“Baik, kalau begitu kamu bisa bersiap untuk menyambut kematian mama! Mama lebih baik mati!” Ujar Yuni mencari sesuatu yang tajam untuk mengiris urat nadinya.
Alika tidak percaya dengan apa yang di lakukan Yuni, sebegitu inginnya Yuni agar Alika mengantikkan kakaknya sehingga Yuni menjadikan nyawanya sebagai ancaman agar Alika setuju.
Tanpa sadar air bening dari mata indah itu jatuh menetes bersama luka yang di deritanya akibat Yuni, ibu kandung yang pilih kasih.
Pria itu kini berdiri tepat di depannya.
“Kamu siapa?” Tanya Alika. Dia menebak, jika pria itu bukanlah suaminya karena pria itu terlihat sangat normal, tidak cacat sedikitpun.
Mendengar pertanyaan Alika membuat pria itu mengernyitkan alisnya.
“Kamu tidak tahu siapa aku?” Tanya pria itu menatap Alika dengan sorot mata yang tajam. Dan langsung di jawab Alika dengan gelengan kepala.
Bagaimana mungkin dia mengenal pria itu jika ini adalah pertama-kalinya melihatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 6
Sinar matahari yang masuk menebus tirai, lalu suara dering ponsel memenuhi ruangan itu membangunkan Alika yang tadi begitu lelap dalam mimpi.
Alika menggapai ponselnya yang tergeletak di atas meja di depannya. Perlahan-lahan Alika duduk setelah merenggangkan tubuhnya yang terasa sakit akibat tidur di atas sofa menjaga Brian semalaman.
“Iya ma.” Tanya Alika saat sudah mengangkat panggilan masuk dari Yuni.
“Kenapa kemarin kamu pulang tidak bilang-bilang mama?” suara Yuni dari seberang sana terdengar lembut.
“Maaf ma, kemarin aku buru-buru, Aku juga tidak mau membuat adik iparku menunggu lama di luar.” Bohong Alika, dia tahu jika kemarin dia pamit saat pulang, Yuni pasti tidak menggubrisnya
Alika tahu, pasti ada apa-apanya jika ibunya itu menelepon dengan nada lembut, apalagi pagi-pagi seperti ini. Alika hafal betul bagaimana sifat ibunya.
Yang pasti, Yuni tidak akan basa-basi menelepon kalau hanya untuk menanyakan kabarnya. Apalagi hanya untuk bertanya kenapa kemarin dia tidak pamit saat pulang.
“Kapan kamu akan pulang ke rumah lagi?” Tanya Yuni semakin menguatkan firasat Alika jika pasti ibunya itu punya maksud lain meneleponnya.
“Kenapa ma?” Tanya Alika.
“Kalau kamu pulang ke rumah, sebaiknya ajak lagi adik iparmu itu. Kemarin mama tidak sempat menemuinya.” Kata Yuni.
Dan bisa Alika tebak, Brian adalah sebab utama ibunya menelepon pagi ini. Pasti Helen sudah cerita pada ibunya jika dia bertemu dengan Brian. Dan, pasti Helen tertarik pada Brian karena ketampanan Brian.
“Baik ma.” Sahut Alika tak semangat.
“Apa adik iparmu itu tinggal di rumah itu juga?” Tanya Yuni.
“Iya ma, Brian juga tinggal di rumah ini.” Jawab Alika.
“oiya? Hemm, kalau kamu tidak punya kesempatan untuk pulang ke rumah, biar kakakmu saja yang ke sana, sekalian untuk melihat-lihat tempat tinggal mu dan Daniel.”
“Baik ma, tapi aku harus bertanya dulu pada Daniel dan Brian.” Kata Alika.
Ya, dia memang harus meminta izin pada Daniel atau Brian saat aku mengundang tamu ke rumah ini. Karena dia bukan pemilik rumah, bisa di bilang dia hanya menumpang di rumah itu dengan status sebagai istri Daniel.
Tebakan Alika benar, jika Helen memang tertarik pada Brian, dan dia pasti meminta Yuni untuk mendekatkan dia dengan Brian melalui Alika.
Mereka berdua, Ibu dan anak perempuan sama-sama memiliki niat yang sama. Sama-sama terus menerus memanfaatkan Alika.
Beberapa hari yang lalu Alika di manfaatkan untuk menggantikan Helen yang memang jelas-jelas awal adalah terikat perjanjian nikah dengan Daniel. Dan sekarang dia ingin di manfaatkan untuk membuat Helen mendapatkan Brian.
Alika hanya di jadikan mereka sebagai papan lompatan untuk mencapai keinginan keduanya.
Alika ingin menertawakan dirinya sendiri, dia merasa hidupnya di keluarga Nugroho terlalu lucu. Seakan sengaja di lahir kan hanya untuk kepentingan ibunya dan juga kakaknya. Bagaimana bisa ibunya se-pilih kasih itu?
“Kamu cepatlah bertanya, biar kakakmu bisa cepat ke sana.” Kata Yuni.
“Aku belum bisa bertanya pada Daniel karena dia sedang tidak ada rumah ma, nanti kalau Daniel sudah kembali aku pasti akan langsung bertanya padanya.” Ucap Alika.
“Bagaimana jika kamu bertanya saja pada Brian, jadi tidak perlu menunggu Daniel.” Kata Yuni lagi kekeh agar Helen bisa cepat-cepat bertamu ke rumah Daniel.
“Brian sedang tidak ada ma, jadi aku tidak bisa bertanya juga padanya.” Sahut Alika berbohong.
“Alah, bilang saja itu hanya alasan agar kakakmu tidak datang ke sana iyakan!” Suara Yuni terdengar marah.
“Dasar anak tidak tau di untung kamu! Pagi-pagi sudah bikin mama naik darah!” Sambung Yuni menghardik Alika.
Alika menahan tangis, menahan supaya air matanya tidak jatuh, mencoba menguatkan diri.
“Sepertinya tidak ada gunanya bicara sama kamu!” Ujar Yuni langsing mematikan panggilannya.
“Kakak ipar kamu tidak apa-apa?” Tanya Brian yang keluar dari kamar mandi dan melihat mata Alika yang berkaca-kaca.
Sebenarnya Brian mendengar pembicaraan Alika dan Yuni, hanya saja dia bertanya untuk memastikan apakah Alika baik-baik saja setelah di cercah oleh Yuni.
Alika menunduk dan mengangguk sehingga rambut hitamnya yang terurai berayun-ayun ke depan menutupi wajahnya.
Brian berjalan mendekat ke arah Alika yang duduk di sofa, mengambil ponsel dari tangan Alika yang di genggam Alika dengan kuat.
“Ponsel ini akan meledak jika kamu menggenggamnya seperti itu.”
Alika tidak membalas, dia takut jika mengangkat wajahnya dia akan menangis, dan dia tidak mau jika Brian melihat air matanya jatuh. Dia tidak ingin di cap lemah dan cengeng oleh Brian.
Brian menyipitkan mata menatap ponsel milik Alika.
“Ternyata masih ada juga yang memakai ponsel seperti ini, kupikir ponsel ini sudah punah.” Kata Brian merasa lucu dengan ponsel jadul milik Alika yang ada di tangannya.
“Kembalikan!” Alika langsung mengambil kembali ponselnya. Ledekan Brian membuatnya sudah tidak ingin menangis lagi.
“Bagaimana jika aku membelikan ponsel baru kakak ipar.” Tawar Brian yang langsung mendapatkan pandangan penuh selidik dari Alika.
“Tidak perlu, ponsel ini masih bagus dan masih bisa ku gunakan.” Kata Alika menolak.
Kebaikan Brian patut dia curigai, apalagi pagi-pagi seperti ini.
“Kenapa? Apa kamu pikir aku punya niat tersembunyi.”
“Mungkin saja, hati manusia siapa yang tahu.” Jawab Alika menatap waswas.
“kakak ipar, kamu terlalu memandangku dengan negatif.” Ujar Brian tak terima.
“Karna kamu membuatku melihatmu dengan sisi itu.” Sahut Alika.
“Ah, begitukah? Bagaimana kalau mulai pagi ini aku mengubah cara padang mu padaku agar jadi positif.” Ucap Brian membuat Alika merinding takut.
“Tidak perlu!” Kata Alika langsung berdiri dan ingin keluar, dia harus segera menghindari adik iparnya yang kurang ajar itu.
“Kakak ipar kamu mau ke mana?” Tanya Brian yang menangkap lengan Alika.
“Aku ingin ke kamarku.” Alika mencoba melepaskan lengannya dari genggaman Brian.
“Bantu aku ganti perban dulu.” Kata Brian.
“Apa?”
“Aku tidak bisa mengganti perban sendiri, aku butuh bantuanmu kakak ipar.” Brian memasang wajah kasihan agar Alika mau membantunya.
Dan, Brian berhasil, karena Alika tidak tega jika tidak membantu adik iparnya itu mengganti perban.
Alika membersihkan luka jahitan Brian dengan lembut dan pelan. Takut jika dia akan membuat luka itu berdarah.
“Jahitan mu buruk sekali kakak ipar.” Brian melihat bekas jahitan Alika di perutnya yang tidak rapi.
“Salahmu sendiri kenapa kamu menyuruhku untuk menjahit lukamu.” Sahut Alika.
Seharusnya Brian mengucapkan terima kasih karena dia sudah begitu berusaha menjahit dengan baik luka itu meskipun dengan tangan yang gemetaran.
“Ah, aku tidak akan bisa berenang dengan telanjang dada di tempat umum karena bekasnya akan terlihat sangat jelek.” Tambah Brian semakin membuat kesal Alika.
“Kalau begitu kamu jangan bertelanjang dadah!” Alika menekan keras cotton bud yang di pakainya untuk mengoles obat ke luka Brian membuat Brian mendesis nyeri.
“Kakak ipar, tolong lebih lembut lagi, kamu akan membuat jahitannya terbuka.” Kata Brian.
“Kalau terbuka, kamu tinggal ke rumah sakit dan meminta dokter untuk menjahit lebih rapi untukmu.” Sahut Alika.
Melihat wajah Alika yang cemberut marah membuat Brian menjadi gemas, ingin rasanya dia mencubit kuat pipi bulat Alika yang imut itu.