Elyana Mireille Castella, seorang wanita berusia 24 tahun, menikah dengan Davin Alexander Griffith, CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Namun, pernikahan mereka jauh dari kata bahagia. Sifat Davin yang dingin dan acuh tak acuh membuat Elyana merasa lelah dan kehilangan harapan, hingga akhirnya memutuskan untuk mengajukan perceraian.
Setelah berpisah, Elyana dikejutkan oleh kabar tragis tentang kematian Davin. Berita itu menghancurkan hatinya dan membuatnya dipenuhi penyesalan.
Namun, suatu hari, Elyana terbangun dan mendapati dirinya kembali ke masa lalu—ke saat sebelum perceraian terjadi. Kini, ia dihadapkan pada kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan mereka dan mengubah takdir.
Apakah ini hanya sebuah kebetulan, atau takdir yang memberi Elyana kesempatan untuk menebus kesalahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firaslfn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Sikap Baru
Elyana mulai merasakan perubahan dalam dirinya yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Selama beberapa minggu terakhir, ia memutuskan untuk mengubah pendekatannya terhadap Davin, baik sebagai istri maupun rekan kerja. Ia tahu bahwa langkah ini tidak akan mudah, tetapi ada semangat baru dalam dirinya yang membuatnya yakin. Entah bagaimana, mereka berdua mulai membuka diri satu sama lain—meskipun itu hanya langkah kecil.
Pagi itu, Elyana berdiri di dapur rumah mereka, menyiapkan sarapan. Meskipun tidak ada percakapan yang berarti di antara mereka, Elyana merasa sebuah kehangatan di dalam suasana. Davin masuk ke dapur, mengenakan jas kerja dan ekspresi serius di wajahnya. Namun, kali ini, Elyana tidak merasa takut atau canggung. Ia hanya tersenyum, mencoba berbagi ketenangan dengan pria itu.
"Selamat pagi," katanya, suaranya ringan.
Davin mengerutkan kening sejenak sebelum akhirnya memberikan anggukan kecil. “Pagi.”
Elyana meletakkan secangkir kopi di meja dan duduk di seberangnya. “Aku buatkan kopi favoritmu. Ini untuk hari yang penuh semangat.”
Davin memandang cangkir itu, lalu matanya kembali menatap Elyana, seolah mencari tahu alasan di balik sikapnya yang tiba-tiba. Tanpa sepatah kata pun, ia meminum kopi itu dan sedikit tersenyum, walaupun hanya sekejap.
Hari itu, Elyana memutuskan untuk ikut terlibat dalam pertemuan bisnis di kantor. Ia tidak hanya duduk sebagai istri Davin yang tidak pernah dilibatkan, tetapi kali ini, ia datang sebagai rekan kerja yang berkontribusi. Meski ada sedikit kejutan di mata rekan-rekannya, Elyana tetap berusaha tenang dan fokus pada tugasnya. Ia mulai mengajukan beberapa ide untuk perbaikan proyek yang sedang berjalan, dan meskipun Davin tetap diam, Elyana melihat kilatan keheranan di matanya. Ini adalah pertama kalinya ia melihat Davin tidak sepenuhnya acuh terhadap pendapatnya.
Setelah pertemuan itu, Davin menghampirinya di ruang kerja. “Kamu benar-benar serius tentang ide-ide itu, ya?” tanya Davin, suaranya datar tetapi ada nada yang berbeda, sedikit lebih hangat dibandingkan sebelumnya.
Elyana menatapnya, sebuah senyum tulus muncul di wajahnya. “Iya, aku ingin membantu. Aku ingin melihat perusahaan ini berkembang.”
Davin mengangguk pelan, masih memproses apa yang baru saja terjadi. Di luar, hujan mulai turun, dan suara rintik-rintik hujan di jendela seolah menambah suasana yang tidak biasa itu. Sejak pertemuan itu, Davin mulai memperhatikan Elyana lebih sering. Ada banyak hal yang ia abaikan sebelumnya—cara Elyana berbicara dengan percaya diri, caranya mengambil inisiatif, dan cara ia melangkah dengan penuh ketegasan.
Di malam hari, saat mereka duduk bersama di ruang tamu, Elyana tidak tahu harus memulai percakapan tentang hari itu seperti apa. Namun, keheningan di antara mereka terasa lebih nyaman dibandingkan sebelumnya. Davin yang biasanya hanya merenung di sudut ruangan, kali ini duduk lebih dekat, seolah ingin mendengar lebih banyak.
“Kamu tahu,” kata Elyana, memecah keheningan. “Aku rasa kita bisa memulai sesuatu yang baru.”
Davin menatapnya, ekspresinya kali ini sulit dibaca, tetapi tidak seperti biasanya, tidak ada dinding dingin di antara mereka. “Kita sudah mencoba banyak hal, Elyana. Mengapa sekarang?” tanyanya, suara lembutnya penuh rasa ingin tahu.
Elyana menarik napas dalam-dalam, mencoba menemukan kata-kata yang bisa meyakinkannya. “Karena aku percaya, kita bisa lebih dari sekadar pasangan yang terikat oleh kewajiban. Aku ingin kita menjadi tim, bukan hanya di dunia kerja, tetapi juga di rumah. Aku ingin kita menemukan cara untuk berjalan bersama, bukan hanya berdampingan.”
Davin tidak langsung menjawab, tetapi untuk pertama kalinya, Elyana melihat matanya menyiratkan sesuatu—sesuatu yang mungkin bisa diharapkan. Meski masih ada jarak di antara mereka, ada sebuah awal, sebuah potensi yang akhirnya muncul di antara kepingan-kepingan kisah mereka yang retak.
Elyana menatap Davin yang sibuk membaca dokumen di ruang kerjanya. Tatapan pria itu dingin seperti biasanya, seolah dunia di sekitarnya tidak berarti apa-apa selain pekerjaan. Namun, Elyana tidak menyerah. Ia tahu bahwa untuk meruntuhkan dinding yang dibangun Davin, butuh lebih dari sekadar usaha singkat.
Saat makan malam, seperti biasa, suasana di meja mereka penuh keheningan. Davin hanya memusatkan perhatian pada makanannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Elyana, yang telah mempersiapkan semuanya dengan hati-hati, mencoba memecahkan kebekuan.
“Hari ini aku sempat bertemu dengan klien baru di proyek yang sedang kita kerjakan,” ujar Elyana ringan. “Mereka sepertinya cukup tertarik dengan pendekatan baru yang kita tawarkan.”
Davin berhenti sejenak, lalu memandangnya dengan tatapan yang sulit ditebak. “Kamu seharusnya fokus pada tugasmu saja. Aku yang akan menangani klien,” katanya, suaranya dingin tanpa emosi.
Elyana menahan napas, berusaha untuk tidak merasa kecewa. Ia tahu inilah Davin—pria yang sulit didekati dan selalu memasang tembok tinggi di sekelilingnya. Namun, ia tidak ingin menyerah.
“Aku hanya ingin membantu,” jawab Elyana lembut, tanpa nada menyerang. “Bagaimanapun juga, aku juga bagian dari tim ini.”
Davin tidak menjawab, hanya kembali menyelesaikan makanannya. Elyana merasa usahanya untuk mendekatkan diri tampak sia-sia, tetapi ia mencoba melihat sisi positifnya—setidaknya Davin tidak langsung menolak keberadaannya.
Keesokan harinya di kantor, Elyana kembali mencoba berperan sebagai rekan kerja yang diandalkan. Ia membawa beberapa laporan yang telah ia kerjakan semalaman ke ruang kerja Davin. Saat ia mengetuk pintu dan masuk, Davin tidak mengangkat kepalanya sedikit pun dari layar laptopnya.
“Ada apa?” tanyanya singkat tanpa melihat Elyana.
“Aku sudah menyelesaikan analisis untuk proposal proyek yang baru,” jawab Elyana sambil meletakkan berkas di mejanya. “Aku pikir ini bisa membantumu membuat keputusan lebih cepat.”
Davin akhirnya mengangkat pandangannya, menatap Elyana dengan mata tajam yang selalu membuat orang lain merasa kecil. Namun, Elyana tidak menghindar.
“Terima kasih,” katanya singkat, kemudian kembali fokus pada pekerjaannya.
Meski jawaban itu sangat datar, bagi Elyana itu sudah cukup. Setidaknya Davin tidak mengabaikannya sepenuhnya. Ia memilih untuk menganggapnya sebagai langkah kecil ke arah yang lebih baik.
Malam itu, Elyana kembali mencoba mendekati Davin dengan cara yang berbeda. Ia menunggunya di ruang tamu, membawa segelas kopi yang masih hangat. Saat Davin tiba di rumah, raut lelah terpancar di wajahnya. Namun, ia tetap memancarkan aura dingin yang biasa.
“Kopi?” tawar Elyana sambil mengulurkan gelas.
Davin hanya memandangnya sebentar sebelum mengambilnya tanpa banyak bicara. Ia duduk di sofa dan meneguk kopi itu perlahan. Elyana duduk di sisi lain sofa, menjaga jarak agar tidak membuatnya merasa terintimidasi.
“Aku tahu kamu sibuk,” kata Elyana pelan. “Tapi aku ingin membantu meringankan bebanmu, Davin. Bukan hanya sebagai rekan kerja, tapi juga sebagai istrimu.”
Davin tidak langsung merespons. Ia hanya menatap gelas kopi di tangannya, seolah mencari jawaban di dalamnya.
“Jangan terlalu berharap,” jawabnya akhirnya, suaranya tetap datar. “Aku tidak berubah secepat itu, Elyana.”
Elyana terdiam, tetapi di dalam hatinya ia merasa ada sedikit celah di tembok Davin yang dingin. Mungkin ini memang perjalanan panjang, tetapi ia yakin langkah-langkah kecil ini akan membawa mereka pada sesuatu yang lebih baik.
...****************...