“Meski kita sudah menikah, aku tidak akan pernah menyentuhmu, Mbi. Haram bagiku menyentuh wanita yang tidak mampu menjaga kesuciannya seperti kamu!” Kalimat itu Ilham ucapkan dengan tampang yang begitu keji, di malam pertama mereka.
Selain Ilham yang meragukan kesucian Arimbi walau pria itu belum pernah menyentuhnya, Ilham juga berdalih, sebelum pulang dan menikahi Arimbi, pria itu baru saja menikahi Aisyah selaku putri dari pimpinan tertinggi sekaligus pemilik pondok pesantren, Ilham bernaung. Wanita yang Ilham anggap suci dan sudah selayaknya dijadikan istri.
Arimbi tak mau terluka makin dalam. Bertahun-tahun menjadi TKW di Singapura demi membiayai kuliah sekaligus mondok Ilham agar masa depan mereka setelah menikah menjadi lebih baik, nyatanya pria itu dengan begitu mudah membuangnya. Talak dan perpisahan menjadi satu-satunya cara agar Arimbi terbebas dari Ilham, walau akibat talak itu juga, Arimbi mengalami masa-masa sulit akibat fitnah yang telanjur menyebar.
(Merupakan kisah Mas Aidan, anak Arum di novel : Pembalasan Seorang Istri yang Dianggap Sebagai Parasit Rumah Tangga)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29 : Menjaga Ayah Mas Aidan
Asiyah dan segala kebenciannya kepada Armbi. Ditambah kini wanita itu malah melepas tutup wajah bahkan kepalanya. Benar-benar kenyataan yang membuat Arimbi ngeri. Jujur, Arimbi juga jadi takut. Namun hanya sebatas itu tanpa mau berlebihan. Karena andai sampai berlebihan, Arimbi yakin, yang ada Aisyah akan merasa menang. Walau jujur saja, cara Aisyah yang selalu memperlakukannya dengan kasar, menjadi alasan Arimbi tidak menyukai wanita itu.
***
Pagi-pagi sekali, selepas subuh, Arimbi dikejutkan oleh lemparan batu cadas terbilang besar yang mengenai punggungnya. Lemparan tersebut berasal dari pohon mangga yang ada di depan rumah orang tua Ilham. Yang mana di sana, Aisyah yang tidak memakai jilbab maupun cadar hingga tampangnya sangat seram, menjadi pelakunya.
“Maaf, waktuku terlalu berharga untuk berurusan dengan orang seperti kamu!” kesal Arimbi yang sempat menghentikan laju motornya. Ia menatap Aisyah dengan tatapan tak kalah bengis dari apa yang ia dapatkan dari Aisyah.
Melihat tingkah Aisyah yang selalu cari gara-gara, Arimbi jadi curiga, memang ada rencana khusus yang disiapkan oleh wanita itu.
“Aku harus hati-hati. Takutnya dia sengaja membuatku balas menye-rangnya agar dia bisa memperkarakan aku!” pikir Armbi.
Aktivitas sekaligus kesibukan Arimbi hari ini, nyaris tidak ada yang berbeda. Namun hadirnya mas Aidan yang tampak mencari-cari, mendadak membuat semuanya berbeda. Mas Aidan tengah mencari bubur sumsum maupun bubur ayam untuk sang ayah yang tengah sakit dan kini ada di klinik tak jauh dari pasar Arimbi jualan.
“Masuk ke dalam pasar baru ada, Mas! Kalau di pinggir kebanyakan tukang gorengan sama es. Sebentar saya carikan!” ucap Arimbi buru-buru pergi.
“Eh, dagangan Mbak gimana?” tahan Mas Aidan masih duduk di motornya, tapi ia beranjak turun.
“Titip bentar, Mas. Saya cuma pergi bentar, kok. Daripada Mas yang pergi dan harus serba cari, pasti lama. Kasihan pak Kalandra nanti tambah menunggu!” sergah Arimbi yang dengan cekatan langsung pergi.
Tak butuh waktu tiga menit, Arimbi sudah kembali. Arimbi tak hanya membawa satu kantong berisi bubur sumsum dan juga tiga porsi bubur ayam layaknya yang mas Aidan cari. Karena di kantong yang dikendalikan tangan kiri, juga ada satu buah melon, satu sisir pisang matang, dan juga beberapa pir madu.
“Ini banyak banget?” tanya Mas Aidan masih berdiri di balik meja Arimbi dagang. Sudah ada beberapa bungkus pecel yang disediakan di sana, hingga walau ada yang beli, Mas Aidan tidak bingung. Yang membuat tugas mas Aidan menjaga dagangan Arimbi makin mudah, tentu karena dirinya juga sudah tahu setiap harga dagangan Arimbi.
“Buat pak Kalandra,” balas Arimbi yang kemudian memberikan paksa kedua kantong yang ia bawa kepada mas Aidan.
Matahari pagi sudah terbilang hangat karena kini baru sekitar pukul tujuh pagi. Namun, suasana di sana sudah sangat ramai lantaran kini menjadi hari pasaran.
“Saya bayar!” kesal mas Aidan.
“Jangan, Mas. Itu buat pak Kalandra, dari saya!” yakin Arimbi yang lagi-lagi terlibat perdebatan dengan mas Aidan hanya karena hadiah yang ia berikan.
“Mbak, ih. Nanti kalau Mbak terus begini, saya enggak mau kenal Mbak lagi!” balas Mas Aidan yang kali ini sengaja mengancam.
“Loh, kok gitu?” balas Arimbi kebingungan dan buru-buru menyiapkan pesanan pembeli yang baru saja datang.
Mas Aidan menunggu di sana, hingga Arimbi selesai mengurus pembelinya.
“Mbak, ini berapa?” tanya mas Aidan masih berusaha sabar.
“Memangnya kalau saya mau kasih, enggak boleh, ya?” tanya Arimbi merasa serba salah karena biar bagaimanapun, ia sangat selalu ingin membantu mas Aidan yang sudah banyak membantunya.
“Boleh, tapi jangan banyak-banyak karena Mbak Arimbi harus bekerja sendiri untuk mengurus biaya kehidupan Mbak dan ibu Mbak. Belum lagi, Ibu Mbak juga harus mendapatkan penanganan khusus,” yakin mas Aidan penuh pengertian.
“Ini habis berapa?” lanjut Mas Aidan kali ini serius.
Arimbi jujur, dan langsung mendapat uang ganti ruginya. Mas Aidan membayar lebih dan berdalih karena tak mau membebani Arimbi. Sebagai gantinya, Arimbi memberikan pecel lontong lengkap dengan gorengan. Kali ini mas Aidan menerima dengan dalih untuk sarapan karena kebetulan, Mas Aidan belum sarapan.
“Satu lagi, Mbak,” ucap mas Aidan sembari menerima satu kantong berukuran sedang berisi pecel lengkapnya, dari tangan kanan Arimbi. Ia menatap mata sendu Arimbi dengan tatapan yang begitu teduh. “Yang sakit bukan papah Kalandra, tapi ayah saya.”
“Loh, maksudnya? Memangnya papah sama ayah, apa bedanya, Mas?” tanya Arimbi yang benar-benar bingung. Malahan tiba-tiba saja, ia juga merasa sangat bodoh lantaran tak bisa membedakan antara ayah dan papah.
“Papah ya papah Kalandra, kalau ayah ya ayah kandung saya, ... ayah Angga. Mereka sama-sama spesial karena peran mereka. Namun daripada kepada ayah, saya memang lebih dekat dengan papah Kalandra,” jelas mas Aidan.
Arimbi mengangguk-angguk paham. “Baik, Mas saya paham. Sebelumnya saya minta maaf.”
Kemudian tatapan mas Aidan tertuju pada dagangan Arimbi yang nyaris habis. “Dagangan Mbak sudah nyaris habis, habis ini Mbak mau ngapain? Tapi sore lanjut dagang, kan?”
Arimbi yang mengangguk-angguk, refleks menoleh ke belakang, menatap kilat dagangannya yang memang nyaris ludes karena beberapa orang sampai memborong untuk acara khusus. “Iya, alhamdullilah, Mas. Dari tadi banyak yang borong. Kalau dagang lagi paling ya sore.”
“Berarti, Mbak sudah ada waktu luang, dong?” tanya mas Aidan memastikan.
“Waktu luang?” balas Arimbi.
Singkat cerita, setelah sampai memborong sisa dagangan Arimbi, mas Aidan meminta bantuan Arimbi untuk menjaga sang ayah karena ia ada sidang kasus sangat penting di kabupaten. Mas Aidan tak mau membuat sang ayah menjalani masa-masa sakitnya sendiri, dan mas Aidan berjanji, sebelum pukul satu siang nanti, dirinya sudah kembali. Sementara alasan mas Aidan sampai meminta bantuan orang karena memang sang ayah tak memiliki anak lain selain dirinya. Juga kenyataan pak Angga yang memang merupakan duda. Pak Angga memang masih memiliki saudara, tapi semua saudaranya memiliki kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan.
“Ayah, ini Mbak Arimbi. Mbak Arimbi akan menemani Ayah, selama aku pergi. Hari ini aku ada sidang kasus penting di kabupaten yang benar-benar tidak bisa aku tinggalkan,” ucap mas Aidan setelah sebelumnya membangunkan pak Angga, dengan sangat hati-hati.
Pak Angga dirawat di salah satu klinik tak jauh dari pasar. Arimbi langsung memberikan senyum terbaiknya ketika pria baya yang mas Aidan kenalkan kepadanya, langsung tersenyum ramah kepadanya.
“Kalau ada apa-apa langsung kabari yah, Mbak!” pesan mas Aidan yang sudah naik motor gede warna hitamnya, kepada Arimbi yang sampai mengantarnya hingga teras depan klinik.
“Iya, Mas. Mas hati-hati, ya.” Arimbi masih menyikapi dengan tenang, dan langsung pergi tak lama dari kepergian mas Aidan yang juga sampai menekan klakson motornya.