga. Tapi, sudah waktunya dia untuk pulang, Echa tidak bisa lagi menetap meskipun sekuat apapun keinginannya.

"Bibi,"

Echa dibawa kedalam pelukan hangat Merida membuat wanita itu menumpahkan tangisnya dengan membalas pelukan wanita dewasa itu tak kalah eratnya.

"Sudah-sudah, ini hari bahagia untukmu, jangan ada lagi tangis di wajah cantikmu ini." Merida melepaskan pelukannya dan menyeka air mata di pipi Echa dengan kedua tangannya yang sudah keriput.

Echa menganggukkan kepalanya, "Maaf bibi, Echa hanya terharu dengan semua yang telah kalian siapkan."

"Nah, bibi sudah beberapa kali bilang pada kau, jangan terlalu banyak mengatakan kata maaf apalagi jika kau tidak melakukan kesalahan."

Echa meringis, jika Merida tidak memanggil ibu padanya berarti wanita tua itu tidak ingin perkataannya dibantah.

"Baik bibi."

Selanjutnya, acara makan-makan dimulai. Hampir semua warga kampung yang jumlahnya tidak mencapai seratus orang itu berkumpul di bukit untuk ikut merayakan perpisahan wanita muda itu.

Setelah acara makan selesai, kini giliran para warga-warga untuk bercerita dan anak-anak melakukan berbagai permainan khas yang membuat Echa ikut melakukannya.

Sungguh, momen-momen terakhir ini tidak akan pernah Echa lupakan seumur hidupnya. Sayang sekali Echa tidak bisa mengabdikannya dalam kamera dan ponsel yang dia bawa.

Kedua benda itu sudah tidak pernah Echa sentuh lagi setelah kehabisan dayanya. Tidak ada listrik di kampung ini.

Beberapa kali warga ada yang menawarkan agar Echa pergi ke luar pulau untuk mengisi daya ponsel dan kameranya tapi wanita itu menolaknya.

Hingga matahari mulai meninggalkan peraduannya, Echa menikmati detik-detik terakhirnya dengan perasaan yang luar biasa bahagia.

Echa harus siap meninggalkan kebahagiaan ini dengan tidak rela. Echa harus siap kembali pada kehidupannya yang penuh dengan penderitaan.

...••••...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!