"Meskipun aku ditodong dengan pisau, aku tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Kalau begitu aku permisi."
"Apa?! Kau pikir aku bersedia? Tentu saja aku juga menolaknya. Cih! Siapa yang sudi!"
Raga heran kenapa setiap kali di hadapkan pada gadis itu selalu akan muncul perdebatan sengit. Bri jelas tak mau kalah, karena baginya sang tetangga adalah orang yang paling dibencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11
Pondok Labu, 23 Maret 2006
Di sebuah perumahan kecil yang asri, keluarga Heru telah lama tinggal dan mengenal hampir semua warga sekitar. Suasana di lingkungan mereka begitu akrab. Anak-anak bermain bersama di sore hari, para ibu berkumpul di warung, dan para bapak sering berbincang di pos ronda. Namun, hari itu, ada sesuatu yang berbeda.
Sebuah truk pindahan berhenti di depan rumah kosong di sebelah rumahnya. Seorang pria yang terlihat seusia dengannya, seorang wanita yang tampak lebih muda darinya, serta seorang anak perempuan yang cantik turun dari mobil dengan senyum ramah. Para tetangga mulai memperhatikan dengan penuh rasa ingin tahu.
Ibu Siti, tetangga yang berada di ujung komplek istri dari Pak Surya yang bertugas sebagai pengaman komplek, segera menghampiri Astrid istri dari Heru yang tengah menyapu halaman. Dengan nada penuh antusiasme, ia berbisik, “Mbak Astrid, sudah lihat tetangga baru kita? Wah, tampaknya masih muda mungkin seumuran dengan kalian!”
Astrid tersenyum, ikut menatap keluarga baru itu. “Iya, Bu Siti. Saya juga penasaran. Mudah-mudahan mereka ramah dan bisa berbaur dengan kita.”
Tak lama kemudian, Heru yang baru pulang dari warung juga ikut nimbrung. “Ayo, kita kenalan langsung saja. Biar tidak menebak-nebak.”
Mereka bertiga pun berjalan menuju rumah sebelah dan menyapa keluarga baru tersebut.
Heru mengulurkan tangan kepada pria yang tampaknya kepala keluarga. “Selamat datang di lingkungan kami! Saya Heru, ini istri saya Astrid, dan ini Bu Siti, tetangga yang rumahnya ada di ujung sana.”
Pria itu tersenyum lebar dan menjabat tangan Heru. “Terima kasih, Pak. Nama saya Dino. Ini istri saya, Vina, dan anak kami, Briana. Senang sekali bisa tinggal di sini.”
Obrolan pun mengalir dengan santai. Dino bercerita bahwa ia dan keluarganya baru saja pindah dari Yogyakarta karena ingin mencari suasana baru.
“Wah, pasti butuh waktu untuk beradaptasi, ya,” kata Astrid. “Tapi jangan khawatir, lingkungan di sini ramah kok!”
Briana, anak Dino, tampak malu-malu. Namun, ketika melihat sekelompok anak bermain bola di lapangan kecil dekat rumah, matanya berbinar. “Bu, boleh Bri main sama mereka?” tanyanya.
Vina tertawa dan mengangguk. “Tentu, Nak. Ayo, kenalan dengan teman-teman barumu.”
"Tunggu sebentar," ucap Astrid pada anak perempuan itu dan bergegas kembali ke depan rumahnya dan tampak memanggila seseorang. Lalu keluarlah seorang anak laki-laki memakai baju kodok dengan kaos hijau. Astrid menarik anaknya menuju rumah tetangga barunya.
"Ini Raga, kalian sepertinya seumuran. Nah ini tetangga baru kita ada Om Dino dan Tante Vina. Dan yang itu namanya Briana." Raga mengedarkan pandangan menatap orang asing itu satu persatu, dengan sedikit dipaksa oleh sang ibu dia menyalami mereka dan tibalah dia berhadapan dengan Bri yang tersenyum tapi malu menatapnya menunggu untuk berjabat tangan, Raga melengos begitu saja meninggalkan Bri yang kecewa.
Astrid yang melihat hal itu memanggil anaknya yang sudah setengah berlari pergi, "Bawa Briana juga, kenalkan ke anak-anak lainnya ya," ucapnya disertai dengan pelototan tajam karena Raga terlihat enggan menuruti ibunya. Dengan muka cemberut Raga melihat anak perempuan itu.
"Baiklah," ucap Raga sambil menghela napas. Bri yang awalnya takut namum setelah melihat senyuman Astrid membuatnya merasa yakin bahwa dirinya akan baik-baik saja.
Sejak hari itu, keluarga Dino mulai berbaur dengan masyarakat sekitar. Bri tampaknya nyaman berada di lingkungan itu, sementara Dino dan Vina sering terlibat dalam kegiatan warga. Kehadiran mereka membawa suasana baru di lingkungan itu, menambah kehangatan dan kebersamaan.
Namun di sisi lain Bri tidak punya banyak teman di sekitar lingkungan itu, karena kebanyakan anak laki-laki dan ada satu orang anak perempuan yang lebih tua darinya dia tidak terlalu suka main di luar, Bri sering berkunjung ke rumahnya mereka akan bermain boneka barbie bersama atau bermain rumah-rumahan yang didapatkan Bri dari hadiah ulang tahunnya yang ke-8.
Bri sebenarnya suka mengikuti anak tetangga sebelah Raga. Karena Raga anak yang penuh semangat dengan rasa keingintahuan yang tinggi anak itu suka mengeksplorasi alam mencari sesuatu yang membuatnya penasaran dan Bri senang akan hal itu.
Berbeda dari Bri, Raga tidak suka pada anak perempuan itu, menurutnya Bri anak yang lemah dan cengeng. Apalagi teman-temannya yang lain semua laki-laki dan mereka suka sekali mengejek Raga jika terlihat bersama Bri.
"Raga sudah tidak mau bermain dengan kita lagi ya?" tanya seorang anak laki-laki yang gigi depannya ompong.
"Masih main kok." Raga cemberut.
"Raga sekarang mainnya dengan anak perempuan," ucap anak yang satunya lagi sambil mengisap permen lolipop yang tersisa sedikit menempel di tangkai.
"Tidak kok. Ayo main bola bersama." Tanpa berdebat panjang mereka memutuskan untuk kembali bermain bersama.
Besoknya hari minggu, Raga belum bangun dari tidurnya. Sementara itu ibunya sedang sibuk membuat kue di dapur dan sang ayah belum pulang juga sehabis jogging dengan bapak-bapak komplek tadi pagi. Bersama dengan ibunya ada Bri yang sedang asik menikmati roti panggangnya, kedua orangtuanya ada urusan mendadak pagi-pagi sekali dan terpaksa menitipkan anak kecil itu ke keluarga Heru.
Setelah menikmati rotinya Bri naik ke atas menuju kamar Raga. Dia masuk sembari berjingkat, di bibirnya terukir senyum nakal sementata pikirannya sibuk merangkai rencana liciknya.
"Bangun!" Bri naik ke kasur Raga yang sedang pulas dan berteriak kencang di telinganya.
"Ayo bangun! Ini sudah siang," teriaknya lebih keras ketika melihat Raga yang tak bergeming.
"Duri duri dam dam, duri duri dam, duri duri dam dam, duri duri dam." Bri mulai bernyanyi sambil menggoyangkan badannya yang membuat kasur Raga juga ikut bergerak.
Raga yang tak tahan dengan nyanyian Bri pun bangun dengan kesal sambil menarik rambut panjang Bri. "Berisik! Diamlah." Bri kecil terdiam hendak menangis tapi ditahannya sambil mengigit bibirnya dan berlari turun ke bawah.
"Tante Astrid!"
"Dasar pengadu!" Raga dengan kesal turun dari tempat tidurnya dan ikut menyusul turun ke bawah.
Raga sudah bersiap-siap akan berpetualang hari itu, tas ranselnya yang kecil bekas dipakainya waktu TK sudah bergantung mantap dipunggungnya. Botol air minum juga sudah dia masukkan ke dalam tas sementara di ambang pintu terlihat Bri yang sedang memasang sepatu dengan penuh semangat.
"Hati-hati. Jangan pergi terlalu jauh," ucap Astrid memperingatkan mereka berdua.
"Baik tante," balas Bri dengan sumringah.
"Anak baik." Astrid melemparkan senyuman pada Bri, dia menyukai anak perempuam itu. Raga hanya bisa mendesah melihat momen itu, sebeluk pergi ditangkapnya lirikan sang ibu yang bermakna'Jaga Bri!' Kenapa juga harus dia yang berteman dengan anak perempuan itu pikirnya.
Mereka berdua jalan menyusuri komplek sebelah yang hanya sebagian saja dibangun rumah tanah lainnya dibiarkan kosong hingga ditumbuhan ilalang liar dan ada sebuah kebun sayuran kecil terletak di ujung. Bri dengan patuh mengikuti Raga dari belakang sambil berjalan dengan riang. Mereka melewati semak-semak yang tidak tinggi.
"Aduh! Kakiku tersangkut. Raga tolong," ucap Bri yang kakinya tersangkut di batang kayu mati yang tergeletak di tanah. Raga dengab malas menghampirinya dan berdiri diakm menatapnya.
"Siapa suruh kau ikut aku. Harusnya kau main dengan Cila saja," ucap Raga sambil berkacak pinggang. Bri yang mulai sedih menatapnya dengan memelas.
"Cepat bantu aku." Tiba-tiba terdengar petir menyambar di langit, hari yang tadinya cerah kini berubah sekelam malam. Bri mulai ketakutan mendengar suara petir itu.