Kara sangat terkejut saat Ibunya tiba-tiba saja memintanya pulang dan berkata bahwa ada laki-laki yang telah melamarnya. Terhitung dari sekarang pernikahannya 2 minggu lagi.
Karna marah dan kecewa, Kara memutuskan untuk tidak pulang, walaupun di hari pernikahannya berlangsung. Tapi, ada atau tidaknya Kara, pernikahan tetap berlanjut dan ia tetap sah menjadi istri dari seorang CEO bernama Sagara Dewanagari. Akan kah pernikahan mereka bahagia atau tidak? Apakah Kara bisa menjalaninya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ririn Yulandari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menuju Akad
1 minggu berlalu dan tak terasa hari pernikahan ku juga sisa 1 minggu lagi. Setiap hari Ibu dan adik ku meneror dengan mengirimkan pesan atau langsung menelfon menyuruh ku untuk segera pulang. Mengingatkan akan hari pernikahan ku yang semakin dekat.
Aku hanya membacanya pesan dari Ibuku yang baru saja masuk, aku tidak berniat untuk membalas pesan. Membiarkannya begitu saja dan aku berlalu ke kamar mandi, aku butuh mandi agar perasaan ku tak suntuk.
Kebetulan besok adalah wekeend jadi aku memutuskan untuk bermalas-malasan saja. Tak berniat untuk keluar walaupun sekedar malam minggu. Seperti orang pada umumnya, aku tak seniat itu.
"Kenapa hidup gue harus gini?"
"Kalau bisa gue mau tukeran sama orang lain."
"Kenapa dia mau sama gue? Gue sama sekali gak ada kelebihannya."
"Coba aja dia ga datang ngelamar. Coba aja ayah ga sahabat sama pak Dewa. Hubungan gue sama Ayah, Ibu, Adnan gak bakal kaya gini dan pernikahan ini ga bakal terjadi."
Air mata sudah meluncur membasahi pipi ku, aku terisak pelan. Mencoba menahan semua ke sedihan ini. Berandai, berandai, dan berandai.
Hanya itu yang bisa ia lakukan, aku tak tahu harus bagaimana sekarang, aku benar-benar tak mau pulang. Aku ingin egois. Tak ingin menuruti perkataan kedua orang tuaku karna ini adalah hidupku, hanya aku yang boleh mengambil keputusan.
Setiap malam aku hanya mengurung diri di kamar kemudian menangis walaupun sering kali Disha mengajak ku keluar, tapi aku berbohong dan banyak memberi alasan. Demi apapun aku belum siap menikah. Kenapa Ayah dan Ibuku menerima lamaran itu tanpa bertanya terlebih dahulu padaku yang bahkan wajah dari anak Om Dewa aku tak tahu.
Menikah itu bukan cuman perihal ijab kabul lalu sah. Tapi, pernikahan itu adalah ibadah seumur hidup, aku takut tak bisa menjalaninya. Aku terlalu takut walau hanya sekedar membayangkannya. Apalagi menikah dengan laki-laki yang tak ku kenal tidak pernah terlintas dalam pikiran ku.
Diluaran sana banyak desas desus tentang orang yang dijodohkan kemudian tak lama setelah menikah mereka kemudian berpisah. Salah satu alasannya ya itu selingkuh, entah suami yang selingkuh atau istrinya yang selingkuh, aku tak mau semua itu nantinya terjadi padaku.
Bagaimana aku harus menerima ini semua?
Sibuk merenung, layar ponselku kembali menyala dan menampilkan chat dari Ibuku lagi. Aku hanya membacanya, benar-benar tidak berniat membalasnya. Karna tak ingin di ganggu aku kemudian memblokir nomor kedua orang tuaku adikku, dan keluargaku yang lain. Aku benar-benar menutup semua akses.
"Bodo amat dengan pernikahan yang sisah seminggu lagi."
Tak lupa aku juga mengeluarkan kartu simku lalu mematahkannya. "Sekarang siapapun yang mau hubungi gue gak akan bisa. Kalian bisa gak mikirin perasaan gue kan? Sama gue juga bisa!"
Aku menghapus aplikasi WhatsApp agar siapapun tak bisa menghubungi berkontakan denganku. Untung saja aku mempunyai dua ponsel lalu punya pikiran memisahkan nomor untuk keluargaku dan urusan pekerjaan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sedangkan di sisi lain, tepatnya di kediaman Prasatya. Mereka semua di landa kecemasan saat Kara sudah tak bisa dihubungi. Karna memblokir semua akses mereka yang ada disini.
"Yah, gimana ini. Kara ga bisa di hubungi??" Anjani— Ibu Kara bertanya pada Satya suaminya dengan harap-harap cemas.
"Dan pernikahan mereka tinggal seminggu lagi. Gimana kalau Kara benar-benar gak pulang? Gimana sih, Yah. Aku laginya nanya solusinya kamu malah diam aja!!" kata Anjani kesal karena Satya suaminya tak menanggapi.
"Masih banyak waktu untuk nyuruh Kara pulang dengan paksa. Ibu tenang aja, nanti Ayah suruh beberapa orang kesana untuk bawa pulang Kara kesini," ujar Satya menatap sang istri.
Adnan, adik laki-laki Kara, menatap kedua orang tuanya itu dengan tatapan kesal. "Seharusnya, dari awal Ibu sama Ayah gak boleh ngambil keputusan gitu aja tanpa tanyain ke Mbak Kara apa dia mau atau enggak. Kalau gini siapa yang mau disalahin, Mbak Kara?"
Adnan menatap jengah kedua orang tuanya, selama dua minggu ini yang Ibunya lakukan hanya menghubungi Kara dan menyuruh Kara pulang. Tapi lihat, Kara belum juga pulang.
"Kamu gak tau apa-apa! Jangan ikut campur urusan kami!!" Satya menatap putranya itu dengan tatapan tajam penuh penghakiman.
"Kamu gak tau seberapa malunya kami yang selalu di gunjing orang-orang karna sudah banyak lamaran yang di tolak. Mereka berpikir kita ini orang sombong, terlalu membanggakan diri karna tak ada pun lamaran yang kita terima."
"Ayah itu cemas selalu memikirkan hal-hal yang akan menimpa keluarga kita ataupun Mbak mu karna sudah banyak lamaran yang kita tolak. Kamu tahu hukum menolak lamaran laki-laki sebanyak tiga kali?" jelas Satya menatap Adnan.
Adnan yang di tatap pun menyahut. "Yaudah terserah Ayah, aku ga mau ikut campur. Kalian sendiri yang terlalu terburu-buru mengambil keputusan tanpa lihatin Mbak Kara, padahal dia nanti yang akan jalanin. Sekarang Ayah sama Ibu sendiri yang akan terima akibatnya, padahal waktu keluarga om Dewa kesini kalian bisa minta waktu buat jawab karna mau tanyain ke Mbak, tapi apa? Ibu sama Ayah langsung terima lamarannya gitu aja."
Setelah Adnan berkata seperti itu, ia pun langsung pergi begitu saja di depan kedua orang tuanya yang langsung mencerna perkataan putranya barusan. Perkataan Adnan memang benar adanya, mereka berdua terlalu terburu-buru dan gegabah mengambil keputusan, tanpa bertanya ke Kara terlebih dahulu.
Kini putri sulung mereka itu menolak menikah karna tak di libatkan sedikitpun, Kara benar-benar menutup akses. Semua media sosialnya tak ada yang bisa dihubungi, kini mereka akan menanggung malu karna ke gegabahan itu. Anjani hanya bisa menangis setelah mendengar perkataan Adnan, sedangkan Satya terdiam.