Mika, seorang wanita yang dulunya gemuk dan tidak percaya diri, sering menjadi korban bullying oleh geng wanita populer di SMA. Dihina karena penampilannya, ia pernah dipermalukan di depan seluruh sekolah, terutama oleh Dara, ketua geng yang kini telah menikah dengan pria idaman Mika, Antony. Setelah melakukan transformasi fisik yang dramatis, Mika kembali ke kota asalnya sebagai sosok baru, sukses dan penuh percaya diri, tapi di dalam dirinya, dendam lama masih membara. Kini Mika bertekad untuk menghancurkan hidup Dara, gengnya, dan merebut kembali Antony, cinta masa lalunya, dengan cara yang jauh lebih kejam dan cerdas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai dari awal
Di kota baru, Mika berharap bisa menjalani hidup tanpa bayang-bayang masa lalu. Kepindahan ini, yang disebabkan oleh penugasan baru ayahnya, terasa seperti pelarian sekaligus kesempatan kedua baginya. Namun, meskipun berada di lingkungan baru, trauma dan rasa sakit dari masa lalu masih membekas.
Alih-alih masuk ke sekolah umum seperti siswa lain, Mika memilih homeschooling. Ia merasa terlalu takut dan malu untuk kembali ke sekolah formal. Hanya dengan memikirkan gedung sekolah, kelas, dan tatapan merendahkan dari teman-teman seperti Dara, rasa cemasnya langsung muncul. Di setiap sudut pikirannya, seolah selalu ada ejekan dan tawa Dara dan gengnya yang menghantuinya.
“Aku nggak mau merasakan itu lagi,” bisiknya dalam hati setiap kali keraguan muncul.
***
Suatu malam, setelah menyelesaikan tugas dari kelas daringnya, Mika tergerak untuk membuka ponsel lama yang sudah lama tidak ia sentuh. Ia tahu bahwa di dalamnya ada kenangan-kenangan yang menyakitkan—chat dan pesan dari masa lalunya, dari orang-orang yang pernah menjadi bagian hidupnya di sekolah lama.
Tangannya gemetar saat membuka aplikasi chat.
Di sana, ia menemukan beberapa pesan dari Raka, satu-satunya teman yang pernah sedikit peduli padanya. Raka bukanlah bagian dari geng Dara, tapi dia juga tidak pernah melindunginya. Itu membuat Mika merasa campur aduk—antara kecewa dan bersyukur karena setidaknya dia tidak ikut mengejeknya.
Pesan terakhir dari Raka muncul beberapa hari setelah kepindahannya.
Raka:
"Hei, Mika, aku dengar kamu pindah ya? Semoga kamu baik-baik aja di tempat baru."
"Maaf banget aku nggak pernah bantu kamu waktu itu... Aku pengecut."
"Aku harap suatu saat kita bisa ngobrol lagi."
Mika menatap pesan itu lama. Kata-kata Raka seolah menariknya kembali ke hari-hari kelam di sekolah lamanya—hari-hari penuh luka yang berusaha ia lupakan. Sebuah bagian kecil di hatinya merasa iba pada Raka, tapi rasa sakit dan rasa kecewanya jauh lebih besar.
“Nggak ada gunanya. Semua sudah berakhir,” pikirnya.
Tanpa berpikir panjang, Mika menghapus pesan-pesan Raka. Ia merasa itu adalah langkah pertama untuk benar-benar menghapus masa lalunya. Satu per satu, ia menghapus kontak teman-temannya di sekolah lama—bahkan yang dulu pernah dekat dengannya.
Saat semua sudah terhapus, Mika meletakkan ponsel di meja, menarik napas panjang, dan memejamkan mata. Ia tahu ini belum cukup untuk menyembuhkan lukanya, tapi setidaknya ia merasa sedikit lebih ringan.
"Aku nggak butuh mereka," gumamnya lirih. "Aku harus lanjut sendiri."
***
Hari-hari Mika di kota baru berjalan monoton. Ia mengikuti pelajaran homeschooling dengan fokus, seolah-olah tenggelam dalam tugas-tugas adalah cara terbaik untuk melupakan masa lalu. Namun, meskipun ia berusaha menyibukkan diri, rasa sepi sering kali datang tanpa diundang.
Di malam-malam yang sunyi, ia terkadang merasa kehilangan sesuatu—bukan teman-teman lamanya, tapi kehidupan normal. Mika merindukan hal-hal sederhana, seperti pergi ke kantin, bercanda di kelas, atau pulang sekolah bersama teman-teman. Tapi setiap kali ia membayangkan kembali ke sekolah umum, rasa takut dan trauma langsung muncul, menekan hatinya hingga ia sulit bernapas.
Ibu Mika sering mengajaknya bicara, berusaha menyemangatinya.
"Kamu nggak mau coba daftar sekolah biasa, Nak?" tanya ibunya suatu pagi saat sarapan. "Di sini kan nggak ada yang kenal kamu. Nggak perlu takut diejek lagi."
Mika hanya menggeleng. "Aku nggak mau, Bu... Aku nggak siap."
Ibunya hanya menghela napas. Ia paham bahwa luka di hati anaknya masih terlalu dalam, dan tidak bisa sembuh begitu saja.
***
Hari-hari yang panjang dan penuh kesunyian di rumah Mika berubah menjadi waktu berharga untuk dirinya. Ia mulai berolahraga setiap hari—berlari pagi, mengikuti video yoga, dan mencoba latihan beban ringan. Pada awalnya, tubuhnya terasa berat dan otot-ototnya sakit, tapi ia terus bertahan. Setiap tetes keringat terasa seperti langkah kecil menuju dirinya yang baru.
Selain berolahraga, Mika juga mulai menjaga pola makan. Ia belajar memilih makanan sehat, mengurangi junk food, dan mengontrol porsinya. Tidak ada lagi kebiasaan makan berlebihan untuk melarikan diri dari rasa sedih atau cemas. "Aku nggak perlu makanan untuk merasa lebih baik. Aku hanya perlu percaya pada diriku sendiri," pikirnya setiap kali rasa ingin menyerah muncul.
Perubahan itu perlahan tapi pasti. Dalam beberapa bulan, tubuhnya terasa lebih ringan, wajahnya lebih segar, dan kulitnya yang dulu berjerawat mulai bersih. Tiap kali melihat bayangannya di cermin, senyuman kecil mulai muncul. Ia merasa puas—bukan hanya karena perubahan fisiknya, tapi karena ia akhirnya bisa mengendalikan hidupnya sendiri.
"Aku bisa berubah. Dan aku layak hidup lebih baik," ucapnya, seolah-olah menyatakan janji pada dirinya sendiri.
***
Setelah menjalani homeschooling hingga lulus, Mika akhirnya memutuskan untuk melanjutkan kuliah di universitas terkemuka. Masa SMA yang kelam sudah tertinggal jauh di belakangnya. Dengan tubuh yang lebih ramping dan wajah yang bersih, Mika sekarang tampil sebagai gadis yang anggun dan cantik. Tidak ada yang menyangka bahwa ia pernah menjadi remaja gemuk dan penuh rasa tidak percaya diri.
Hari pertama di kampus, Mika melangkah dengan penuh keyakinan. Ia mengenakan pakaian yang sederhana tapi rapi—celana panjang berwarna krem dan kemeja putih yang pas di tubuhnya. Rambutnya yang dulu selalu diikat sembarangan kini tergerai indah, menambah pesonanya.
Tidak ada lagi tatapan merendahkan atau ejekan yang ia terima. Tidak ada lagi tawa mengejek yang menghantuinya. Sebaliknya, orang-orang melihatnya dengan kekaguman. Beberapa mahasiswa bahkan menyapanya dengan ramah, menawarkan diri untuk berkenalan.
"Hei, kamu anak baru juga?" sapa seorang gadis dengan senyuman cerah di lobi kampus.
"Iya. Aku Mika," jawabnya sambil tersenyum kecil. Senyum yang tulus—bukan senyum yang terpaksa seperti dulu.
Saat itu, Mika merasa untuk pertama kalinya dalam hidupnya bahwa ia tidak lagi bersembunyi di balik bayang-bayang masa lalu.
***
Hari-hari kuliah Mika berjalan lancar. Ia menikmati suasana baru di kampus—berteman dengan banyak orang, mengikuti berbagai kegiatan, dan belajar dengan semangat tinggi. Ia tidak lagi menjadi gadis pemalu yang takut diejek. Kepercayaan dirinya tumbuh seiring dengan setiap pencapaian kecil yang ia raih.
"Aku bisa menjalani hidup normal. Ini hidupku sekarang," pikirnya setiap kali ia melangkah di lorong kampus dengan kepala tegak.
Di kelas, ia aktif berpartisipasi, berani mengemukakan pendapat, dan selalu terlihat antusias. Kehadirannya menarik perhatian banyak mahasiswa, terutama karena penampilannya yang anggun dan pembawaannya yang tenang. Tidak sedikit mahasiswa pria yang mendekatinya dengan maksud ingin mengenalnya lebih dekat.
"Mika, mau bareng ke kantin nanti?" tanya salah satu teman pria di kelasnya suatu hari.
Mika hanya tersenyum sopan dan mengangguk. Bukan lagi senyum canggung dari gadis pemalu yang takut diabaikan, tapi senyum percaya diri dari seseorang yang tahu apa yang ia inginkan.