Diceritakan seorang pemulung bernama Jengkok bersama istrinya bernama Slumbat, dan anak mereka yang masih kecil bernama Gobed. Keluarga itu sudah bertahun-tahun hidup miskin dan menderita, mereka ingin hidup bahagia dengan memiliki uang banyak dan menjadi orang kaya serta seolah-olah dunia ini ingin mereka miliki, dengan apapun caranya yang penting bisa mereka wujudkan.
Yuk simak ceritanya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alarm Jadul
Esok harinya, keluarga Pak Jengkok bangun lebih awal dari biasanya, tepat pukul 4 pagi. Suasana rumah yang kini jauh lebih nyaman membuat mereka bisa tidur nyenyak, tapi alarm dari ponsel jadul Jengkok yang berbunyi keras menggelegar, memaksa mereka untuk segera bangun. Alarmnya berdering dengan nada yang sangat ketinggalan zaman—suara ayam berkokok dengan irama aneh yang membuat Gobed tertawa terbahak-bahak di tempat tidur.
"Pak, itu suara alarm apa ayam tetangga yang lagi patah semangat?" tanya Gobed sambil cekikikan, masih menggulung diri di balik selimut.
Jengkok mengusap matanya yang masih mengantuk, sambil menjawab dengan setengah sadar, "Ini alarm canggih, Gobed. Suaranya biar kita cepat bangun, lebih ampuh dari ayam betulan!"
Slumbat yang sudah siap bangun langsung mengomel, "Ampuh apanya, malah bikin pusing, Pak. Kita jadi kayak ikut lomba ayam berkokok!"
Setelah tawa dan omelan pagi itu, mereka pun segera bersiap-siap menuju masjid untuk salat subuh berjamaah. Pak Jengkok, yang selalu ingin tampak rapi meski hanya ke masjid, sibuk merapikan sarungnya, tetapi entah kenapa sarungnya selalu miring. Slumbat memerhatikan dari kejauhan sambil tersenyum kecil.
"Pak, sarungnya kok miring terus, jangan-jangan itu sarung punya jalan sendiri," ejek Slumbat sambil menahan tawa.
Jengkok mencoba merapikan lagi, tapi hasilnya tetap miring. Akhirnya, Slumbat maju membantu, “Sini, aku bantuin. Kalau gak, nanti kamu dipikir jamaah lain kayak orang baru belajar pakai sarung.”
Selesai beres-beres, mereka bertiga akhirnya menuju masjid dengan langkah cepat, menghirup udara pagi yang segar. Di masjid, suasana subuh yang tenang dipenuhi oleh suara adzan yang merdu. Gobed, yang biasanya paling susah bangun, terlihat lebih segar karena semangat baru di kehidupan mereka. Bahkan, ia sempat bercanda dengan jamaah lain, "Habis ini aku jadi imam, ya!"
Semua jamaah tertawa kecil, dan salah satu bapak tua di samping Gobed berkata, "Kalau kamu jadi imam, Gobed, siap-siap semua orang salat subuh sampai siang!"
Setelah jamaah subuh selesai, keluarga Pak Jengkok pulang ke rumah. Di rumah, mereka kembali ke rutinitas pagi. Kali ini, semuanya lebih teratur. Gobed mulai mandi duluan, diikuti oleh Jengkok, lalu Slumbat. Sambil menunggu giliran mandi, Jengkok duduk di teras menikmati secangkir kopi yang dibuat Slumbat.
“Aduh, nikmat banget kopi ini,” kata Jengkok sambil menyeruput pelan. “Kayaknya, kita juga harus jualan kopi di warung. Kalau kopinya seenak ini, kita bisa jadi pesaing warung kopi terkenal!”
Slumbat, yang sedang menyiapkan sarapan di dapur, berseru dari kejauhan, “Kalau gitu, besok kita namain warung kita ‘Warung Kopi Pak Jengkok’, biar tambah laris!”
Gobed, yang baru keluar dari kamar mandi dengan handuk melingkar di kepala, tertawa keras. “Pak, nanti kopinya jangan yang bikin ngantuk lagi, ya. Kemarin aku lihat Bapak minum kopi, eh malah ketiduran!”
“Eh, siapa yang ketiduran? Itu karena kopinya terlalu enak, jadi bikin rileks,” jawab Jengkok membela diri, meski wajahnya mulai tersenyum malu.
Setelah semuanya siap, mereka pun mulai menjalani aktivitas harian masing-masing. Gobed bersiap-siap untuk sekolah, dan sebelum berangkat, dia melihat warung kecil di teras sudah mulai didatangi beberapa pelanggan pagi. Sambil memasang tas di punggung, Gobed tersenyum bangga, “Pak, Bu, warung kita makin rame aja. Nanti pas pulang sekolah, aku bantu jaga lagi, ya!”
Jengkok yang masih menyeruput kopinya, mengangguk sambil tersenyum puas. "Wah, kalau gini terus, kita bisa buka cabang di sekolahmu, Gobed. Nanti namanya 'Warung Jengkok Junior’!"
Slumbat yang baru keluar dari kamar mandi, tertawa kecil mendengar candaan suaminya. “Iya, Pak. Tapi jangan lupa, kalau nanti Gobed yang jaga, jualannya bisa batal semua, soalnya pasti dimakan sendiri sama temen-temennya!”
Gobed yang mendengar itu berpura-pura cemberut, “Bu, aku gak rakus kok. Aku cuma suka nyicipin semua makanan di warung. Kan biar tahu rasanya enak atau enggak!”
“Ya kalau semua dicicip, nanti sisa buat pelanggan apa, Nak?” Jengkok menimpali dengan tawa lepas.
Setelah tawa itu, Gobed pamit pergi ke sekolah, meninggalkan Jengkok dan Slumbat untuk mulai membuka warung. Pelanggan pagi mulai datang satu per satu. Tak terasa, sejak mereka mulai berdagang, pelanggan semakin banyak dan warung itu menjadi tempat favorit warga untuk sarapan.
Di sela-sela melayani pelanggan, Slumbat tiba-tiba tertawa kecil sambil mengingat kejadian pagi itu. “Pak, kamu ingat gak tadi pas di masjid, sarungmu kayak mau kabur sendiri?”
Jengkok tersenyum malu, “Ya itu... sarungnya sudah tua, kayak aku. Kalau sarung baru, pasti rapi terus.”
Sambil membersihkan meja, Slumbat melanjutkan, “Iya, tapi kalau kamu gak bisa pakai sarung, ya tetap miring-miring terus. Mungkin besok coba belajar pakai sarung dari Gobed, kayaknya dia lebih ahli.”
Keduanya tertawa lagi, merasa bersyukur atas hari-hari yang kini jauh lebih baik. Warung mereka terus ramai sepanjang hari, dan meski lelah, hati mereka tetap penuh dengan rasa syukur dan kebahagiaan. Malam harinya, saat mereka menutup warung, Jengkok kembali menyeruput kopi sambil duduk di teras, melihat ke arah langit malam.
“Nikmat banget hidup ini, Slumbat,” katanya pelan. “Dulu kita cuma bisa mimpi punya rumah yang layak dan penghasilan tetap. Sekarang kita punya semua itu. Subhanallah, betapa besarnya berkah dari Tuhan.”
Slumbat mengangguk setuju, lalu menjawab, “Iya, Pak. Hidup kita mungkin sederhana, tapi penuh kebahagiaan. Dan yang paling penting, kita tidak perlu lagi bangun pagi untuk mulung di jalanan.”
Jengkok mengangguk, lalu menatap ke arah warung kecil mereka. “Iya, dan semoga warung ini terus membawa rezeki untuk kita. Aamiin.”
Setelah renovasi rumah mereka selesai, warung di teras rumah Pak Jengkok dan Bu Slumbat mulai terlihat lebih megah dan nyaman. Lantainya kini sudah dilapisi keramik putih yang mengilap, terasnya jauh lebih luas dengan meja-meja kayu yang baru dibeli, dan dindingnya juga diberi lapisan cat baru yang membuat suasana menjadi lebih segar. Pelanggan yang biasanya mampir satu per satu, kini datang berbondong-bondong, penasaran dengan suasana baru warung keluarga Pak Jengkok yang terkenal karena masakannya yang lezat.
Pagi itu, setelah mengantar Gobed ke sekolah, Pak Jengkok dan Bu Slumbat kembali ke warung mereka dan langsung bersiap-siap membuka dagangan. Belum jam sembilan pagi, pelanggan sudah mulai berdatangan. Salah satunya adalah Bu Ratmi, tetangga sebelah yang terkenal senang bergosip dan selalu penasaran dengan hal-hal baru.
"Wah, Bu Slumbat! Warungnya makin kinclong ya! Ini nih yang namanya naik kelas, dari warung teras jadi kafe!" seru Bu Ratmi sambil melirik ke setiap sudut warung.
Bu Slumbat tersenyum sambil menyiapkan teh manis untuk Bu Ratmi. "Iya, Bu Ratmi. Alhamdulillah, sedikit demi sedikit bisa diperbaiki. Sekarang pelanggan juga lebih nyaman duduk di sini."
"Nyaman banget, Bu! Tapi jangan sampai kebablasan ya, nanti buka cabang di mall!" Bu Ratmi tergelak sambil menyeruput teh manisnya.
Tidak lama kemudian, datang lagi Pak Hamid, pelanggan tetap yang tidak pernah absen sarapan di warung Bu Slumbat. Melihat suasana baru yang lebih mewah, Pak Hamid langsung melongo. "Wah, ini warung apa hotel, Pak Jengkok? Jangan-jangan saya salah masuk!"
Pak Jengkok yang sedang menyiapkan rendang di dapur langsung menjawab dari dalam, "Betul, Pak Hamid. Kalau mau nginep, bisa pesan rendang dulu sebagai tiket masuk!"
Semua orang yang mendengar percakapan itu tertawa, termasuk Bu Ratmi yang hampir tersedak teh karena tak bisa menahan tawa.
Sementara itu, warung semakin ramai. Ada yang datang untuk sarapan, ada juga yang sekadar mampir karena penasaran dengan perubahan besar di rumah Pak Jengkok. Teman-teman sekolah Gobed yang kebetulan lewat sepulang sekolah juga ikut penasaran dan berencana mampir setelah pulang.
Setelah renovasi besar-besaran yang mengubah tampilan rumah Pak Jengkok menjadi lebih megah, kabar tentang warung baru mereka menyebar dengan cepat, terutama di kalangan guru-guru sekolah tempat Gobed bersekolah. Cerita tentang keluarga Pak Jengkok yang dulunya miskin tapi kini sukses dengan usaha warung kecilnya, menjadi topik hangat di ruang guru.
"Bu, tahu nggak? Warung Pak Jengkok sekarang sudah direnovasi besar-besaran! Dengar-dengar mereka tidak memulung lagi, malah sekarang punya usaha yang ramai," kata Bu Sri, salah satu guru yang mengajar Gobed.
Bu Guru yang biasanya sangat serius itu tiba-tiba berhenti mengetik di komputernya dan menoleh dengan raut wajah penuh rasa ingin tahu. "Serius? Itu yang rumahnya dulu hampir roboh? Yang lantainya tanah, dindingnya bolong-bolong?"
"Betul, Bu! Sekarang malah lebih bagus dari rumah saya. Katanya, lantainya sudah keramik, terasnya luas, dan makanannya enak semua!" jawab Bu Dewi, guru lainnya.
Tanpa berpikir panjang, para guru pun sepakat untuk mampir ke warung Pak Jengkok sepulang sekolah. Rasa penasaran mereka begitu besar. Selain itu, mereka juga ingin melihat secara langsung perubahan besar yang terjadi pada keluarga yang dulu mereka kenal sangat miskin dan hidup penuh kesulitan.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi, rombongan guru berangkat ke warung Pak Jengkok. Ada Bu Guru, Bu Sri, Bu Dewi, dan beberapa guru lain yang ikut serta. Mereka tiba di sana, disambut dengan senyuman hangat Bu Slumbat dan aroma makanan yang menggugah selera.
"Selamat datang, Bu Guru, Bu Sri, Bu Dewi!" sapa Bu Slumbat sambil mempersilakan mereka duduk di teras yang luas itu.
"Masya Allah, Bu Slumbat, warungnya berubah drastis! Saya hampir tidak percaya ini rumah yang dulu pernah hampir roboh!" ujar Bu Guru dengan mata berkaca-kaca. "Dulu saya sering kepikiran sama kondisi rumah kalian, tapi sekarang lihatlah, kalian sudah jauh lebih baik. Saya senang sekali!"
Para guru terdiam sejenak, teringat bagaimana dulu mereka melihat Gobed datang ke sekolah dengan seragam yang lusuh dan sendal jepit yang sudah hampir putus. Mereka ingat betapa beratnya kehidupan keluarga itu dulu, memulung di bawah terik matahari demi sesuap nasi. Momen haru itu hampir membuat Bu Dewi meneteskan air mata.
Namun, suasana haru itu tak berlangsung lama karena tiba-tiba terdengar suara keras dari arah dapur. Rupanya, Pak Jengkok menjatuhkan panci besar saat mencoba mengambil rendang.
"Aduh, panci rendangnya jatuh, Bu! Mungkin karena panci ini terlalu kagum sama para guru yang datang," kata Pak Jengkok dengan candaannya yang khas.
Tawa pun pecah di antara para guru dan pelanggan lain yang mendengar. "Pak Jengkok ini ya, ada-ada saja!" ujar Bu Guru sambil menepuk bahu suaminya yang juga ikut tertawa.
Setelah suasana kembali tenang, makanan mulai dihidangkan. Rendang khas Bu Slumbat menjadi primadona di meja, disertai berbagai lauk pauk lain yang menggugah selera. Para guru mulai mencicipi dan tak henti-hentinya memuji kelezatan masakan Bu Slumbat.
"Bu Slumbat, ini rendang apa? Bumbunya meresap sempurna, dagingnya empuk, rasanya juara! Saya jadi ingin belajar masak sama Ibu!" kata Bu Dewi sambil mengambil potongan rendang lagi.
Bu Slumbat hanya tersenyum malu. "Ah, Bu Dewi bisa saja. Ini cuma resep warisan keluarga. Alhamdulillah, rezeki dari Allah."
Di tengah makan, Bu Guru yang dari tadi diam-diam terharu kembali mengangkat pembicaraan. "Saya benar-benar bangga sama kalian, Pak Jengkok dan Bu Slumbat. Dari dulu saya selalu mendoakan supaya kalian diberi jalan keluar dari kesulitan. Sekarang lihatlah, hasil kerja keras kalian luar biasa. Dulu kalian sering dianggap sebelah mata, tapi sekarang semua orang pasti hormat melihat perjuangan kalian."
Pak Jengkok yang biasanya suka bercanda pun kali ini tampak sedikit lebih serius. "Iya, Bu. Kadang saya sendiri juga nggak percaya bisa sampai di titik ini. Dulu, saya berpikir, apa hidup saya akan terus begini. Tapi ternyata, ketika kita tetap berusaha dan sabar, rezeki itu memang datang dari arah yang tidak terduga."
"Betul sekali," tambah Bu Slumbat sambil tersenyum. "Kami tidak pernah menyangka rezeki ini datang, bahkan lewat tas misterius itu. Awalnya takut, tapi ternyata itu berkah dari Allah."
Namun, momen haru itu kembali dipecahkan oleh tawa ketika tiba-tiba Udin kecil—yang sudah masuk geng motor mini—datang bersama teman-temannya. "Pak, ini warung bisa jadi markas geng motor nggak?"
Semua orang yang mendengar ucapan Udin langsung tertawa terpingkal-pingkal. Pak Jengkok dengan sigap menjawab, "Boleh, Din! Asal bayar ya, setiap nongkrong bayar satu porsi rendang."
Udin dan teman-temannya langsung tersenyum malu dan ikut tertawa bersama yang lain. Setelah suasana tenang, para guru pun berpamitan. Sebelum pulang, Bu Guru menatap Pak Jengkok dan Bu Slumbat sekali lagi.
"Saya yakin, warung kalian akan terus berkembang. Saya doakan, semoga usaha ini membawa kebahagiaan lebih banyak lagi untuk kalian," ucap Bu Guru dengan tulus.
Pak Jengkok dan Bu Slumbat mengucapkan terima kasih dengan wajah yang penuh rasa syukur. Dan begitu para guru pulang, suasana warung kembali ramai oleh pelanggan yang datang silih berganti. Keluarga Pak Jengkok kini tidak lagi dipandang sebelah mata. Warung mereka telah menjadi bukti bahwa dengan ketekunan, kerja keras, dan sedikit keajaiban, hidup yang dulunya penuh kesulitan bisa berubah menjadi cerita sukses yang menginspirasi.
Di malam harinya, saat menghitung hasil penjualan hari itu, Pak Jengkok tak henti-hentinya tersenyum sambil mengusap keningnya. "Alhamdulillah, kalau begini terus, mah, kita bisa buka cabang nih. Gimana kalau di mall?"
Bu Slumbat hanya tertawa kecil. "Wah, jangan dulu Pak! Nanti malah geng motor Udin yang jadi manajer cabangnya!"