Novel ini terinspirasi dari novel lain, namun di kemas dalam versi berbeda. Bocil di larang ikut nimbrung, bijaklah dalam memilih bacaan, dan semua percakapan di pilih untuk kata yang tidak baku
-Entah dorongan dari mana, Dinar berani menempelkan bibirnya pada mertuanya, Dinar mencoba mencium, berharap Mertuanya membalas. Namun, Mertuanya malah menarik diri.
"Kali ini aja, bantu Dinar, Pak."
"Tapi kamu tau kan apa konsekuensinya?"
"Ya, Saya tau." Sahutnya asal, otaknya tidak dapat berfikir jernih.
"Dan itu artinya kamu nggak boleh berenti lepas apa yang udah kamu mulai," kata Pak Arga dengan tegas.
Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon An, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Dinar segera mengaduk kopi milik suaminya, lalu pergi dari dapur meninggalkan Pak Arga yang masih menyeduh kopinya.
Di luar, Vano masih terlihat sibuk, pria itu masih saja sibuk dengan berita-berita tertulis yang terdapat di korannya. Dinar meletakan kopi di atas meja. Lalu, duduk di sisinya.
"Mas ini kopinya. Silahkan diminum, mumpung masih anget mas."
Vano melipat korannya kemudian tersenyum manis. "Terimakasih Nara."
Vano perlahan-lahan menyeduh kopi hangatnya. Dinar hanya diam memperhatikan pergerakan suaminya tersebut.
Vano ini memang sangat tampan, dan manis. Gosip perempuan di desa sangat valid sekali sesuai dengan perawakannya. Terlebih, suaminya ini masih muda, namun sangat pekerja keras.
Mungkin Dinar salah satu wanita beruntung bisa dipinang olehnya. Kalau diingat kembali, meski mereka berada di desa. Namun, di desa mereka, sangat banyak memiliki wanita muda yang lebih cantik dibandingkan Dinar.
Bahkan sampai detik ini, Dinar merasa kecil di bandingkan dengan perempuan-perempuan yang lebih cantik seusianya di desa itu.
Desa itu juga merupakan desa yang para penduduknya terbilang sedikit maju ekonominya, walaupun memang ada beberapa rakyat yang masih kesulitan mencari nafkah, contohnya seperti ekonomi keluarga Dinar yang terbilang sedikit susah.
"Nara, kayaknya Mas besok bakal pergi ke luar kota."
Dinar tertegun, sesaat ia diam. Dinar tidak bisa mengatakan apapun. Pernikahan mereka belum ada sebulan, tapi suaminya akan pergi ke luar kota meninggalkannya.
"Apa Mas harus berangkat? Maksud Nara, pernikahan kita masih seumur jagung. Apa kata warga desa nanti, kalau baru menikah Nara udah ditinggal Mas Vano jauh."
"Ya gimana lagi. Pekerjaan saya kayak gini, Ra. Saya usahakan untuk cepat pulang Ra. Mungkin paling lambat seminggu saya udah balik." Dinar menatap Vano sedih.
"Kapan perginya Mas?" Tanya Dinar kembali.
"Besok. Kamu bisa ngebantu Mas berkemas hari ini kan?"
Dinar menganggukkan kepalanya. Rela tidak rela, mau tidak mau, Dinar harus merelakan suaminya pergi. Meski belum ada cinta di antara mereka, namun Dinar mulai merasa nyaman dengan suaminya.
Seharusnya masa-masa pengantin baru ini, masih sangat panas-panasnya. Selalu nempel, tidak mau lepas satu sama lain. Tapi ya mau bagaimana lagi, ini konsekuensi sebagai istri dari Evano satya wijaya.
Vano sejak tadi mengamati gestur tubuh istrinya itu. Kemudian ia meletakan gelas kopinya, dan meraih tangan Dinar, menggenggamnya erat.
"Kalau Mas bisa ngajak kamu, Mas akan milih ngebawa kamu ikut sama Mas, Nara. Tapi sayangnya nggak bisa. Pekerjaan yang Mas lakuin terbilang berat, Kamu bisa nunggu saya untuk pulang?"
"Nara akan nunggu Mas Vano. Yaudah, Nara nanti bantu Mas buat berkemas. Segeralah pulang ya," Jawabnya dengan senyum tulus.
Vano tersenyum. Dia mengelus puncak kepala istrinya. "Iya sayang, Mas pasti cepat pulang. Lagian, saat Mas nggak ada, di sini kan ada Bapak dan juga Arin. Mereka pasti nemani kamu, seenggaknya kamu gak akan kesepian walaupun tanpa Mas di sini."
Arin adalah adik Vano. Arin memiliki umur yang tak jauh berbeda dari Dinar. Hanya selisih satu setengah tahun lebih muda dari Dinar. Dia adalah anak bungsu Pak Arga. Karena seperti sebaya, kadang Arin dan Dinar terlihat seperti teman, dibandingkan seperti ipar.
"Iyaa Mas. Mas gak usah khawatir. Aku bisa menjaga diri. Mas juga jaga diri kalau pergi, harus pulang dengan selamat tanpa kekurangan apapun.”
"Mas janji." Balas Vano seraya tersenyum simpul.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Netra Dinar menatap manik hitam pekat milik suaminya. Tangannya tidak lepas, masih tergenggam di tangan kekar milik Vano. Rasanya Dinar tidak ingin melepas genggaman, tidak merelakan suaminya untuk pergi.
"Cepat pulang, Mas. Dinar menunggu Mas."
"Siap, Tuan Putri... Istri Mas, Mas akan pulang segera. Kamu jaga diri selama Mas gak ada. Jaga kesehatan jangan telat makan, dan jangan terlalu kelelahan membereskan rumah."
Dinar mengangguk mendengar nasihat suaminya kemudian berkata, "Iya Mas."
Vano mendekati Dinar. Dia membawa Dinar ke dalam dekapannya, mengecup puncak kepala istrinya, menghirupnya dengan cukup lama.
"Ehem.... Ehemm... Adiknya dilupain!" kata Arin mengintrupsi ke-dua insan tersebut.
Pelukan keduanya terlerai. Vano menatap ke arah Arin, lalu terkekeh.
"Biarin lah namanya juga udah menikah, udah sah. Makanya kamu belajar yang benar, supaya cepat lulus dan cepat nikah."
"Iya deh iya...pengantin baru gitu loh. Terus aja pamer sama Arin nih hmm..."
"Selama Mas pergi, tolong perhati'in dan jaga istri Mas. Kamu jangan ngebantah sama apa yang istri Mas bilang ya dek. Dibantu mbak iparmu ngebersihkan rumah, mengerti Rin?"
"Iya Mas. Gak usah khawatir deh, aman... Arin juga udah dewasa. Arin gak akan menjadi beban kok, santai aja kali."
"Yaudah kalau gitu. Mas, berangkat dulu, Nara. Rin."
"Hati-hati Mas," pesan Dinar, kemudian suaminya pergi menjauh.
Dari kejauhan, tangan Dinar melambai, mengantar kepergian suaminya. Dia menyeret kopernya masuk semakin menjauh dari pandangan Dinar. Senyum Dinar memudar, mungkin Dinar akan terbiasa merindu.
Arin melirik kaka iparnya. Dia menyenggol bahu Dinar, "Udah tenang mbak, selama Mas gak ada, biar Arin yang temani, okey."
Dinar kemudian menoleh tersenyum kepada adik ipar perempuannya itu, "Iya Rin, terimakasih."
"Mungkin Mbak harus terbiasa sama pekerjaan Mas Vano, Ya karna tau sendiri deh mbak, kalau Mas udah kayak bang toyib..." candanya.
"Mungkin Rin hehe... Mbak akan membiasakan diri."
"Yaudah, ayo lebih baik kita cari makan aja deh Mbak. Arin laper nih, tau..." keluhnya pada Dinar.
"Kamu mau makan apa Rin?"
"Terserah deh Mbak. Arin enggak pilih-pilih makanan kok."
"Dengar-dengar di dekat bandara sini ada nasi padang enak, Rin. Mau ke sana gak?"
"Wah, mau dong mau Mbak! Ayo kita ke sana!"
"Yuk!"
...BERSAMBUNG,...