Seorang gadis cantik, jenius dan berbakat yang bernama Kara Danvers bekerja sebagai agen ganda harus mati di karena dikhianati oleh rekannya.
Namun, alih-alih ke alam baka. Kara malah bertransmigrasi ke tubuh bocah perempuan cantik dan imut berusia 3 tahun, dimana keluarga bocah itu sedang di landa kehancuran karena kedatangan orang ketiga bersama dengan putrinya.
"Aku bertransmigrasi ke raga bocil?" Kara Danvers terkejut bukan main.
"Wah! Ada pelakor nih! Sepertinya bagus di beri pelajaran!" ucap Kara Danvers menyeringai dalam tubuh bocah cilik itu.
Apa yang yang akan dilakukan sang agen ganda saat di tubuh gadis cilik itu dan menggemaskan itu. Yuk mari baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salam Perkenalan Untuk Pelakor
Amara menyipitkan matanya. "Upgrade? Dasar omong kosong. Kamu masih anak kecil yang nggak tahu apa-apa. Aku bisa bikin kamu keluar dari rumah bersama ibumu itu, kalau aku mau." Mata wanita glamor itu semakin melotot tajam.
Vara tersenyum manis, dan menjawab, "Celius? Tante mau aku kelual dali lumah? Kalau aku pelgi, ciapa yang bakal celita ke Papa coal kaltu kledit Tante yang dipakai buat beli tas palcu untuk Oma?" tanya bocah perempuan itu dengan wajah polosnya.
Amara tercengang "Kamu tahu darimana soal itu?!" wanita itu semakin mengintimidasi bocah perempuan didepannya itu.
Vara menghela napasnya dramatis. "Tante, aku ini bocah 3 tahun. Tapi mataku dan telinga ku lebih tajam dari CCTV di mal. Aku tahu banyak hal, bahkan yang Papa belum tahu."
Vara bersandar dengan santai, menikmati wajah merah wanita didepannya itu. Dia memang sedikit-sedikit sudah menggali informasi tentang keluarga baru bocah perempuan itu.
Untungnya, Vara sempat meminjam hp sang ibu dengan alasan bermain game. Padahal hanya untuk meretas sesuatu.
Amara berdiri dari duduknya dan mendekat. "Dengar, ya, bocah. Jangan sok pintar! Kalau kamu buka mulut ke ayahmu, aku pastikan kamu akan menyesal." wanita itu menunjuk kening Vara dengan kuku tajamnya, tapi Vara dengan cepat menepisnya.
Wajah Vara berubah, tadinya polos kini memandang sinis istri kedua ayah dari pemilik tubuh itu. "Menyecal? Tante, aku pelnah dikejal mafia dali Lucia (Rusia), lompat dari helikoptel tanpa palasut, dan tetap hidup. Intimidaci Tante? Hmm ... levelnya macih TK."
Vara berbicara seolah-olah dia adalah orang dewasa. Sedangkan ibu tiri Vara itu hanya menganggapnya hanya guyonan.
Amara geram, wanita itu menunjuk wajah bocah. "Dasar mulutmu itu! Kamu pikir aku takut dengan ancamanmu?" tantang Amara dengan senyum mengejek.
Vara tersenyum licik. "Aku nggak mengancam, Tante. Aku cuma bilang fakta. Oh, ngomong-ngomong, aku juga tahu Tante celing ke cebuah bal untuk belcenang-cenang!" ujar bocah perempuan imut itu dengan menyeringai.
Amara semakin jengkel. "Kamu ini ... setan kecil!" hardik Amara.
Vara berpura-pura bingung. "Cetan kecil? Kok Tante tahu? Apa Tante udah ketemu mereka di mimpinya? Hihihi ...."
Pintu kamar tiba-tiba terbuka, membuat Amara mengurungkan niatnya, membentak bocah kecil itu. Dia menatap suster yang berjalan dengan memegangi botol infus.
"Lho! Ada apa ini? Sepertinya seru sekali pembicaraannya!" suster itu mencoba berbasa-basi, saat mendengar suara keras Amara.
Amara berpura-pura bersandiwara sedih. "Saya sedih banget suster! Walaupun saya ibu tiri, tapi saya sudah menganggap Vara anak kandung saya. Tapi dia sangat tidak sopan pada orangtua! Harusnya dia dia ajari oleh ibunya berbicara sopan!" ucap wanita itu mengeluh, mencoba menjelekkan Selvira.
Vara menatap sang suster. "Custel! Tante ini kayaknya butuh luang konsultasi khucus, deh. Atau kulcus teatel ceni," ujar Vara dengan wajah polosnya.
Sang suster mengerutkan keningnya bingung. "Konsultasi! Bukannya Tante ini baik-baik saja!" sahut suster itu.
Vara mencondongkan tubuhnya pada suster itu. "Dia mungkin cudah cetles! Bawa dia ke luang lelakcasi, cebelum heels-nya bikin lantai lumah cakit letak!" bisik Vara yang masih di dengar oleh Amara.
Astaga! Belibet banget deh, enggak bisa bilang R dan S! teriak Vara.
Mata Amara semakin melotot, sedangkan si suster mulutnya mulai berkedut menahan tawa.
"Jangan dengarkan dia suster! Dia ini bocah aneh!" ucap Amara merasa kesal.
Wajah Vara masih tetap polos. "Aku memang aneh, Tante. Tapi aku enggak jalan-jalan di lumah cakit pakai palfum yang lebih tajam dali alat bedah!" balas bocah itu dengan lidah tajamnya.
Sang suster segera keluar, karena tidak bisa menahan untuk tidak tertawa. Sedangkan Amara bertambah murka, memang parfumnya sangat menyengat. Bahkan, parfumnya itu tersebar ke seluruh ruangan membuat Vara pusing.
"Kau ... dasar anak kurang ajar!" Amara mencubit pipi Vara yang gembul, membuat bocah itu sedikit meringis.
"Wow! Cubitan Tante enggak telaca cakit, cepeltina Tante kulang olahlaga, apa aku pellu mengajali Tante, cala mencubit!" Vara semakin memprovokasi wanita itu.
Amara semakin kesal, dia berpindah mencubit pinggang Vara. Dia memang selalu menyiksa anak itu dengan mencubitnya, tapi Vara tidak pernah melapor.
Tiba-tiba Vara menjerit, bersamaan dengan terbukanya pintu. Membuat Amara gelagapan.
Arvin segera menghampiri sang putri. "Kamu kenapa sayang?" tanya pria tampan itu pada sang putri.
"A—anu Mas! Kami cuman bercanda tadi, tapi Vara tiba-tiba nangis begitu saja!" ucap Amara mencoba menghalangi Vara mengadu pada Arvin.
Terlihat mata wanita itu melotot tajam, seolah mengancam Vara melalui mata. Hal yang sering dia lakukan. Tapi ini bukan Vara yang dulu, sekarang si agen berbakat yang ada di tubuh gadis kecil itu.
"Hiks! Hiks! Hiks! Papa, Tante Amala cubit pipi cama pinggang, Vala!" aduh Vara dengan air mata mengalir deras, yang entah bagaimana bisa keluar.
Wah! Mata bocah ini bagus juga, dia bisa mengeluarkan airmata yang banyak. Benar-benar bisa membuat akting ku sempurna! batin Vara bersorak gembira.
Mata Amara membulat sempurna, sedangkan Selvira dan Arvin menatap wanita itu, yang kini di landa kegugupan.
"Nih, Papa. Belbekas, di pinggang Vala!" Vara menunjukkan pinggangnya yang di cubit, terlihat memerah bercampur biru.
Bocah perempuan itu mengangkat baju pasiennya, membuat Selvira merasa geram pada madu nya itu.
"Keterlaluan kamu Mbak! Bisa-bisanya kamu mencubit Putriku, sampai begini!" Selvira memang sabar dan berhati lembut, namun jika menyangkut sang putri. Dia akan melawan.
"Apa benar kamu mencubit Vara?" tanya Arvin dengan suara datar.
Lah! Nih, orang. Sudah di perlihatkan buktinya, malah nanya lagi! Dasar bapak bodoh! maki Vara dalam hati merasa kesal dengan Arvin.
Amara terlihat pucat dan gugup. "M—mas ... tadi aku cuman bercanda ringan kok! Namanya anak-anak 'kan, suka bercanda!" sahut wanita itu beralasan.
Vara yang sedang di obati lukanya oleh Selvira berceletuk, "Papa! Vala cuka becanda, tapi enggak cuka kalau ada kekelacan ficik! Tante ini juga mencubit pipi Vala, aku khawatil pipi Vala jadi adonan loti, kalau di cubit telus!" sahut Vara polos.
Mata Arvin tajam, menatap istri keduanya itu. "Baru saja kamu ingin mengatakan, jika Vara mau kamu asuh! Tapi ternyata kamu sudah mencubitnya!" ucap Arvin.
Amara mendekati suaminya itu. "Mas! Aku —"
"Aku tidak setuju Mas! Jika Mbak Amara, ingin menjaga putri kita. Aku tidak bisa membayangkannya, baru sebentar saja dia sudah menyakiti putriku seperti ini!" potong Selvira cepat.
"Mas—"
"Keluar kamu dari ruangan ini! Kita akan berbicara di mansion!" ucap Arvin dingin.
Tangan Amara mengepal kuat, baru kali ini dia merasa kalah telak dari Selvira dan putrinya. Dulu, dia yang menindas kedua orang itu.
Diam-diam Vara menyeringai puas, melihat kepergian Amara dengan wajah memerah, dia sengaja membiarkan Amara mencubitnya. Karena dia tahu, Arvin akan datang.
Tentu kemampuannya tidak hilang, dia bisa mendeteksi orang yang dekat dengan ruangan itu, hanya dengan suara langkah kakinya.
Ini hadiah perkenalan dari ku, pelakor! Tunggu selanjutnya lagi! batin Vara merasa puas.