Sequel Belenggu Cinta Pria Bayaran.
Dikhianati sang kekasih dan melihat dengan mata kepalanya sendiri wanita yang dia cintai tengah bercinta dengan pria yang tak lain sahabatnya sendiri membuat Mikhail Abercio merasa gagal menjadi laki-laki. Sakit, dendam dan kekacauan dalam batinnya membuat pribadi Mikhail Abercio berubah 180 derajat bahkan sang Mama sudah angkat tangan.
Hingga, semua berubah ketika takdir mempertemukannya dengan gadis belia yang merupakan mahasiswi magang di kantornya. Valenzia Arthaneda, gadis cantik yang baru merasakan sakitnya menjadi dewasa tak punya pilihan lain ketika Mikhail menuntutnya ganti rugi hanya karena hal sepele.
"1 Miliar atau tidur denganku? Kau punya waktu dua hari untuk berpikir." -Mikhail Abercio
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16 - Penguntit
Demi membuat Erika yakin bahwa dirinya memang baik-baik saja dan tidak terjadi hal mencurigakan seperti yang Erika sebutkan, Zia tetap memutuskan bekerja seperti biasa malam ini.
Tetap memiliki kesibukan nampaknya lebih baik untuk dia mampu melupakan hal yang sudah terjadi. Meski sedikit berbeda, Zia tetap berusaha melakukan semua pekerjaan dengan sebaik-baiknya.
"Kalau capek istirahat aja, Zia ... aktif banget dari tadi," ujar salah satu waiters lainnya, itu bukan semacam sindiran, tetapi memang Zia lebih banyak bergerak malam ini.
"Bentar lagi gajian, semangat dong, Acha."
Alasan saja, padahal kalaupun gajian dia sudah tidak menerima uang itu lagi. Semuanya habis untuk membayar kasbon bulan lalu.
"Aku udah nyerah, Zi ... pengen diculik om-om kaya aja," keluh Acha lemas, hidup di garis kemisikinan dan terpaksa berjuang di titik benar-benar nol memang sesulit itu.
"Dih enak kalau beneran om-om kaya, diculik om Burhan tau rasa." Danira menimpal tanpa diajak sebelumnya.
"Burhan bapakku," timpal Acha sedikit meninggi, kesal sekali nama ayahnya dianggap candaan oleh beberapa temannya.
Candaan mereka terdengar lucu, namun tidak bagi Zia. Entah kenapa arah pembicaraan mereka membuat Zia merasa terluka. Walau tidak sama, akan tetapi tetap saja inti dari candaan itu adalah bentuk putus asa mereka tentang uang.
"Zia kenapa?"
"Nggak tau, padahal tadi yang semangat dia."
Keduanya tampak heran lantaran Zia tiba-tiba pergi dan menjauh. Padahal, candaan seperti itu sudah biasa dan dia juga turut terhibur dengan candaan semacam itu.
"Mikirin kasbon kali," celetuk Rega kemudian, kebiasaan sekali di tengah pembicaraan dia akan ikut padahal tidak diajak sama sekali.
"Ih mulut-mulut kayak kamu ni yang biasanya buat dia kesinggung, kalau nggak bisa bantuin bayar minimal diem, Ga."
"Lah, baru juga nyaut dikit ... sarap kalian bedua."
Memang benar wanita tidak pernah salah, kalaupun ada artinya orang yang menganggap salah itu lebih salah lagi.
Pengunjung malam ini ramai seperti biasa, dan sebagai pekerja dia harus sigap dalam melakukan tugasnya. Valenzia tetap memberikan senyum ramahnya kala menghantar pesanan di setiap meja, nilai plus karena memang dia paling cantik.
Tanpa dia sadari, sejak tadi ada mata yang menjadikannya pusat perhatian. Sejak 15 menit yang lalu dia mendatangi tempat itu.
"Apa yang kau lihat?" tanya Edgard menendang kaki pria di depannya.
"Ck, santai saja kan bisa!" sentak Mikhail meringis, tulang keringnya terasa nyeri kala tendangan Edgard tepat sasaran.
Edgard menoleh dan tidak melihat sesuatu yang aneh di belakangnya, kesal sebenarnya sejak tadi Mikhail terus saja memandang ke sana sembari sesekali menyesap sebatang rokoknya.
"Dasar aneh, kopinya bahkan sampai dingin."
Pria bermanik hazel itu memilih enggan untuk mengatakan hal apapun pada Mikhail lagi, kesal sekali rasanya ketika dia ingin bicara banyak hal dan Mikhail sibuk sendiri.
"Aku pergi," pamit Edgard kemudian, sejak tadi Mikhail seakan tak menganggap keberadaannya padahal dia yang mengajak Edgard datang ke tempat ini beberapa waktu lalu.
"Kemana?"
"Apartemen Geby," jawabnya singkat, lebih baik mencari kesenangan sendiri daripada harus menemani Mikhail akan tetapi dianggap patung, pikirnya.
"Masih dia? Apa belum bosan, Edgard?" tanya Mikhail pada sahabat bulenya itu.
"Hahah mainnya jago, belum tergantikan, Khail."
Mikhail tertawa sumbang mendengar jawaban itu, dia tidak melarang kalaupun Edgard ingin pergi. Dia tak begitu peduli kala Edgard berlalu keluar, matanya hanya fokus mengikuti langkah wanita yang sejak tadi menjadi pusat perhatiannya.
Cukup lama dia memandangi, hingga hatinya berontak dan tidak bisa menahan jika hanya melihat dari kejauhan. Mikhail beranjak dari tempat duduknya dan mengikuti kemana Zia berlalu.
Dengan topi hitam dan jaket yang dia gunakan malam ini, sengaja agar tidak ada yang mengenalinya. Mikhail hampir tak pernah menghabiskan waktu malam di tempat seperti ini, malam ini dia hanya nekat untuk memastikan jika ucapannya tadi siang Zia turuti atau tidak.
Mencari kesempatan dan masih mengikuti Zia dari belakang. Hingga ketika tiba di tempat yang tak lagi ramai, dengan satu gerakan Mikhail membekap mulutnya dari belakang dan menariknya ke toilet pria.
Zia yang terkejut jelas saja panik, hendak berteriak namun tidak bisa dan dia tidak bisa melihat siapa yang meringkusnya.
Dadanya berdegub tak karuan, gemetar sekaligus dan berusaha berontak dan berbalik kala tangan itu tak lagi membekap mulutnya.
"Mau ap... a?"
Hendak memaki namun ucapannya terhenti kala wajah pria yang membawanya kesini dapat Zia tatap dengan mata bulatnya.
"Kamu lupa perkataanku tadi siang?"
Ketakutan yang tadinya menyelimuti Zia kini hilang begitu saja, tergantikan dengan ketakutan lain akan meledaknya amarah Khail. Pria itu menatap tajam Zia seakan tidak ada ampun karena mengingkari janjinya tadi siang.
"Bapak kenapa di sini?"
"Memastikan ... ternyata kamu pembangkang juga ya," ucapnya kemudian, jarak keduanya begitu dekat bahkan Zia dapat melihat dada Mikhail yang naik turun di hadapannya.
"Ini kewajiban, Bapak baru datang di hidup saya kemarin ... jangan ikut campur terlalu banyak," ungkapnya melipat tangan di atas perut, perintah mutlak dan Mikhail yang mengekangnya membuat Zia tersiksa.
"Ikut campur? Selama kewajibanmu belum selesai, kamu milikku sepenuhnya, Zia ... otakmu masih baik-baik saja untuk mengingat segala seuatu bukan?" Mikhail meraih dagunya hingga membuat wanita itu mendongak dan Mikhail bisa memandangi wajahnya puas-puas.
"Aku menginginkannya sekarang," bisik Mikhail dan berhasil membuat Zia bergetar, selembut apapun dia berbisik tetap saja ini menakutkan.
Tbc