Leo XII, Raja Kejahatan Dunia, adalah sosok yang ditakuti oleh banyak orang, seorang penguasa yang mengukir kekuasaan dengan darah dan teror. Namun, ironisnya, kematiannya sama sekali tidak sesuai dengan keagungan namanya. Baginya, itu adalah akhir yang memalukan.
Mati karena murka para dewa? Sungguh lelucon tragis, namun itulah yang terjadi. Dalam detik-detik terakhirnya, dengan sisa kekuatannya, Leo XII berusaha melawan takdir. Usahanya memang berhasil—ia selamat dari kematian absolut. Tapi harga yang harus dibayarnya mahal: Leo XII tetap mati, dalam arti tertentu.
Kini ia terlahir kembali sebagai Leon Dominique, dengan tubuh baru dan kehidupan baru. Tapi apakah jiwa sang Raja Kejahatan akan berubah? Akankah Leon Dominique menjadi sosok yang lebih baik, atau malah menjelma menjadi ancaman yang lebih mengerikan?
Satu hal yang pasti, kisahnya baru saja dimulai kembali!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Leo Atau Leon
Leon berjalan mendekat ke arah Fiona, langkahnya tenang seperti biasa. Fiona berdiri menyambutnya, menatap pria itu dengan pandangan penasaran. "Apakah kamu ingin menonton grup selanjutnya?" tanyanya, nada suaranya ringan namun penuh arti.
Leon melirik sekilas ke arah arena, lalu mendengus kecil. "Tidak. Aku tidak tertarik. Mari kita kembali," jawabnya datar.
Fiona mengangguk tanpa banyak bicara. Bersama-sama, mereka meninggalkan arena menuju hotel tempat mereka menginap.
Malam hari di kamar, Fiona berbaring di tempat tidur, matanya tertuju pada Leon yang duduk di samping jendela. Dari sana, Leon memandang keramaian kota di bawah, gemerlap lampu yang memenuhi jalanan menambah kesan dramatis pada keheningan di antara mereka.
Fiona tersenyum tipis, memecah keheningan. "Aku baru mendengar sesuatu yang menarik. Apakah itu benar?" tanyanya.
Leon meliriknya sekilas. "Bagian yang mana?" ia balik bertanya.
"Tentang Raja Kejahatan Dunia," jawab Fiona santai, matanya masih terpaku pada Leon.
Leon menarik napas, tatapannya kembali pada kota di luar. "Itu benar," katanya ringan. "Tapi Leon Dominique bukanlah Raja tersebut."
Fiona mengangguk pelan, seolah sudah menduga jawabannya. "Semua orang tahu itu. Raja Kejahatan Dunia adalah Leo XII, satu-satunya orang yang menyandang gelar itu. Namun, kamu mengaku sebagai dia. Bukankah itu terlalu berbahaya? Apakah kamu tidak takut mati?" godanya, suaranya mengandung nada menggoda yang samar.
Leon terkekeh kecil. Dia menatap Fiona, kali ini dengan ekspresi yang sedikit lebih serius. "Takut mati? Kenapa aku harus takut?" tanyanya balik.
"Kamu mengaku sebagai Raja Kejahatan Dunia di hadapan banyak orang, sementara Leo XII sudah mati. Bagaimana kamu menjelaskan itu?" desak Fiona.
Leon tersenyum kecil, tangannya menyentuh kaca jendela, memandangi refleksinya. "Aku membagi jiwaku sendiri. Sesederhana itu. Bagian dari jiwa itu kini berada dalam tubuh ini," jelasnya.
Fiona menyipitkan matanya, mencoba mencerna kata-katanya. "Lalu, apakah kamu Leon Dominique atau Leo XII?" tanyanya dengan nada tajam.
Leon terdiam sejenak, matanya kembali pada Fiona, terlihat sedikit terkejut oleh pertanyaan itu. "Menurutmu yang mana?" ia menantang balik.
Fiona tersenyum tipis, menutup matanya sejenak. "Yang aku tahu, kamu adalah Leon," jawabnya akhirnya.
Leon mengangguk, senyum samar muncul di wajahnya. "Maka anggap saja begitu," katanya.
Fiona menghela napas, memiringkan kepalanya, ekspresinya berubah serius. "Leon, apa alasanmu mendeklarasikan dirimu seperti itu di depan umum? Kamu tahu Leo XIII akan mendengarnya, dan itu hanya akan membuatmu menjadi targetnya," ujarnya tegas.
Senyuman Leon melebar, terlihat lebih ganas. "Memang itu yang aku inginkan. Leo XIII? Aku bahkan tidak mengenalnya," jawabnya dengan nada penuh ketidakpedulian.
Fiona menaikkan alisnya. "Tidak mengenal? Bukankah dia keturunan langsung Leo XII? Jika kamu benar-benar Leo XII, seharusnya kamu mengenal anakmu sendiri," balas Fiona, nadanya penuh skeptisisme.
Leon terdiam sejenak, lalu menatap telapak tangannya. "Aku memang memiliki hubungan dengan beberapa wanita di masa lalu. Namun, aku tidak pernah menginginkan keturunan. Aku memastikan hal itu sendiri. Jadi, aku mati tanpa meninggalkan darah dagingku. Leo XIII bukan keturunanku," jelasnya, suaranya tenang namun penuh keyakinan.
Fiona menatapnya dengan ekspresi tak terbaca, kemudian menarik selimutnya. "Baiklah. Aku tidak ingin memusingkan soal itu. Selamat malam, Leon," katanya sambil memejamkan mata, meninggalkan Leon dalam keheningan.
Leon tidak menjawab. Ia hanya menatap kota yang tetap ramai di bawah sinar bulan. Senyumnya perlahan memudar, tergantikan oleh tatapan dingin yang tak bisa ditebak. Dalam hati, dia tahu bahwa deklarasinya telah menyalakan api baru. Dan seperti Raja Kejahatan Dunia yang dulu, dia akan menghadapi siapa pun yang berani melawannya.
.
.
.
Di sebuah gang sempit yang remang-remang di tengah kota, seorang pria berdiri di bawah sinar bulan, tubuhnya berlumuran darah. Senyuman lebar di wajahnya menambah aura mengerikan yang menyelimuti suasana malam. Darah yang mengalir di bibirnya ia jilat perlahan, seolah menikmati rasa yang tak semua orang mampu pahami.
"Leon Dominique..." gumamnya, suaranya pelan namun terdengar jelas di tengah keheningan. "Tak salah lagi, dia adalah Tuanku. Meski namanya berubah, auranya tetap tak tertandingi."
Di hadapannya, sekelompok orang berjubah hitam berdiri. Aura pekat yang mereka miliki seolah berusaha menelan gang itu, namun pria muda itu hanya menatap mereka dengan santai, tanpa sedikit pun rasa gentar.
Pria tersebut tampak seperti remaja, namun yang paling mencolok dari penampilannya adalah mata kirinya. Pupilnya berbentuk angka Romawi III, memancarkan cahaya redup yang misterius.
Senyuman tipis menghiasi wajahnya saat ia berbicara kepada kelompok berjubah itu. "Apa kalian gemetar sekarang? Kebangkitan Tuanku, ya... itu memang di luar dugaan. Aku bahkan sempat ragu apakah dunia ini cukup kuat untuk menyaksikannya lagi." Ia mengangkat bahu dengan sikap acuh. "Tapi, aku tak akan membiarkan kalian mengusiknya. Tidak ada yang boleh mengganggu kehidupan baru Tuanku."
Seketika, aura pria itu menguat, menyelimuti gang dengan hawa mematikan. Darah yang tergenang di tanah mulai bergerak, berkumpul di sekitarnya. Dengan gerakan tangannya, darah itu membentuk puluhan tombak tajam, masing-masing diarahkan kepada lawan-lawannya.
"Baiklah," katanya dengan nada penuh semangat, "mari kita lihat seberapa hebat kalian di zaman ini."
Dengan satu gerakan, tombak-tombak darah itu melesat cepat. Jeritan menggema, beberapa musuh langsung terkapar tak bernyawa, sementara yang lebih kuat maju menerjangnya.
Pria itu hanya tersenyum, mengangkat tangannya untuk menangkis serangan tanpa kesulitan. Dalam satu gerakan cepat, ia mencabut pedang dari pinggangnya dan menebas lawannya. Tebasannya presisi, seperti tarian maut yang terlatih sempurna.
Di gang sempit itu, suara jeritan dan tubuh yang terjatuh terdengar seperti simfoni mematikan. Pria itu tertawa kecil, suaranya seperti gema iblis yang bangkit dari kedalaman neraka. "Ah... sudah lama aku tak merasa hidup seperti ini," katanya, menikmati pemandangan sekitarnya. "Membunuh beberapa parasit demi Tuanku... sungguh nostalgia yang indah. Mengingatkanku pada masa-masa kejayaannya. Bahkan bagi pria sepertiku, dia terlalu luar biasa."
Ia mendongak, menatap bulan yang menggantung di langit. Matanya berbinar penuh kegembiraan yang aneh, tak sesuai dengan darah yang menggenang di sekitarnya.
Ketika semua musuhnya telah terkapar tak bernyawa, ia menyimpan kembali pedangnya. "Baiklah, waktunya bertemu dengan Tuanku. Tapi sebelum itu..." katanya sambil menatap tubuh-tubuh tak bernyawa di tanah, "masih ada beberapa serangga yang harus dibasmi agar takhta miliknya tetap bersih."
Dalam sekejap, pria itu menghilang, meninggalkan gang yang kini hanya berisi aroma kematian. Tidak ada jejak, hanya bayangan dari pembantaian yang baru saja terjadi.