HARAP BIJAK MEMILIH BACAAN, PASTIKAN UDAH PUNYA KTP YA BUND😙
Bosan dengan pertanyaan "Kapan nikah?" dan tuntutan keluarga perihal pasangan hidup lantaran usianya kian dewasa, Kanaya rela membayar seorang pria untuk dikenalkan sebagai kekasihnya di hari perkawinan Khaira, sang adik. Salahnya, Kanaya sebodoh itu dan tidak mencaritahu lebih dulu siapa pria yang ia sewa. Terjebak dalam permainan yang ia ciptakan sendiri, hancur dan justru terikat salam hal yang sejak dahulu ia hindari.
"Lupakan, tidak akan terjadi apa-apa ... toh kita cuma melakukannya sekali bukan?" Sorot tajam menatap getir pria yang kini duduk di tepi ranjang.
"Baiklah jika itu maumu, anggap saja ini bagian dari pekerjaanku ... tapi perlu kau ingat, Naya, jika sampai kau hamil bisa dipastikan itu anakku." Senyum tipis itu terbit, seakan tak ada beban dan hal segenting itu bukan masalah.
Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22
Tidak punya siapa-siapa, keluarga membuangnya dan kini hanya ada Ibra di sisinya, Kanaya hanya berusaha untuk memahami keadaan lebih dulu. Wanita itu tak ingin terlalu banyak berpikir macam-macam tentang masa depan, dan siang ini Ibra hendak menepati janjinya untuk mencari tempat yang lebih baik untuk Kanaya.
"Tidak usah, aku pulang ke apartemen Siska saja ... sayang uangnya, kamu rugi bandar, Ibra."
Setelah menimbang keputusan pada akhirnya Kanaya memilih untuk kembali pada Siska. Wanita sinting yang sejak tadi malam sudah menelponnya hingga 179 kali, 356 pesan dan isinya adalah cacian akibat terlalu khawatir pada Kanaya.
"Rugi bandar? Maksudmu?"
Ibra tidak mengerti atau pura-pura tak mengerti, entahlah. Kanaya menghela napasnya perlahan, pria di hadapannya tampak bingung dengan pernyataannya.
Menikmati sarapannya dengan pembicaraaan yang membingungkan bagi Ibra, sementara Kanaya berusaha membuat Ibra paham tanpa mengulang pembicaraannya.
"Ck, sejak kemarin kau sudsh melakukan banyak hal untukku ... rasanya tidak sebanding dengan uang yang kau terima."
Ibra terdiam sejenak, sarapannya terhenti dan wajah bingungnya makin menjadi. Dia tak mengerti kenapa Kanaya masih saja memikirkan perihal bayaran terhadapnya.
"Oh, kalau begitu kau hitung saja ... kembalikan ketika uangnya ada," ujarnya santai kembali fokus dengan makanannya.
"What? Kau menganggap ini semua hutang?"
"Aha, tentu saja ... kau pikir uangnya dari mana, jadi kau masih terikat hutang pribadi denganku, Kanaya."
Mendadak Kanaya terdiam, bingung sekali harus menjawab apa. Kenapa semuanya terasa rumit dan pria di depannya begitu sulit untuk sekadar dipahami.
"Hm, hitung saja ... pasti kubayar nanti."
Ibra menarik sudut bibir tanpa sepengetahuan Kanaya, pria itu bahkan bertanya dalam hati sebenarnya umur berapa Kanaya. Kenapa sepolos dan sedangkal itu pikirannya, pikir Ibra.
Dia lupa bahwa Ibra melamarnya, dia lupa bahwa Ibra mengatakan dengan jelas bahwa pria itu adalah calon suami di depan keluarganya. Lantas kini kenapa Kanaya masih merasa bahwa semuanya kembali jauh.
"Aku tidak mau uang," ujar Ibra membuat Kanaya mendongak, kalau tidak mau lantas maunya apa, pikir Kanaya.
"Lalu?"
"Aku mau kamu anak itu, Kanaya."
Ibra, dengan segala kelembutannya kembali meminta baik-baik. Dia menginginkan pernikahan ini segera, namun Kanaya meminta Ibra mengasihaninya sebentar saja.
-
.
.
Entah apa yang membuat Kanaya merasa ragu, walau dengan kehamilan yang sudah amat nyata. Mungkin karena dia masih shock dengan keadaan dan perlu memahaminya lebih dulu.
"Beri aku waktu, semua ini terlalu cepat untukku."
"Sampai kapan? Kau mau perutmu membesar tanpa suami?" tanya Ibra sedikit meninggi namun tetap terdengar lembut.
"B-bukan begitu, aku butuh waktu beberapa hari untuk sejenak menenangkan diri, perutku tidak akan membesar banyak jika dalam waktu beberapa hari ke depan."
Penjelasan Kanaya masuk akal sebenarnya, dipukuli tadi malam dan semua hal yang ia terima rasanya tidak lucu jika menikah dalam keadaan badan masih sakit semua.
"Baiklah jika itu maumu, mana nomor temanmu itu," pinta Ibra dan hal itu membuat Kanaya mendelik tentu saja.
"Kenapa begitu?"
"Cepat berikan, Kanaya."
Ibra kembali menekankan Kanaya untuk memberikan nomor ponsel Siska. Ketakutan dan rasa tidak percaya masih menghantui pria itu. Rasanya sangat sulit dia melepaskan Kanaya yang belum secara resmi dia ikat dalam pernikahan.
"Untuk apa memangnya?"
"Untuk memastikan kau memang berada bersamanya atau tidak, aku tidak tahu apa pikiranmu sekarang, Kanaya ... bisa jadi kamu berpikir untuk lari dariku," tutur Ibra sejujurnya, menatap dalam Kanaya dan kini bernapas dengan pelannya.
"Aku tidak akan kabur, lagian mau kemana aku kabur ... hidupku cuma bisa di sini."
Kanaya berucap serius, sungguh berpikir untuk pergi dari Ibra sama sekali tidak ada. Dan kini pria itu justru menuduhnya macam-macam, padahal Kanaya hanya meminta waktu sampai setidaknya lebam di wajah masing-masing mulai pudar.
"Aku pegang kata-katamu."
Matanya menatap tajam Kanaya, seakan berusaha mencari celah kebohongan di dalam sana. Sebenarnya apa yang terjadi pada mereka, jika pasangan lain akan takut pria yang lari dari tanggung jawab, tapi mereka justru sebaliknya.
"Hm," sahut Kanaya seakan tak ikhlas, namun tetap saja semua belum selesai, Ibra kini terang-terangan meminta ponselnya.
"Apalagi?"
"Jangan membantah, Nay ... di dunia ini, aku paling tidak percaya mulut wanita."
Ibra masih meragukan pengakuan Kanaya pada nyatanya, pria itu tak ingin memberikan celah Kanaya lari hilang dari pengawasannya. Dan jika sudah begini, Kanaya hanya bisa pasrah.
"Aku akan mengawasimu, jadi jangan bertindak semaunya, paham Naya?"
Hoel, kenapa semua ini terjadi padanya. Apa Ibra takut jika dia tidak bayar hutang, pikir Kanaya kesal luar biasa. Menatap Ibra penuh amarah dan menarik ponselnya dengan paksa.
"Menyebalkan sekali," cetus Kanaya tak kuasa menahan diri, sementara Ibra kembali bersikap seolah dia tak salah sama sekali.
Bukan karena jahat, akan tetapi Ibra hanya ingin memastikan Kanaya tak lepas dari pengawasannya. Bukan juga karena egois, saat ini kehadiran calon anak dalam kandungan Kanaya adalah fokus utamanya.
Bisa saja Ibra memaksa Kanaya nikah detik ini juga, akan tetapi alangkah berantakan alur hidupnya jika semua harus ditabrak dalam satu waktu.
Memberikan Kanaya waktu bukan berarti dia tak bersikap tegas, akan tetapi ia tak ingin memaksa Kanaya dalam hal ini.
"Oh iya, hati-hati ... jangan telat makan, aku akan menghubungimu setiap waktu."
Kanaya hanya mengangguk, pesan Ibra membuatnya tersentuh. Melihat kesungguhan pria itu untuk menjaga anak ini, Kanaya merasa malu pada diri sendiri yang bahkan menganggap kehadirannya sebagai bencana.
"Gunakan itu selama kau di sana, jangan makan sembarangan dan pastikan tidak terlalu lelah."
Belum apa-apa, Ibra sudah menyerangkan debit cardnya. Dan tunggu, Kanaya paham nasabah dengan kartu semacam itu bukan orang biasa. Mulutnya sejenak menganga, dia tidak berpikir untuk menanyakan pin atau semacamnya, yang jelas dia masih terpesona dengan benda kecil tipis itu.
"Jam berapa mau ke sana? Aku akan mengantarmu," tuturnya sembari mengirimkan pin yang Kanaya butuhkan nanti.
" Sebentar lagi ... tunggu, Ini jadi hutang juga?" Kanaya takkan tergoda, pasti Ibra menjebaknya.
"Hm, tidak ... anggap itu hadiah untuknya, jadi gunakan baik-baik."
TBC
Maaf telat up, aku kejer deadline di semua kerjaan. Aku usahakan konsisten up tetep 3. Dan untuk kawin-kawinan Kanaya, sengaja gak langsung tiba-tiba married ya😭 mau narik napas dulu, sembuh dulu pipinya, berasa buru-buru banget soalnya. Dah babay🌻