Rere jatuh cinta pada pria buta misterius yang dia temui di Sekolah luar biasa. Ketika mereka menjalin hubungan, Rere mendapati bahwa dirinya tengah mengandung. Saat hendak memberitahu itu pada sang kekasih. Dia justru dicampakkan, namun disitulah Rere mengetahui bahwa kekasihnya adalah Putra Mahkota Suin Serigala.
Sialnya... bayi dalam Kandungan Rere tidak akan bertahan jika jauh dari Ayahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saudari Kembar Arion
Bab 26-
Hari-hari berlalu dengan lambat bagi Rere. Usia kandungannya kini telah memasuki bulan ketiga, dan meskipun perutnya belum terlalu tampak, sedikit tonjolan sudah mulai terlihat. Setiap pagi ketika Rere melihat bayangannya di cermin, dia merasakan campuran antara kebahagiaan dan kekhawatiran. Perutnya akan semakin membesar, dan dengan Putra Mahkota Arion yang masih belum memberikan jawaban tentang kontrak pernikahan, beban di hatinya semakin bertambah.
Selama beberapa waktu terakhir, Arion dikirim untuk menjalani pelatihan prajurit-suatu tugas yang mengharuskannya berada jauh dari istana. Tanpa kehadirannya, hari-hari Rere terasa lebih suram. Areum terus datang ke istana dengan sikap penuh ambisi, selalu mencari kesempatan untuk mendekati Arion, meskipun Arion tidak ada di sana. Setiap kali Rere melihat Areum di istana, ambisi dan kegigihan Areum untuk mendapatkan posisi Putri Mahkota semakin jelas terlihat.
Rere merasa semakin tertekan. Selain beban emosional yang dia rasakan, ketidakpastian tentang masa depan bayi yang sedang dikandungnya membuatnya merasa cemas. Dan setiap kali dia memikirkan Arion, rasa kecewa melingkupinya. Arion belum memberikan jawaban tentang kontrak pernikahan yang dia tawarkan. Rere tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Arion, dan ketidakpastian itu membuatnya semakin terpuruk.
Saat dia termenung di sudut kamarnya, Undine muncul dari dalam kalungnya, melayang dengan cahayanya yang lembut. Undine, yang selalu peka terhadap suasana hati Rere, segera merasakan perubahan yang terjadi pada dirinya.
"Rere, ada apa denganmu?" tanya Undine dengan suara lembut, menghampiri Rere yang duduk termenung di tepi jendela. "Kau terlihat begitu tertekan. Apakah karena Arion belum memberikan jawabannya?"
Rere menghela napas panjang, menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. "Aku tidak tahu, Undine... Aku tidak tahu apa yang sedang kupikirkan. Setiap kali aku melihat Areum di istana, aku merasa semakin tersingkir. Dia sangat ambisius, dan... aku takut Arion lebih memilihnya."
Undine terbang lebih dekat, mencoba menenangkan Rere dengan suara lembutnya. "Jangan berpikir begitu, Rere. Kau tahu bahwa Areum tidak punya ikatan kuat dengan Arion. Kau punya lebih banyak alasan untuk tetap dekat dengannya."
Namun, meskipun Undine mencoba menenangkan, Rere tidak bisa menghilangkan perasaan suram itu. "Tapi, bagaimana jika Arion tidak ingin terlibat dalam pernikahan kontrak ini? Dia mungkin melihat tawaranku sebagai sesuatu yang gila, sesuatu yang tidak masuk akal."
Undine tersenyum lembut, mencoba meyakinkan Rere. "Kau tidak bisa berpikir seperti itu. Arion butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Dan jangan lupa, bayi dalam kandunganmu adalah bagian dari takdir yang lebih besar. Kau harus tetap kuat."
Namun, Undine tahu bahwa kekhawatiran terbesar Rere saat ini bukan hanya tentang perasaan Arion, tapi juga bentuk perutnya yang semakin lama akan semakin besar. Rahasia kehamilannya yang selama ini berhasil dia sembunyikan akan segera terungkap jika mereka tidak segera bertindak.
"Yang harus kau khawatirkan sekarang bukan hanya perasaan Arion atau Areum," lanjut Undine dengan sedikit lebih serius. "Kau tahu bahwa perutmu akan semakin membesar. Segera, kau tidak akan bisa menyembunyikannya lagi. Kita harus mencari cara untuk mengatasi hal ini sebelum semuanya terungkap." Rere mengangguk pelan, menyadari bahwa Undine benar. Dia tidak bisa terus menghindari kenyataan ini. Seiring dengan pertumbuhan bayinya, semakin sulit baginya untuk menyembunyikan kehamilannya, terutama di lingkungan istana yang penuh dengan mata-mata dan pengawas.
"Apa yang harus kulakukan, Undine?" tanya Rere dengan suara pelan, merasa kebingungan.
Undine melayang lebih dekat lagi, menatap Rere dengan tatapan penuh keyakinan. "Untuk sekarang, kau harus tetap tenang. Kita akan menemukan cara untuk melindungimu dan bayi itu. Kau tidak sendiri, Rere. Kau punya aku, dan kita akan menghadapi semua ini bersama.
Rere tersenyum tipis, merasa sedikit lega meskipun kekhawatiran di hatinya masih besar. Dia tahu bahwa perjalanan ke depan akan semakin sulit, tetapi dengan Undine di sisinya, dia percaya bahwa dia bisa melalui semua ini, apa pun yang terjadi.
***
Saat kabar bahwa Putra Mahkota Arion sedang pergi untuk pelatihan prajurit menyebar di istana, Areum De Vorbest melihat ini sebagai kesempatan emas untuk lebih mendekati keluarga kerajaan. Tanpa kehadiran Arion, dia merasa dapat bergerak lebih leluasa untuk melancarkan rencananya.
Namun, Areum selalu merasa terganggu oleh kehadiran Putri Arliana, gadis yang sering terlihat di sekitar istana, dan tampaknya sangat dekat dengan Arion. Rasa cemburu dan ambisi yang membara dalam diri Areum membuatnya tidak suka melihat Arliana, meskipun dia belum mengetahui siapa sebenarnya gadis itu. Bagi Areum, Arliana hanyalah gadis yang mencoba mendapatkan perhatian yang seharusnya menjadi miliknya.
Hari itu, Areum melihat Arliana berjalan di dekat aula istana, dan sebuah rencana licik segera muncul di kepalanya. Dia membawa kalung zamrud berharga yang rencananya akan dia berikan sebagai hadiah untuk Ratu, namun di balik hadiah itu, Areum punya rencana lain.
Areum sengaja menjatuhkan kalung itu di dekat Arliana, memastikan bahwa tidak ada yang memperhatikan apa yang dia lakukan. Setelah itu, dia berteriak, membuat seluruh pelayan dan pengawal di sekitar aula berkumpul.
"Kalung zamrudku hilang!" seru Areum, matanya menyapu sekeliling dengan ekspresi yang dibuat-buat, seolah benar-benar terkejut. "Itu hadiah untuk Ratu! Seseorang pasti mencurinya!"
Keributan segera terjadi, dan beberapa pelayan mulai saling berbisik-bisik. Putri Arliana, yang berada di dekat tempat kejadian, menatap Areum dengan kebingungan, tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Areum melangkah maju, menuduh dengan tatapan tajam. "Aku melihat Putri ini di sekitar sini tadi. Apakah mungkin... dia yang mengambilnya?"
Mendengar tuduhan itu, Arliana segera membela diri. "Apa? Aku tidak mengambil apa pun! Aku bahkan tidak menyentuh kalungmu!"
Namun, sebelum Arliana bisa mengatakan lebih banyak, salah satu pelayan yang memeriksa sekeliling menemukan kalung zamrud itu di dekat tempat Arliana berdiri. Suasana mendadak sunyi, dan semua mata tertuju pada Arliana.
"Lihat!" teriak Areum, suaranya penuh kemenangan. "Kalungku ada di dekatnya. Dia pasti pencurinya!"
Arliana terkejut, wajahnya memerah karena merasa tidak bersalah, namun bukti yang tampaknya memberatkan dirinya. Namun, sebelum tuduhan lebih lanjut bisa dilontarkan, salah seorang pelayan yang lebih senior, yang sudah lama bekerja di istana, melangkah maju dengan ekspresi tegas. "Saya pikir Anda tidak tahu, Nona Areum," ujar pelayan senior itu dengan tenang, namun tegas, "Putri ini adalah Putri Arliana, saudara kembar dari Putra Mahkota Arion. Menuduhnya mencuri adalah kesalahan besar."
Mendengar itu, Areum terdiam kaget. Dia tidak pernah menyangka bahwa gadis yang selama ini dia anggap sebagai saingan adalah saudara kembar Arion. Wajahnya memucat seketika, dan rasa takut mulai menguasai dirinya.
Para pelayan lain yang mendengar penjelasan itu segera menunjukkan ekspresi tidak suka terhadap Areum. Mereka tahu bahwa menuduh Putri Kerajaan tanpa bukti yang kuat adalah tindakan yang sangat serius dan bisa berdampak buruk.
Arliana, yang masih terkejut oleh tuduhan yang dilontarkan padanya, melangkah maju dengan tatapan penuh kemarahan, "Kau menuduhku tanpa alasan, dan sekarang aku tahu kau hanya mencoba menjatuhkanku. Aku tidak akan melupakan ini, Areum."
Areum tak mampu berkata-kata, menyadari bahwa rencananya telah berbalik menyerangnya. Senjata makan tuan, itulah yang kini dihadapinya. Tuduhan yang dia ciptakan sendiri sekarang malah menyeretnya ke dalam masalah besar. Semua orang di sekitarnya mulai menatapnya dengan curiga, dan Areum tahu bahwa kali ini, dia telah melangkah terlalu jauh.
Dan dengan itu, Areum menyadari bahwa ambisinya yang terlalu besar untuk menjadi Putri Mahkota justru membuatnya kehilangan kepercayaan dari orang-orang di istana.
Setelah insiden dengan Areum dan tuduhan palsu soal kalung zamrud, Putri Arliana segera melangkah cepat menuju ruang pribadi Ibunda Ratu Liliana, hatinya penuh dengan kekesalan. Dia tidak tahan dengan tipu daya dan manipulasi seperti yang dilakukan Areum, dan dia merasa bahwa masalah ini harus segera diselesaikan. Ketika dia tiba di ruangan ibundanya, Ratu Liliana, Arliana langsung mengadukan apa yang terjadi, menceritakan dengan detail bagaimana Areum mencoba menjebaknya dengan tuduhan mencuri.
"Ibu, ini tidak bisa dibiarkan," kata Arliana dengan nada serius, meskipun rasa hormat tetap terpancar dalam suaranya. "Areum menuduhku mencuri kalungnya, padahal itu hanya akal-akalan dia. Aku benci berurusan dengan orang yang manipulatif seperti dia."
Ratu Liliana mendengarkan dengan tenang, wajahnya tetap lembut namun penuh perhatian. Dia tahu bahwa Arliana bukan tipe orang yang akan mengeluh tanpa alasan kuat, terutama tentang masalah serius seperti ini.
"Apakah Ibu benar-benar ingin menjadikan Areum dari keluarga Vorbest sebagai Putri Mahkota?" tanya Arliana dengan tegas, suaranya dipenuhi dengan ketidaksetujuan yang jelas. "Aku tidak bisa membayangkan seseorang dengan perangai seperti itu berdiri di sisi Arion. Dia bukan orang yang bisa dipercaya."
Ratu Liliana menghela napas pelan, tatapannya melembut saat dia menatap putri kembarnya yang marah. "Arliana, aku tahu kau tidak menyukai apa yang terjadi, dan aku tidak menyalahkanmu untuk itu. Areum memang tampak ambisius, tapi kita harus tetap bertindak dengan bijaksana.
"Tapi Ibu, dia bukan orang yang baik," Arliana bersikeras. "Dia mencoba menjebakku dengan tuduhan palsu, dan dia akan melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Bagaimana kita bisa mempercayainya?"
Ratu Liliana tersenyum lembut, lalu meraih tangan Arliana, memintanya untuk duduk. "Aku mengerti, sayang. Namun, keputusan tentang siapa yang akan menjadi Putri Mahkota tidak berada di tanganku," jelasnya dengan nada yang penuh kebijaksanaan. "Seperti yang sudah pernah Ibu katakan, itu adalah keputusan yang akan ditentukan oleh Arion sendiri." Arliana terdiam sejenak, lalu menghela napas, meskipun rasa frustrasinya masih ada. "Tapi... Arion mungkin tidak tahu semua yang aku tahu tentang Areum. Bagaimana jika dia membuat keputusan yang salah?"
Ratu Liliana menatap Arliana dengan lembut, mengusap punggung tangannya. "Arion bukan orang yang mudah terpengaruh, Arliana. Dia bijak, dan dia akan membuat keputusan yang benar. Kita harus mempercayai dia untuk menentukan siapa yang layak di sisinya."
Meskipun masih merasa tidak puas, Arliana mengangguk pelan. Dia tahu bahwa ibundanya benar-Arion adalah orang yang bijaksana, dan dia pasti akan mempertimbangkan dengan matang keputusan apapun yang dia buat. Tapi tetap saja, perasaan tidak suka terhadap Areum terus membayangi pikirannya.
"Aku hanya ingin melindungi Arion dari orang-orang yang akan memanfaatkannya," bisik Arliana, suaranya lebih lembut sekarang.
Ratu Liliana tersenyum, lalu menepuk tangan putrinya. "Dan itulah sebabnya kau adalah saudara kembar yang baik, Arliana. Tapi percayalah, pada akhirnya, kebenaran akan terungkap, dan mereka yang tidak jujur akan mendapat balasan dari tindakan mereka."
Meski hatinya masih belum sepenuhnya tenang, Arliana merasa sedikit lega mendengar kata-kata ibundanya. Dia tahu bahwa Areum akan terus menjadi ancaman, tetapi untuk saat ini, dia harus mempercayai bahwa Putra Mahkota Arion akan membuat keputusan yang bijaksana, dan bahwa keadilan pada akhirnya akan berpihak pada kebenaran.
Dengan itu, Arliana mengangguk hormat pada ibundanya sebelum berpamitan, sementara di dalam hatinya, dia masih menyimpan tekad kuat untuk melindungi saudaranya dari segala ancaman yang mengintai.
Di tengah hutan yang sunyi dan damai, Raja Peri Acros berdiri di bawah naungan pohon kehidupan yang agung. Udara hutan peri terasa sejuk, dan ketenangan yang memancar dari alam di sekitarnya seolah membawa rasa lega setelah banyaknya masalah yang harus dia hadapi. Untuk sesaat, Raja Peri merasa beban di pundaknya sedikit berkurang, terutama setelah mengetahui bahwa retakan dunia bawah telah lenyap.
Meskipun dia tahu bahwa ini hanya bersifat sementara, ketenangan sementara ini tetap membuatnya merasa sedikit lebih tenang. "Selama beberapa waktu ini, dunia peri bisa menikmati ketenangan," pikirnya sambil menatap pohon kehidupan yang megah di hadapannya. Namun, di balik ketenangan itu, Acros tahu bahwa ancaman dari dunia bawah belum benar-benar hilang, dan masa depan cicitnya yang akan segera lahir selalu ada di pikirannya.
Di sampingnya, Kakek Sol, peri tua yang selalu setia menemani dan melindungi hutan, mendekat dengan langkah-langkah lambat namun penuh kebijaksanaan. "Apakah kau benar-benar merasa lega, Acros?" tanya Kakek Sol dengan nada suara yang rendah namun serius. "Kau tahu bahwa retakan ini belum benar-benar hilang. Ini hanya soal waktu sebelum ancaman itu kembali."
Raja Peri menoleh ke arah Kakek Sol, mengangguk pelan. "Aku tahu ini belum berakhir, Sol. Tapi selama kita masih punya waktu... setidaknya aku bisa melindungi cicitku yang akan segera lahir. Itu prioritas utamaku sekarang."
Kakek Sol mengerutkan kening, kemudian menatap Acros dengan tatapan tajam. "Dan bagaimana dengan ramalan, Acros? Apakah kau tidak khawatir tentang apa yang ramalan katakan? Dunia bawah, retakan, dan takdir yang mungkin akan melibatkan cicitmu?"
Raja Peri Acros terdiam sejenak, menimbang pertanyaan itu dalam-dalam. Ramalan yang telah turun selama generasi-generasi peri mengisyaratkan bahwa cicitnya akan memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan dunia-namun di sisi lain, ada kemungkinan besar bahwa cicitnya juga bisa menjadi kunci untuk mengakhiri ancaman dari dunia bawah. Itu adalah beban besar yang harus dia tanggung.
"Aku tidak bisa mengabaikan ramalan itu," jawab Acros pelan. "Tapi aku juga tidak bisa membiarkan cicitku hidup dalam ketakutan akan takdirnya. Aku akan melakukan apapun untuk melindunginya, bahkan jika dunia menuntut sebaliknya."
Kakek Sol memandangi Acros dengan tatapan penuh pengertian, tapi kemudian dia bertanya pertanyaan yang lebih berat. "Acros, jika pada akhirnya kau harus memilih... apakah kau rela mengorbankan cicitmu?"
Pertanyaan itu menghantam Raja Peri Acros seperti pukulan keras. Mata Acros melebar sedikit, dan dia menundukkan kepalanya sejenak. Dalam hatinya, dia tahu bahwa ramalan tersebut bisa saja memaksanya menghadapi keputusan terberat dalam hidupnya-memilih antara keselamatan cicitnya dan keseimbangan dunia.
Setelah keheningan yang panjang, Acros akhirnya berbicara dengan suara rendah namun penuh kepastian. "Aku akan melakukan apa pun yang diperlukan untuk melindungi dunia ini, Kakek Sol. Tapi cicitku... dia adalah darahku. Jika ada cara lain, aku akan menemukan jalan itu."
Kakek Sol mengangguk pelan, seolah mengerti apa yang sedang dirasakan oleh Raja Peri. "Terkadang, takdir membawa kita ke jalan yang tak terduga, Acros. Aku harap kau siap menghadapi segala kemungkinan. Ramalan tidak bisa dihindari, hanya bisa dijalani."
Raja Peri menatap pohon kehidupan yang besar, pikirannya penuh dengan pertanyaan dan kekhawatiran. Meskipun ketenangan sementara telah datang, dia tahu bahwa badai besar mungkin sedang menunggu di cakrawala. Dan ketika saatnya tiba, dia harus siap-untuk dunia peri, untuk keseimbangan, dan untuk cicitnya yang dia cintai lebih dari apa pun.
Dalam hatinya, Acros berdoa, berharap dia tidak akan pernah dipaksa untuk membuat keputusan yang bisa menghancurkan hatinya.
pliz jgn digantung ya ...
bikin penasaran kisah selanjutnya
apa yg dimaksud dgn setengah peri dan manusia? apakah rere?