Andai hanya KDRT dan sederet teror yang Mendung dapatkan setelah menolak rencana pernikahan Andika sang suami dan Yanti sang bos, Mendung masih bisa terima. Mendung bahkan tak segan menikahkan keduanya, asal Pelangi—putri semata wayang Mendung, tak diusik.
Masalahnya, tak lama setelah mengamuk Yanti karena tak terima Mendung disakiti, Pelangi justru dijebloskan ke penjara oleh Yanti atas persetujuan Andika. Padahal, selama enam tahun terakhir ketika Andika mengalami stroke, hanya Mendung dan Pelangi yang sudi mengurus sekaligus membiayai. Fatalnya, ketidakadilan yang harus ia dan bundanya dapatkan, membuat Pelangi menjadi ODGJ.
Ketika mati nyaris menjadi pilihan Mendung, Salman—selaku pria dari masa lalunya yang kini sangat sukses, datang. Selain membantu, Salman yang memperlakukan Mendung layaknya ratu, juga mengajak Mendung melanjutkan kisah mereka yang sempat kandas di masa lalu, meski kini mereka sama-sama lansia.
Masalahnya, Salman masih memiliki istri bahkan anak...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bukan Emak-Emak Biasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tujuh
Sesuai kesepakatan, Pelangi baru akan dikeluarkan dari penjara, setelah Yanti dan Andika menikah. Keduanya akan menjalani resepsi pernikahan mewah di rumah Yanti, agar Mendung repot bantu-bantu dan pastinya ditonton semua tamu. Selain itu, Mendung juga dilarang bercerai dari Andika.
***
“Ibu Mendung ... sanggup?” tanya pak Kades ketika mendapat laporan secara langsung dari Mendung, di kantor desa.
Mendung yang sudah tampil jauh lebih rapi meski masih sangat sederhana, mengangguk-angguk. “Hanya ini yang bisa saya lakukan, Pak Kades. Ibaratnya, ... ini menjadi satu-satunya cara agar Pelangi bebas. Karena andai ikut melewati persidangan, tetap saja yang tidak punya uang yang dikalahkan.”
“Fuuuh ....” Pak Kades mengembuskan napas berat melalui mulut. Iba sungguh ia rasakan atas musibah yang menimpa warganya. Yang membuatnya tak habis pikir, apakah Andika tetap tidak ada peran membebaskan Pelangi?
“Apakah pak Andika tidak bisa melakukan sesuatu yang bisa membuat Pelangi bebas, tanpa harus membuat ibu Mendung menjadi pembantu Yanti, seumur hidup ibu Mendung?” Pak Kades menatap saksama kedua mata Mendung. Seiring pertanyaan yang ia layangkan, detik itu juga kedua mata ibu Mendung kembali sayu diliputi banyak beban. Hanya melihat itu saja ia langsung paham, bahwa pria yang Pelangi sebut ayah itu memang tidak bisa diandalkan.
“Saya tidak akan pernah berharap kepadanya lagi, Pak. Bahkan meski dunia ini kiamat, sepertinya dia tetap tidak akan pernah menyadari kesalahannya. Saya sudah menyerahkan semuanya ke Allah. Biar Allah yang balas.” Senyum kecut Mendung suguhkan sebagai wujud dari rasa kecewanya. Ia berkaca-kaca menatap pak Kades yang sampai detik ini masih menatapnya iba.
“Selain itu, kedatangan saya ke sini juga untuk meminta perjanjian resmi dengan si Yanti, Pak. Agar sewaktu-waktu Yanti ingkar dari janjinya, saya bisa menuntut!” ucap Mendung dan langsung disetujui oleh pak Kades.
“Harus itu, Ibu Mendung. Harus! Karena aroma ingkar dari ibu Yanti, sudah terendus kuat. Apalagi jika melihat caranya bersikap, ... kita harus pintar-pintar atur strategi!” ucap pak Kades.
Beres mengurus keperluan di kantor desa, Mendung juga memboyong sang kades ikut dengannya. Mereka ke rumah Yanti untuk mengurus surat perjanjian yang dilegalisasi secara langsung oleh pak Kades. Beberapa perangkat desa juga turut hadir.
“Apaan sih? Dikit-dikit rame, dikit-dikit boyong pasukan!” kecam Yanti dengan suara lirih, meski sebenarnya, ia sudah sangat geregetan kepada Mendung.
Mendung masih tetap tenang, meski sebenarnya ia juga tak kalah geregetan. Apalagi jika melihat sang suami yang selalu menjadi satelit Yanti. Tentunya, Mendung paham kenapa itu sampai terjadi. Karena Yanti dengan uang dan kuasanya, membuat Andika rela melakukan apa pun asal suaminya itu mendapatkan pundi-pundi penghasilan. Masalahnya, bukan Mendung apalagi Pelangi yang akan menikmati hasil pundi-pundi Andika. Melainkan keluarga Andika yang ketika Andika menjadi mayat hidup, tak sedikit pun dari mereka yang peduli.
Kebersamaan di depan gerbang rumah Yanti, terjadi dengan sangat tidak nyaman. Yanti yang berdalih sedang sangat sibuk, tak mengizinkan rombongan Mendung masuk ke dalam rumahnya. Menandatangani surat perjanjian saja, Yanti melakukannya dengan enggan.
“Itu surat sudah aku tanda tangani. Cepat masuk dan beres-beres di dalam!” hardik Yanti kepada Mendung.
Selain kompak menghela napas pelan sekaligus dalam, pak Kades dan rombongan, juga refleks geleng-geleng pada kelakuan Yanti.
“Hari ini saya akan mengurus Pelangi dulu,” ucap Mendung mendadak ragu memanggil Yanti dengan sebutan apa.
“Panggil aku nyonya! Gitu saja enggak ngerti. Ketahuan banget enggak pernah makan bangku sekolahan!” sergah Yanti yang lagi-lagi menghardik Mendung.
Alih-alih jadi terhormat dan membuat mereka yang menyaksikan segan. Ulah Yanti malah membuat mereka makin muak.
“Boleh saya mulai kerjanya besok saja, Nyo-nya? Saya ingin menjenguk Pelangi dulu. Saya—”
“Kenapa malah kamu yang ngatur? Di sini saya yang bos kamu! Cepat masuk!” Selain sampai berteriak, kedua mata tajam Yanti juga seolah nyaris loncat kemudian mengobrak-abrik Mendung yang menjadi alasannya murka.
Karena iba kepada Mendung dan Pelangi, ditambah lagi Andika tetap tak peduli. Aparat desa di sana sengaja mengambil alih kunjungan Mendung ke Pelangi.
“Saya ingin masak juga buat Pelangi, Bapak-Bapak. Takutnya Pelangi belum makan!” Mendung benar-benar memelas. Demi Pelangi yang ia khawatirkan makin ketakutan karena masih ditahan, ia sungguh akan melakukan segala cara. Termasuk itu mengorbankan nyawanya.
“Urusan itu, biar kami yang urus, Ibu Mendung. Kami paham, suami Ibu Mendung sudah MATI, hingga Kami juga akan berusaha melakukan yang terbaik untuk Pelangi. Ibu Mendung tidak usah takut. Karena Meski otak Ibu Mendung sudah jadi taaai, kami akan selalu memperjuangkan nasib Ibu Mendung dan juga nasib Pelangi!” tegas pak Kades mewakili aparat desa yang ada di sana.
Tak beda dengan Yanti yang cuek pada tanggapan nyelekit pak Kades, Andika juga masa bodo. Andika sudah terbiasa disindir bahkan dihina hanya untuk mendapatkan tujuannya.
***
Satu minggu berselang, Mendung masih menjadi kacung di kediaman Yanti. Selama itu juga, Mendung hanya disuruh bekerja dan melakukan semua perintah Yanti. Termasuk itu, duduk berlutut di lantai dan menyaksikan Yanti bercum bu mesra dengan Andika di sofa. Yanti dan Andika terus pamer kemesraan, padahal keduanya belum terikat dalam pernikahan.
Yanti pikir, Mendung akan cemburu. Mendung akan gi la karena caranya melukai mental istri sah pria yang ia cintai. Padahal, satu-satunya yang Mendung pikirkan hanya Pelangi, Pelangi, dan kewarasan putrinya itu. Sebab selama itu juga, Mendung belum diberi waktu untuk menemui Pelangi oleh Yanti.
“Jangan lupa makan,” ucap Andika ketika Mendung sedang mencuci gerabah di wastafel. Ia memberikan sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk. Namun, jangankan menerima, melirik saja tidak.
“Cepat habiskan. Sebelum Yanti tahu!” sergah Andika masih berbisik-bisik. Sesekali, ia melirik ke arah pintu, memastikan Yanti tak datang. Karena andai sampai datang, yang terjadi tentu seperti yang baru saja ia katakan.
“Lebih baik aku mati kelaparan, daripada makan makanan pemberian pria zalim sepertimu!” ucap Mendung tetap tak sedikit pun melirik Andika.
“Stttt, ... kamu ya! Terserah lah!” kecam Andika.
Andika sengaja membiarkan makanan yang ia siapkan secara khusus untuk Mendung, di dekat wastafel Mendung mencuci gerabah. Meski tentu saja, ia menyiapkan itu tanpa sepengetahuan Yanti. Bisa kacau kalau Yanti tahu. Bisa-bisa ia dan Mendung sama-sama diamuk. Sempat berpikir Mendung akan memakannya asal ia meninggalkannya karena istri pertamanya itu terlalu gengsi. Nyatanya dugaan Andika salah. Sebab Mendung lebih memilih berdzikir tanpa memakan makanan pemberiannya. Meski Andika yakin, bahwa sebenarnya Mendung sudah sangat kelaparan