Joano dan Luna adalah dua remaja yang hidup berdampingan dengan luka dan trauma masa kecil. Mereka berusaha untuk selalu bergandengan tangan menjalani kehidupan dan berjanji untuk selalu bersama. Namun, seiring berjalannya waktu trauma yang mereka coba untuk atasi bersama itu seolah menjadi bumerang tersendiri saat mereka mulai terlibat perasaan satu sama lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourlukey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
Sebulan sudah Joano tinggal bersama Margaret di rumah itu. Setiap hari, mulai dari fajar menyingsing hingga larut malam Joano membantu Margaret mengelola kafe yang letaknya tidak jauh dari kediaman wanita itu.
Karena sangat sibuk Joano bahkan tidak melanjutkan sekolahnya lagi, lebih tepatnya Margaret menyuruh Joano untuk membantunya di kafe dari pada harus pergi ke sekolah. Menurut Margaret sekolah hanya akan membuang waktu dan uangnya. Apalagi tujuan Margaret mengadopsi Joano hanya dijadikan budak sukarela yang dia izinkan tinggal di gudang rumah. Jadi, menyekolahkan Joano bukanlah hal yang penting bagi Margaret.
Untuk membaca dan berhitung, Margaret menyuruh salah satu pegawainya untuk mengajari Joano agar bisa diperintah ke suatu tempat. Misalnya saat harus pergi ke pasar membeli kebutuhan rumah dan kafe atau keperluan lainnya. Kerap kali Joano melakukan kesalahan saat membaca pesanan atau membeli barang karena hitungan dan kemampuan membacanya yang belum sempurna, tak jarang Margaret mengomel karena kesalahan-kesalahan tersebut.
Seperti hari ini, karena Joano melakukan kesalahan saat membeli barang keperluan kafe, anak itu disuruh membersihkan peralatan dapur yang ukurannya bahkan lebih besar darinya.
Beberapa kali Joano mengelap keringat yang menetes di dahi menggunakan lengannya, kesepuluh jarinya masih rapi terbungkus sarung tangan karet yang kebesaran. Meski kehidupannya kini sangat berat, Joano tidak pernah mengeluh sama sekali. Awalnya Joano memang sering menangis diam-diam, tetapi seiring berjalannya waktu dia sudah mulai terbiasa, mulai menerima takdir yang diberikan padanya.
Meski begitu, capek fisik dan batin Joano secara ajaib hilang saat bibirnya mengucapkan kata Pak dan Bu yang dia sematkan kepada Margaret dan Tio. Walaupun sebenarnya panggilan itu juga digunakan oleh para pegawai yang lain, namun untuk Joano kata itu sangat bermakna.
"Joano!" Anak laki-laki itu menoleh saat seorang pegawai perempuan memanggil namanya.
"Bantu beresin meja di depan kasir sebentar, ya. Aku lagi ada urusan." Perintahnya lantas pergi tanpa menunggu persetujuan Joano.
Joano mengangguk, dia lantas melepas sarung tangan karet yang dia kenakan lalu segera pergi dan membersihkan meja yang perempuan itu maksud.
Di sana, Joano sangat telaten membawa satu piring ke piring lainnya kemudian mengangkut dan membawanya ke dapur. Joano juga dengan sigap membersihkan meja itu, mengelapnya menggunakan kain setengah basah dan mengulanginya hingga beberapa kali.
...***
...
Sepanjang perjalanan menuju rumah kakek-neneknya yang berada di Bandung, Luna terus berbicara pada kucing yang ada di pangkuannya, Luna bercerita betapa senangnya dia bisa berkunjung ke Bandung lagi setelah tiga bulan yang lalu.
"Luna sayang, kamu jadi mau makan es krim nggak?" Wanita cantik yang duduk di sebelah pengemudi itu bertanya sambil memandangi ponsel pintar yang menampilkan beranda menu kafetaria.
"Mau Mama, aku mau es krim yang banyak." Luna menyahut dengan semangat.
"Jangan banyak-banyak! Nanti gigi kamu sakit lagi, loh." Wanita itu memperingati.
"Nanti kalau sakit nangisnya semalaman." Laki-laki yang duduk di kursi pengemudi itu ikut bersuara, sependapat dengan apa yang dikatakan wanita di sebelahnya.
"Aku nggak nangis, Papa."
Wanita cantik itu menoleh ke jok belakang dan melihat anaknya sedang membela diri sembari mengerucutkan bibirnya, tampak menggemaskan. "Kamu nangis semalaman sampai Papa kamu nggak bisa tidur."
"Kapan Mama?" Luna mencoba mengingat-ingat kembali kapan dia sakit gigi sampai membuat Ayahnya tidak bisa tidur.
"Waktu ulang tahun tetangga sebelah kamu makan es krim banyak banget terus malamnya sakit gigi, kamu nggak ingat?" Marisa, wanita itu berusaha mengingatkan kalau anaknya harus memiliki batasan saat memakan sesuatu.
Beberapa detik kemudian Luna baru mengingatnya dan dia hanya terkekeh. "Tapi kata Papa aku boleh makan es krim kalau aku menang lomba menyanyi."
"Iya boleh, tapi nggak boleh banyak-ba," Satria, laki-laki yang duduk di bangku pengemudi itu menggantungkan kalimatnya supaya Luna meneruskan dan mengingat apa pesannya.
"Banyak-banyak." Luna melengkapi kalimat Satria.
"Anak pintar."
Marisa tertawa geli melihat interaksi suami dan putri kecilnya.
Begitu sampai di sebuah pertigaan, Satria langsung membelokkan mobilnya ke sebuah kafe yang sebelumnya telah direservasi oleh istrinya. Setiap pergi ke Bandung, Satria beserta keluarga kecilnya selalu mampir ke tempat itu. Selain cita rasa yang sesuai dengan selera keluarganya, menurut Satria kafe itu memberikan kenyamanan dan kehangatan.
Kedatangan keluarga Satria segera disambut oleh para pegawai begitu mereka masuk ke kafe dan dipersilahkan ke tempat yang telah direservasi sebelumnya.
Sambil menunggu kedua orang tuanya berbincang-bincang, Luna pergi ke kolam ikan yang ada di luar ruangan sembari memegang es krim berbentuk kerucut. Setelah beberapa menit memandangi warna-warni berbagai macam ikan hias, Luna kembali masuk ke dalam ruangan. Tapi baru saja sampai di depan kasir, tanpa sengaja Luna menyenggol anak laki-laki hingga menyebabkan alat-alat kebersihan anak itu jatuh ke lantai, es krim yang Luna pegang juga tumpah ke atas baju anak itu.
"Maaf ya, aku nggak sengaja." Luna menyesali perbuatannya.
Anak laki-laki itu tersenyum kemudian menjawab, "Iya, nggak papa."
"Luna, ada apa?" Marisa datang menghampiri setelah melihat anaknya membuat sedikit kekacauan. Begitu melihat ada noda es krim di pakaian anak yang sedang bersama Luna, juga beberapa alat kebersihan yang jatuh ke lantai, Marisa langsung tahu apa yang sedang terjadi. "Aduh, maaf ya. Tunggu sebentar Tante ambilkan tisu."
Marisa bangkit kemudian berjalan menuju mejanya, merogoh tas dan mengeluarkan tisu dari dalam sana. Satria tampak menanyakan sesuatu dan setelah Marisa menjelaskan, dia hanya menganggukkan kepala kemudian kembali fokus pada laptop yang ada di hadapannya.
"Aduh. Maaf, ya." Marisa mengulurkan tangan lalu membersihkan pakaian anak itu. "Luna, minta maaf ke kakaknya."
"Nggak apa-apa Bu, dia juga sudah minta maaf." Kata anak laki-laki itu.
Sementara Marisa masih membersihkan noda yang menempel di baju anak itu, tiba-tiba seorang wanita datang dan langsung menarik anak laki-laki itu ke belakang tubuhnya, membuat Marisa tersentak beberapa saat.
"Maaf Ibu, saya tidak tahu dia akan membuat keributan. Padahal saya sudah menyuruhnya untuk belajar saja." Wanita itu berkata dengan sopan.
Marisa mengangguk. Dia ingin menjelaskan permasalahan yang telah terjadi, tapi wanita itu lebih dulu menyuruh si anak untuk pergi ke belakang.
"Maaf, ya, Bu. Saya akan mengganti es krimnya."
"Tidak usah, tidak apa-apa. Ini kesalahan anak saya." Marisa berkata sembari mengibas kedua tangannya.
"Tidak apa-apa, Bu. Tidak usah sungkan. Apalagi yang tumpah cukup banyak."
Lagi, Marisa belum sempat bicara, tapi wanita itu sudah memanggil salah satu pelayan untuk memberikan es krim yang baru kepada Luna.
"Sekali lagi saya minta maaf, Bu." Wanita itu berkata dengan nada sopan. Mungkin supaya Marisa tidak meninggalkan komentar negatif yang akan membuat citra kafenya menjadi buruk.
Seorang pelayan kemudian datang dan menyodorkan es krim berbentuk kerucut kepada Marisa.
Melihat Marisa tampak ragu menerima es krim tersebut, wanita itu kembali membujuk. "Tolong diambil. Tidak apa-apa."
"Terima kasih sebelumnya. Tapi,"
Lagi dan lagi wanita itu memotong ucapan Marisa, dia seolah tidak ingin mendengarkan penjelasan apa pun.
"Mohon diambil, Bu. Ini merupakan salah satu service kami." Wanita itu berkata penuh penekanan saat mengucapkan kata service.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Marisa lantas meraih es krim yang disodorkan padanya kemudian memberikannya kepada Luna. "Terima kasih."
"Kalau begitu saya permisi." Wanita itu tersenyum simpul kemudian melangkah pergi begitu Marisa mempersilahkan.