NovelToon NovelToon
Sebuah Titik Di Horizon

Sebuah Titik Di Horizon

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:976
Nilai: 5
Nama Author: Gama Lubis

Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.


Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dialog

“Bang Rizal ga papa tuh?” tanya Susi, matanya menyelidik. Naima tampak agak terganggu melihat sikap Rizal yang tampaknya belum benar-benar mereda.

Naima mengerutkan kening, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Ga papa kali, laki-laki kan biasa berantem,” jawabnya sambil berusaha bersikap tenang, meskipun ada sedikit rasa cemas yang menggerayangi hatinya. Ia tidak suka terlibat dalam urusan seperti itu.

Susi mengangguk, tapi ada senyum kecil yang bermain di bibirnya. “Ah, Malik selain ganteng juga kayaknya jago berantem ya, Aim,” katanya dengan nada yang sulit dibaca, antara penasaran dan sedikit nakal.

Naima menggelengkan kepala dan membola, bingung harus merespons apa. "Ha, tiba-tiba banget," jawabnya dengan canggung. Ia merasa seperti terjebak dalam percakapan yang tidak biasa baginya. Membicarakan laki-laki tidak pernah mudah untuknya.

Susi tersenyum dengan mata berbinar, sedikit menjaili. “Menurut Lo Malik gimana?”

Naima mendelik sejenak. “Yaaa, ga gimana-gimana,” jawabnya sambil mengalihkan pandangan, tidak nyaman dengan arah pembicaraan. Baginya, membicarakan laki-laki selalu terasa aneh. “Kenapa, Lo suka ya?” ucap Naima, mencoba mengalihkan perhatian dengan sedikit bergurau.

Susi sedikit tertawa, namun matanya tajam, seolah ada sesuatu yang lebih dalam yang ia coba gali. “Ya wajar kan kalo tertarik sama lawan jenis,” jawabnya santai, meskipun nada suaranya menunjukkan bahwa ia serius. “Tapi ya, sebenarnya gw penasaran aja sih pendapat Lo.”

Naima menatapnya, merasa terjebak dalam pertanyaan yang makin mengarah ke dirinya. "Penasaran banget?" tanyanya dengan nada tak acuh, meskipun hatinya mulai sedikit berdebar. Ada rasa gugup yang perlahan menggelayuti pikirannya.

“Iya,” Susi mengangguk, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Soalnya Lo tuh," dia berhenti sejenak, berpikir keras. "Ya gimana ya. Duh susah deh ngegambarin Lo," tambahnya sambil tersenyum lugu.

Naima memutar mata, merasa semakin canggung. "Menurut Lo gimana tuh, si Malik?" tanyanya balik, berusaha menyembunyikan rasa gelisah yang mulai merayap.

Susi menyandarkan punggungnya ke pohon, menyilangkan tangan di dada, tampak serius meski ada senyum di ujung bibirnya. "Hem, menurut pandangan gw Malik itu humoris. Liat aja deh, baru beberapa bulan gabung sama kita, tapi yang lain udah antusias banget tuh sama dia. Selain itu dia juga tanggung. Lo inget kan waktu si Mikaya hampir jatuh? Dia loh yang nolongin. Terus dia cekatan, semua hal yang dia kerjain tuh beres."

Naima melirik Susi, matanya terfokus pada ekspresi serius teman di depannya. "Beh, segitunya Lo merhatiin," ujarnya, berusaha meredakan ketegangan dengan candaan, meskipun hatinya tak begitu yakin apa yang sebenarnya dirasakannya.

Susi terkekeh. "Target baru nih?" Naima nyengir nakal, memberi pertanyaan yang mungkin lebih untuk menutupi rasa canggungnya.

Susi tertawa ringan, menggelengkan kepala. "Ha-ha, gue sadar diri lah," jawabnya santai, meskipun ada kerlingan di matanya yang menunjukkan dia tidak sepenuhnya serius. "Lagian gw udah suka sama yang lain kok."

Naima terkejut, kue di depannya terasa semakin hambar. "Siapa tuh?" tanyanya penasaran, meskipun hatinya sedikit berdebar—sebuah perasaan aneh yang mulai muncul.

Susi memalingkan muka, seolah tiba-tiba merasa tidak nyaman dengan percakapan ini. "Ah, udah ah," ucapnya dengan canggung. "Kenapa jadi gw yang kena sih?" Susi bangkit dari tempat duduknya, dengan cepat mengambil wadah kue yang kosong untuk dibuang, berusaha mengalihkan perhatian Naima.

Naima melirik Susi yang tiba-tiba mengalihkan perhatian. “Tunggu, Lo nggak bisa kabur gitu aja,” Naima berkata dengan nada menggoda, meski hatinya masih terasa canggung. "Siapa tuh yang Lo suka?"

Susi hanya tertawa sambil melangkah pergi, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar candaan. “Nggak ada yang perlu Lo tahu, Aim. Lagi pula, Lo yang lebih misterius dari gue," jawab Susi sambil melambaikan tangan, menandakan percakapan ini selesai.

Naima terdiam, merasa sedikit tertinggal. Susi memang selalu bisa mengalihkan perhatian dengan mudah. Namun, hatinya kembali terarah pada Malik—perasaan yang bahkan ia sendiri tak tahu harus disebut apa.

Brugh.

Naima tersentak ke belakang, tubuhnya terhuyung beberapa langkah. "Eh, maaf," ucapnya refleks, tangannya buru-buru menepuk rok yang tak terlihat kotor, lebih karena gugup daripada alasan sebenarnya.

"Ow, it's okay. Kamu nggak papa?" Suara itu terdengar lembut namun tegas.

Naima mendongakkan kepala dengan cepat, hampir tanpa berpikir. Malik? Matanya membesar seketika. Tubuhnya terasa beku di tempat. Ia langsung memalingkan wajah, berharap Malik tidak menangkap ekspresinya yang mungkin tampak terlalu terkejut.

"Kamu nggak papa?" ulang Malik, kali ini suaranya terdengar lebih khawatir, seolah-olah Naima benar-benar jatuh.

Naima menegakkan diri, berusaha terlihat biasa saja meskipun jantungnya seperti genderang perang. "Iya, aku baik-baik aja," jawabnya terburu-buru. "Maaf."

Malik mengangkat alis, tersenyum kecil. "Kamu udah bilang itu sebelumnya, loh." Ada nada ringan dalam ucapannya, membuat Naima semakin salah tingkah.

Belum sempat ia merespons, suara lain memotong suasana.

"Malik!"

Naima refleks menoleh ke arah suara itu, dan menemukan Mikaya berdiri tak jauh, melambaikan tangan dengan semangat. Oh, Mikaya. Tentu saja. Naima menggigit bibirnya tanpa sadar, sesuatu yang tak ia kenali perlahan mencengkeram dadanya.

Malik menoleh ke sumber suara, namun hanya sebentar sebelum kembali menatap Naima. "Kamu yakin nggak apa-apa?" tanyanya lagi, seolah belum puas dengan jawaban sebelumnya.

Naima mengangkat bahu ringan, berusaha terlihat setenang mungkin. "Kamu dipanggil tuh," ucapnya, mengisyaratkan Mikaya dengan dagunya. "Aku duluan ya."

Sebelum Malik sempat menjawab, Naima sudah berbalik, melangkah cepat menjauh. Namun, ia tak bisa mengabaikan suara langkahnya yang terasa lebih berat dari biasanya.

Di belakangnya, suara Malik terdengar samar, "Oh, oke. Hati-hati ya."

Naima menahan napas, tidak berbalik, hanya terus melangkah. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, seperti sebuah percikan emosi yang belum sepenuhnya ia pahami. Ia melangkah cepat berharap langkah cepatnya mampu mengusir perasaan aneh itu.

Siapa sangka dia akan bicara dengan Malik. Malik. Ah, bagi Naima, sosok itu hanya orang baru. Ya, baru—seperti kedatangannya dua bulan lalu tanpa permisi, mengetuk pintu rumahnya dan membawa angin perubahan yang tidak diinginkan. Naima tak pernah menanyakan bagaimana mereka bisa saling mengenal, siapa yang memperkenalkan mereka, atau mengapa kehadirannya terasa begitu mendesak. Semua terasa begitu tiba-tiba, sangat mendadak.

Jika boleh lari, ia ingin lari. Jauh. Sejauh mungkin, hingga nafasnya habis. Agar hatinya tidak lagi terluka. Tapi kenyataannya, dia tidak bisa. Ada Abi di sana, di depan matanya, ada keluarganya yang kini saling berbincang dengan keluarga Malik. Jika Naima melarikan diri, Abi akan malu. Semua orang akan tahu betapa besar jarak yang dia ciptakan, betapa menolaknya dia terhadap kehadiran orang-orang yang bahkan belum sepenuhnya ia kenal.

Naima menghela napas panjang. Rasanya ada beban berat yang mengendap di dadanya. Perlahan, ia memberanikan diri duduk di antara orang tuanya, berhadapan langsung dengan Malik dan keluarganya.

Malik—lelaki itu, dengan senyum ramahnya yang selalu ia kenali. Tapi bagi Naima, senyum itu hanya terasa seperti ejekan. Seolah ia sedang dilihat dengan cara yang tidak seharusnya. Seolah ia hanya sebuah objek di hadapan Malik, tanpa memahami betapa setiap tatapan itu terasa seperti beban yang semakin menekan.

Abi menggenggam tangan Naima, memberinya sedikit kenyamanan. Sentuhan itu terasa seperti Dejavu yang luar biasa, membuatnya mengingat kembali saat-saat ketika ia merasa tak berdaya di masa lalu. Ada perasaan yang tak bisa ia hindari, sebuah ketakutan yang mulai menggelayuti dirinya.

Dia ingin melarikan diri. Melarikan diri jauh-jauh. Namun, perasaan itu segera tergantikan oleh perasaan bersalah yang menguasai hatinya. Ia tak bisa. Di depannya, ada ayahnya, ada keluarganya, ada banyak mata yang memperhatikannya.

Ia menundukkan kepala, mencoba menenangkan diri, menepis perasaan yang mendalam itu. Namun, semakin lama ia duduk di sana, semakin terasa seperti dinding yang menekan dirinya. Sesuatu yang tak bisa ia hindari. Suasana ini begitu menyesakkan.

Di sisi lain, Malik telah kehilangan senyumnya. Sebuah teka-teki muncul di kepalanya. Raut wajahnya terlihat khawatir. Ketidaknyamanan Naima terpancar dari gelagatnya.

"Naima," suara Abi lembut, namun ada nada khawatir di sana.

Naima tersadar dari pikirannya. Dia menatap tangannya yang terjepit erat di antara tangan Abi. Senyum Abi yang hangat seolah memberikan sedikit ketenangan. Namun, hati Naima tetap bergemuruh.

"Mereka bertanya pendapatmu. Apa kamu menerima Malik?”

Naima menghela napas berat, dia hanya bisa menggeleng pelan. Logikanya masih bersarang di kepala. Tapi tertanam rasa ragu untuk bersuara. Mulutnya terkunci. Apapun yang dia utarakan pasti akan mendapatkan bantahan. Tolong hentikan sekarang juga.

“Kenapa?” tanya Malik, suaranya penuh kebingungan, matanya memandang Naima dengan tatapan yang tak bisa dipahami.

Naima hanya bisa menundukkan wajahnya, berusaha menahan gejolak yang datang begitu mendalam. Namun, seketika, setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya, meluncur tanpa bisa ditahan.

“Eh—!” Naima terkejut dengan dirinya sendiri, matanya membulat seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Pikiran Naima kosong, hanya ada gejolak emosi yang berputar cepat, menghantam setiap sudut kepalanya. Air mata itu adalah wujud dari rasa cemas, marah, dan frustasi yang menguasai dirinya.

“Aim, kenapa?” Sarah, yang melihat Naima terisak, langsung mendekat, membungkuk sedikit untuk melihat lebih dekat. Sarah melirik ke arah suaminya, Abraham, seakan mencari petunjuk tentang apa yang harus dilakukan. "Mas?"

Abraham, dengan tatapan serius, berdiri perlahan, matanya yang biasanya tenang kini penuh dengan kekhawatiran. “Bawa Naima ke kamar, Sar,” ucapnya, suaranya tegas namun penuh perhatian.

Sarah segera menuntun Naima, yang hampir tak mampu berjalan dengan tenang. Langkahnya berat, tubuhnya terasa seperti kosong, di luar kendali. Mereka berdua meninggalkan ruang tamu, meninggalkan Malik dan keluarga lainnya yang masih terdiam, bingung dengan kejadian yang baru saja terjadi.

Di tempat itu, hanya ada kesunyian. Raut wajah Malik terlihat bingung—ada kebingungannya yang mendalam, dan sedikit rasa khawatir. Tapi ia tetap diam, seakan menunggu penjelasan lebih lanjut.

Abraham menghela napas panjang, seolah ingin melepaskan ketegangan yang tiba-tiba melanda ruangan itu. “Maafkan aku, sungguh,” ucap Abraham, tatapannya penuh penyesalan. “Maafkan aku, Malik. Sepertinya Naima masih terguncang dengan kegagalan pernikahannya.” ucap Abraham. Raut wajahnya mendung seperti keadaan langit saat itu.

1
sSabila
Hai kak aku udah baca beberapa part dan sudah aku like, ceritanya bagus banget kak

Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"

Ditunggu ya kak
Beerus
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
gamingmato channel
Aku udah jatuh cinta dengan karakter-karaktermu. Keep writing! 💕
☯THAILY YANIRETH✿
Mantap jiwaa!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!