Niat hati mengejar nilai A, Nadine Halwatunissa nekat mendatangi kediaman dosennya. Sama sekali tidak dia duga jika malam itu akan menjadi awal dari segala malapetaka dalam hidupnya.
Cita-cita yang telah dia tata dan janjikan pada orang tuanya terancam patah. Alih-alih mendapatkan nilai A, Nadin harus menjadi menjadi istri rahasia dosen killer yang telah merenggut kesuciannya secara paksa, Zain Abraham.
......
"Hamil atau tidak hamil, kamu tetap tanggung jawabku, Nadin." - Zain Abraham
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 - Malu Seumur Hidup
Strateginya sudah tepat, tapi tetap gagal mencetak gol. Mungkin karena kurang tenaga ketika menendang bolanya, tapi hendak bagaimana? Baru mencoba didorong sedikit saja penjaga gawangnya sudah menangis.
Begitulah akhir kisah Zain tadi malam, sebuah kisah yang membuat Zain tidak bisa tidur nyenyak. Keesokan hari, matanya terlihat memerah, terlihat jelas jika Zain begadang malamnya.
Sudah tentu dia selalu punya alasan, Nadin bertanya apa sebabnya dan Zain menjawab jika dirinya semalam ada pekerjaan. Entah pekerjaan apa yang membuat lingkar matanya sampai menghitam.
Nadin yang sejatinya tidak pernah berbohong jelas percaya-percaya saja. Sementara uminya, jelas saja berbeda dan justru mewawancarai Nadin hingga ke akarnya terkait penyebab mata Zain yang memerah.
"Katakan sama umi apa yang terjadi sebenarnya?"
Nadin menghela napas panjang, entah harus dengan cara apalagi menjelaskannya agar percaya "Kan mas Zain sudah jelaskan apa sebabnya, Umi, dia kerja dan kebetulan tidak bisa tidur jadi ya begadang."
"Tidak mungkin, aura suaminya redup, Halwa ... umi paham betul aura laki-laki tahu kamu?"
Sejak kapan uminya jadi pakar aura? Nadin tidak tahu juga. Yang jelas saat ini dia ketahui uminya mendadak seolah lebih mengenali Zain dibandingkan dirinya. Mungkin karena raut wajah pria itu terlalu kentara, sejak menjemput uminya ke rumah sakit memang tampak lesu dan menguap berkali-kali.
Wajah Zain juga tampak cemberut, sesekali tersenyum, tapi memang lebih banyakan diam. Bicara seadanya, tidak dingin, tapi tidak begitu hangat juga. Tadinya Nadin pikir sang suami hanya lelah karena kini memilih tidur dan sudah cukup lama, tapi setelah mendengar ucapan uminya mendadak Nadin jadi kepikiran.
"Kalau memang ada masalah, ceritakan pada umi, Halwa ... salah-satu kunci samawa adalah memahami pasangan, dan saat ini umi merasa kamu belum memahami suamimu."
Tak segera menjawab, Nadin masih mengerjap pelan. Dia bingung apa maksud uminya, semalam memang mungkin menjadi sebab murungnya Zain, tapi Nadin merasa hal itu tidak akan jadi masalah karena Zain sendiri yang memintanya tidur.
.
.
"Ayo jawab."
"Jawab apa, Umi?"
Umi Fatimah sampai menghela napas panjang. Putrinya memang pintar, tapi tentang memahami lawan jenis masih nol besar. "Pasti sesuatu terjadi tadi malam, kemarin wajah Zain tidak begitu ... bisa tolong jelaskan sama umi, Nak?"
Sebenarnya malu, tapi Nadin merasa dia memang perlu jalan keluar. Jujur dia akui, sikap Zain yang agak sedikit berbeda membuatnya bingung hendak harus bagaimana. Atas alasan itulah, Nadin memutuskan untuk menceritakan apa yang terjadi semalam.
Sudah pasti ada yang dia tutup-tutupi, sebisa mungkin Nadin melindungi dirinya dan Zain. Sepolos-polosnya, Nadin bisa membedakan apa yang perlu diutarakan dan yang tidak. Terkait penyebab kenapa lain kenapa malam keduanya sampai gagal tetap dia rahasiakan, tapi yang jelas Nadin mengatakan intinya saja.
Umi yang mendengar seketika mengerjap pelan, matanya membola kemudian menggeleng pelan. "Ya, Tuhan kasihan ... wajar saja dia selemas itu, dari sejak menikah belum kamu berikan?"
"Belum, Umi, mas Zain tidak minta."
Jawaban Nadin sukses membuat Umi Fatimah tepok jidat. "Aduh, gawat ini."
"Gawat? Gawat kenapa, Umi?"
"Halwa ... kamu mungkin belum terlalu memahami, tapi Zain sudah dewasa dan sebagai istri kamu wajib memberikan haknya, Sayang."
Nadin tahu, dia paham tentang itu. Bukan tidak mau, bukan pula menolak, tapi terbukti semalam Zain sendiri yang tidak mampu karena sakitnya sungguh menyiksa Nadin. Ucapan uminya memang benar, dia tidak akan menampik hal itu dan juga Nadin tidak akan membela diri.
Karena jika Nadin sampai mengatakan alasan sebenarnya, bisa dipastikan Umi Fatimah akan sehancur apa. Sebagaimana tekadnya, apa yang terjadi malam itu cukup menjadi rahasia dan tidak perlu sampai ke telinga uminya.
Hingga, di tengah kebimbangan Nadin, dia seketika terpikirkan jawaban paling aman yang mungkin akan membuatnya dicubit setelah mengatakan hal itu. "Sakit, Umi," jawab Nadin seraya meringis hingga lebih meyakinkan uminya.
"Memang begitu awalnya." Masih aman, uminya masih memaklumi dan mengusap pelan puncak kepala Nadin.
Merasa hal itu belum cukup, Nadin kemudian menggunakan nama Zain sebagai perlindungan terakhir agar uminya tahu jika dirinya sudah berusaha. "Mas Zain sendiri yang memilih menunda."
"Oh iya?" tanya Umi Fatimah memastikan. Bukan tanpa alasan dia sampai bertanya seperti ini, wajah Zain terlalu berbeda dan sebagai ibu, wanita itu hanya mencoba menengahi agar keharmonisan rumah tangga putrinya terjaga.
"Iya, semalam Mas Zain bilang lain kali saja ... jalanya kurang beccek, gitu, Umi."
"Heh?"
Prank
Berkat jawaban Nadin, bukan hanya umi yang terkejut, tapi sang suami yang baru saja datang dari arah dapur juga begitu. Bahkan, gelas di tangannya sampai terlepas hingga pecah menjadi beberapa bagian. Nadin tidak tahu sejak kapan sang suami ada di sana, karena seingatnya sejak tadi Zain tidur siang.
Buru-buru dia menghampiri Zain, dengan wajah cemas khawatir sang suami marah, dia turut berjongkok dan hendak memunguti pecahan gelas tersebut. Namun, secepat mungkin Zain menepis tangan sang istri. "Biar aku saja."
"Mas kapan bangunnya? Sudah lama?"
"Be-belum, baru bangun kok." Selama ini Zain tidak pernah sampai gagap, tapi di hadapan mertuanya Zain seolah tidak lagi memiliki harga diri.
Wajahnya memerah, bahkan Zain buru-buru memunguti pecahan gelas tersebut tanpa peduli dengan goresan di tangannya. Terlalu besar malu pada sang mertua, lukanya sampai tidak berasa dan Nadin yang sadar kala melihat tetesan darah di lantai.
"Mas sebentar, tanganmu luka."
Beberapa kali Nadin memanggilnya, dan Zain memilih pura-pura tuli. Tiba di dapur, dia berhenti tanpa aba-aba hingga Nadin membentur tubuhnya. "Aaawwhh!!" keluh Nadin seraya mengusap keningnya, tak dapat dipungkiri memang sakit sekali.
Zain berbalik, menatap sang istri yang kini sibuk sendiri seolah paling tersakiti. "Kenapa sejujur itu?"
"Hah? Mas marah?"
Tidak sebenarnya, Zain tidak marah. Tapi, jujur dia katakan, "Malu, Sayang malu!! Kenapa pakai dibilang perkara jalan beccek itu sama umi? Hm?"
"Mas sendiri yang bilang begitu, terus salahnya dimana, Mas?" tanya Nadin dengan mata yang kini mengerjap pelan dan hanya mampu Zain tanggapi dengan senyuman. "Tidak, kamu tidak salah, tetangga kita yang salah."
.
.
- To Be Continued -