Prang!!!
Seeeeettt!!
Hujan deras menyelimuti malam ketika Hawa Harper mendapati sebuah mobil mewah terguling di jalan sepi. Di balik kaca pecah, ia melihat seorang pria terluka parah dan seorang anak kecil menangis ketakutan. Dengan jantung berdebar, Hawa mendekat.
“Jangan sentuh aku!” suara pria itu serak namun tajam, meski darah mengalir di wajahnya.
“Tuan, Anda butuh bantuan! Anak Anda—dia tidak akan selamat kalau kita menunggu!” Hawa bersikeras, melawan ketakutannya.
Pria itu tertawa kecil, penuh getir. “Kau pikir aku percaya pada orang asing? Kalau kau tahu siapa aku, kau pasti lari, bukan menolong.”
Tatapan Hawa ragu, namun ia tetap berdiri di sana. “Kalau aku lari, apa itu akan menyelamatkan nyawa anak Anda? Apa Anda tega melihat dia mati di sini?”
Ancaman kematian anaknya di depan mata membuat seorang mafia berdarah dingin, tak punya pilihan. Tapi keputusan menerima bantuan Hawa membuka pintu ke bahaya yang lebih besar.
Apakah Hawa akan marah saat tahu kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Sentuhan Tak Disengaja
Pagi yang cerah menyambut di mansion Harrison. Hawa sedang mempersiapkan sarapan untuk Emma, yang pagi ini terlihat lebih ceria dari biasanya. Gadis kecil itu duduk di meja makan sambil mengayunkan kakinya dan menatap Hawa dengan mata berbinar.
“Kak Hawa, nanti jemput aku di sekolah ya?” pinta Emma tiba-tiba, suaranya penuh harapan.
Hawa terkejut mendengar permintaan itu. “Eh, jemput kamu? Bukannya biasanya Papa kamu yang jemput?”
Emma cemberut manja. “Aku mau Kak Hawa yang jemput. Teman-teman aku sering cerita kalau mama mereka yang jemput. Aku pengen juga, Kak. Aku pengen rasain diantar jemput sama mama, atau… sama Kak Hawa.”
Hawa terdiam. Kata-kata Emma begitu menyentuh hatinya. Ia tahu betapa besar kerinduan Emma untuk memiliki figur seorang ibu. Namun, Hawa juga merasa khawatir. Pekerjaannya di rumah sakit membuat jadwalnya tidak menentu.
“Emma, Kak Hawa nggak selalu bisa datang tepat waktu, lho. Kalau Kakak terlambat, kamu harus sabar menunggu, ya?” ujar Hawa dengan lembut, mencoba memberi pengertian.
Emma mengangguk cepat. “Aku janji bakal nunggu, Kak. Asal Kakak jemput aku.”
Saat itu, Harrison masuk ke ruang makan, mendengar percakapan mereka. Ia mendekati meja dan menatap Emma dengan tegas. “Emma, lebih baik Papa saja yang jemput kamu. Itu lebih aman dan pasti.”
Namun, Emma menggeleng keras. “Enggak, aku maunya Kak Hawa! Papa selalu sibuk, dan aku pengen ngerasain seperti teman-temanku.”
Harrison terdiam, tatapannya melunak. Permintaan Emma begitu sederhana, namun ia sadar bahwa itu adalah sesuatu yang tidak bisa selalu ia penuhi. Ia melihat Hawa, seolah meminta pendapat.
Hawa tersenyum lembut. “Baiklah, Emma. Kakak akan jemput kamu. Tapi kamu harus janji, kalau Kakak terlambat, kamu harus menunggu dengan sabar.”
Emma bersorak gembira, melompat dari kursinya dan memeluk Hawa erat. “Makasih, Kak Hawa! Kamu yang terbaik!”
Melihat itu, Harrison hanya bisa menghela napas panjang. Dalam hatinya, ia merasa terharu sekaligus sedikit cemburu. Dia melakukan sesuatu yang aku tidak bisa berikan pada Emma. Mungkin memang Hawa adalah sosok yang Emma butuhkan.
***
Hari itu berlalu dengan cepat. Malam harinya, setelah memastikan Emma tertidur, Hawa dan Harrison berbincang sejenak di ruang tamu. Suasana malam yang tenang membuat mereka berbicara dengan lebih santai.
“Aku tidak tahu harus bilang apa, Tuan Harrison,” kata Hawa pelan. “Emma adalah anak yang luar biasa. Dia hanya butuh perhatian lebih.”
Harrison mengangguk. “Aku tahu itu. Tapi terkadang, aku merasa gagal sebagai papanya. Aku terlalu sibuk, terlalu sering meninggalkan dia sendirian.”
Hawa menatap Harrison, melihat sisi rapuh yang jarang ia tunjukkan. “Emma tahu Papa-nya mencintainya. Tapi anak-anak memang butuh sosok yang selalu ada, meski hanya untuk hal-hal kecil. Maaf Tuan, bukan bermaksud menyinggung.”
Harrison terdiam, merenungkan kata-kata Hawa. Dalam hatinya, ia merasa berterima kasih pada wanita itu karena telah menjadi figur yang begitu penting bagi Emma.
"Tidak, Hawa. Kamu benar, aku akan coba untuk memberikan waktu lebih pada Emma." jawab Harrison.
Malam semakin larut. Hawa yang haus memutuskan pergi ke dapur untuk mengambil air. Namun, gelas yang ia butuhkan tersimpan di rak yang tinggi, dan ia kesulitan mencapainya.
Saat ia mencoba meraih gelas itu, sebuah tangan besar tiba-tiba mengambilnya untuknya. Hawa berbalik, terkejut melihat Harrison berdiri di belakangnya.
“Maaf, aku tidak tahu Anda ada di sini,” kata Hawa dengan gugup.
Harrison hanya tersenyum tipis, lalu memberikan gelas itu padanya. “Tidak apa-apa. Aku hanya sekalian mengambil kopi.”
Namun, saat Hawa hendak mengambil gelas dari tangan Harrison, jari mereka bersentuhan. Sentuhan itu singkat, namun cukup membuat keduanya salah tingkah.
“Maaf,” kata Harrison cepat, menarik tangannya.
“Tidak apa-apa,” balas Hawa, wajahnya sedikit memerah.
Mereka terdiam sejenak, sebelum akhirnya Hawa berkata, “Aku rasa, saya harus kembali ke kamar.”
Harrison hanya mengangguk, memandang punggung Hawa yang menjauh. Dalam hatinya, ia merasa jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu tentang dia yang berbeda... sesuatu yang membuatku tidak bisa mengabaikannya.
Keesokan harinya, Emma kembali menjadi pusat perhatian di mansion. Gadis kecil itu terus menggoda Hawa dengan permintaannya untuk diantar ke sekolah.
“Kak Hawa, nanti antar aku, ya? Jangan lupa!” seru Emma sambil memeluk Hawa erat.
Hawa tertawa kecil. “Iya, Emma. Kakak janji.”
Melihat keakraban itu, Harrison hanya bisa tersenyum tipis. Dalam hatinya, ia tahu bahwa Hawa telah membawa kebahagiaan yang berbeda dalam hidup mereka. Meskipun ia mencoba menyangkalnya, ia tidak bisa mengabaikan perasaan hangat yang muncul setiap kali melihat interaksi Hawa dan Emma.
***
Malam itu, saat Hawa sedang membantu Emma bersiap tidur, Harrison datang untuk mengucapkan selamat malam pada putrinya.
“Papa, lihat! Kak Hawa sudah bantu aku pilih piyama,” kata Emma ceria, menunjuk pakaian tidurnya.
“Bagus sekali,” jawab Harrison sambil tersenyum.
Namun, ketika Hawa hendak bangkit dari tempat tidur, tangan mereka kembali bersentuhan. Kali ini, sentuhan itu tidak disengaja, namun cukup untuk membuat keduanya saling bertatapan.
“Maaf,” kata Harrison pelan.
“Aku juga,” balas Hawa, cepat-cepat berdiri.
Namun, Emma yang sudah mengantuk tidak menyadari kecanggungan itu. Gadis kecil itu hanya memeluk Hawa erat sebelum akhirnya tertidur.
Harrison memperhatikan Hawa yang dengan hati-hati menyelimuti Emma. Dalam hati, ia kembali merasakan kekaguman yang sulit ia jelaskan. Dia tidak hanya tulus, tapi juga membawa kehangatan yang sudah lama hilang dari hidupku.
Setelah memastikan Emma tertidur dengan lelap, Hawa perlahan melangkah keluar dari kamar. Namun, di lorong yang sedikit remang, langkahnya terhenti saat melihat Harrison berdiri tidak jauh dari pintu. Pria itu tampaknya sedang menunggu untuk memastikan semuanya baik-baik saja.
“Oh, Anda masih di sini, Tuan Harrison?” tanya Hawa pelan, mencoba memecah keheningan.
Harrison mengangguk. “Ya, aku hanya memastikan Emma sudah tidur. Dia kadang suka terbangun di tengah malam.”
Hawa mengangguk kecil, merasa canggung dengan tatapan pria itu yang seolah tidak lepas darinya. “Emma sudah tidur nyenyak. Dia sangat lelah setelah seharian beraktivitas.”
“Terima kasih, Hawa,” ujar Harrison tiba-tiba, suaranya rendah namun tulus.
Hawa mengerutkan kening, tidak mengerti maksud ucapannya. “Untuk apa, Tuan?”
“Untuk semuanya,” jawab Harrison sambil menatapnya. “Emma terlihat sangat bahagia sejak kamu ada di sini. Dia merasa lebih dicintai, lebih diperhatikan... sesuatu yang mungkin tidak bisa selalu aku berikan sebagai seorang papa.”
Hawa tersenyum kecil, merasa tersentuh oleh kata-kata itu. “Emma adalah anak yang luar biasa. Siapa pun pasti ingin mencintainya. Anda tidak perlu berterima kasih untuk hal itu.”
Harrison terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Tapi aku tetap merasa kamu membawa sesuatu yang berbeda ke dalam hidupnya... juga ke dalam hidup saya.”
Pernyataan itu membuat Hawa terkejut. Ia menunduk sedikit, tidak tahu harus berkata apa. Ada kehangatan dalam suara Harrison yang membuatnya merasa salah tingkah.
“Maaf, kalau saya terlalu banyak bicara,” kata Harrison akhirnya, menyadari kecanggungan yang mulai muncul.
“Tidak, tidak apa-apa,” balas Hawa cepat, mengangkat wajahnya untuk menatap Harrison. Namun, tatapan mereka bertemu, dan untuk beberapa detik, keduanya terdiam tanpa berkata-kata.
Hawa buru-buru memalingkan wajahnya, mencoba menyembunyikan rasa canggung yang kini menyelimuti dirinya. “Aku rasa, aku harus kembali ke kamar.”
Harrison mengangguk pelan. “Ya, tentu.”
Namun, saat Hawa hendak melangkah pergi, langkahnya terhenti ketika Harrison tanpa sengaja menyentuh lengannya. Sentuhan itu singkat, namun cukup untuk membuat keduanya kembali salah tingkah.
“Maaf, saya tidak sengaja,” kata Harrison cepat, menarik tangannya.
“Tidak apa-apa,” jawab Hawa, suaranya sedikit bergetar.
Keduanya terdiam lagi, suasana di antara mereka begitu canggung namun juga penuh dengan sesuatu yang sulit dijelaskan.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya, jangan lupa like dan komentarya ya.