Di usia yang seharusnya dipenuhi mimpi dan tawa, Nayla justru memikul beban yang berat. Mahasiswi semester akhir ini harus membagi waktunya antara tugas kuliah, pekerjaan sampingan, dan merawat kedua orang tuanya yang sakit. Sang ibu terbaring lemah karena stroke, sementara sang ayah tak lagi mampu bekerja.
Nayla hanya memiliki seorang adik laki-laki, Raka, yang berusia 16 tahun. Demi mendukung kakaknya menyelesaikan kuliah, Raka rela berhenti sekolah dan mengambil alih tanggung jawab merawat kedua orang tua mereka. Namun, beban finansial tetap berada di pundak Nayla, sementara kedua kakak laki-lakinya memilih untuk lepas tangan.
Di tengah gelapnya ujian hidup, Nayla dan Raka berusaha menjadi pelita bagi satu sama lain. Akankah mereka mampu bertahan dan menemukan secercah cahaya di ujung jalan yang penuh cobaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Askara Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keteguhan dalam Hujan
Langit sore itu gelap, menyimpan hujan yang siap tumpah kapan saja. Di ruangan kecil di kampus, Nayla duduk dengan lelah sambil memeriksa laporan mahasiswa. Sebagai asisten dosen, tugas ini biasa ia lakukan, tetapi hari ini rasanya lebih berat. Kepalanya berdenyut, pikirannya terpecah antara tugas, kondisi di rumah, dan rasa kecewa yang belum hilang setelah pertemuan dengan kakak-kakaknya.
“Nayla,” panggil Pak Irman, dosennya, sambil mendekat. “Kamu nggak apa-apa? Kelihatannya kamu capek sekali.”
Nayla memaksa tersenyum. “Saya baik-baik saja, Pak. Mungkin cuma kurang tidur.”
Pak Irman menatapnya penuh perhatian. “Kalau kamu butuh waktu istirahat, bilang saja. Jangan sampai terlalu memaksakan diri.”
Ucapan itu terdengar tulus, tetapi Nayla tahu ia tak punya pilihan untuk berhenti atau beristirahat. Gaji kecil dari pekerjaan ini sangat penting untuk menutupi kebutuhan di rumah. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, Nayla pamit pulang. Hujan mulai turun saat ia keluar dari kampus, tapi ia tak membawa payung.
Di rumah, suasana terasa berbeda. Raka, yang biasanya menyambut Nayla dengan senyum, duduk diam di ruang tamu sambil menatap kosong ke arah televisi yang tidak dinyalakan.
“Kamu kenapa, Ka?” tanya Nayla sambil meletakkan tasnya.
Raka menoleh perlahan. “Nggak apa-apa, Kak. Aku cuma capek.”
Nayla duduk di sampingnya, merasa ada sesuatu yang tidak biasa. “Raka, kalau ada yang kamu pikirkan, cerita ke aku. Jangan dipendam sendiri.”
Raka menggeleng. “Aku cuma mikir, Kak. Sampai kapan kita harus begini? Aku nggak apa-apa berhenti sekolah, tapi... rasanya nggak ada yang berubah. Ibu masih sakit, ayah masih nggak bisa kerja, dan kita nggak punya siapa-siapa.”
Nayla terdiam. Kata-kata Raka menyentuh luka yang sama yang ia rasakan setiap hari. Tapi ia tahu, sebagai kakak, ia harus kuat.
“Kita nggak tahu sampai kapan, Ka,” jawab Nayla pelan. “Tapi selama kita tetap berjuang, aku percaya akan ada jalan. Kita cuma perlu bersabar.”
Namun, Nayla tahu kata-katanya terasa hampa. Bahkan ia sendiri mulai merasa goyah.
Malam itu, setelah membantu Raka menyelesaikan pekerjaan rumah, Nayla mencoba kembali ke laptopnya untuk melanjutkan tugas akhir. Namun pikirannya terus melayang. Ia merasa tubuhnya berat, seperti seluruh beban dunia ada di pundaknya.
Pikirannya dipenuhi pertanyaan yang terus menghantui: Apakah aku terlalu egois? Haruskah aku menyerah?
Di luar, hujan deras mulai mengguyur, membuat suara gemuruh yang memenuhi malam. Nayla berdiri di dekat jendela, memandang tetesan air yang berjatuhan tanpa henti. Ia merasa seperti hujan itu, jatuh dan hancur tanpa arah.
Tiba-tiba, suara langkah pelan mendekat. Raka berdiri di belakangnya dengan segelas teh hangat di tangan.
“Kak,” ujar Raka pelan. “Kamu nggak apa-apa? Aku tahu kamu juga capek.”
Nayla menoleh, melihat wajah adiknya yang penuh perhatian. Seketika, ia merasa malu. Ia terlalu sibuk memikirkan dirinya sendiri sampai lupa bahwa Raka juga membutuhkan dukungan.
“Aku cuma sedang berpikir,” jawab Nayla jujur.
“Kakak nggak boleh menyerah,” kata Raka dengan suara yang lebih tegas dari biasanya. “Kalau Kakak menyerah, aku nggak tahu harus bagaimana.”
Kata-kata itu membuat Nayla tercekat. Ia menatap Raka yang kini berdiri di hadapannya, menggenggam teh hangat itu dengan kedua tangan.
“Kita udah jauh, Kak,” lanjut Raka. “Aku tahu ini berat, tapi aku percaya sama Kakak. Kita pasti bisa melewati semua ini.”
Dalam hening, Nayla merasakan kehangatan dari adiknya, meskipun di luar hujan terus mengguyur. Ia menyadari bahwa Raka selalu menjadi pelitanya—cahaya kecil yang terus menyala meskipun dunia mereka begitu gelap.
Nayla akhirnya tersenyum, meskipun matanya berkaca-kaca. Ia menerima teh itu dari tangan Raka dan memeluknya erat.
“Terima kasih, Ka,” bisiknya. “Kita pasti bisa.”
Malam itu, setelah hujan mereda, Nayla kembali duduk di depan laptopnya. Dengan semangat yang baru, ia mulai mengetik, huruf demi huruf, seolah menggambarkan keteguhan hatinya yang perlahan tumbuh kembali. Hujan mungkin telah berhenti, tapi perjuangannya masih jauh dari selesai. Dan kali ini, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak berhenti, apa pun yang terjadi.