Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.
Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.
Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Teror Kutukan V1
Malam telah larut, dan keheningan menyelimuti kamar kecil itu. Cahaya lampu minyak di sudut ruangan memancarkan cahaya lembut, cukup untuk mengusir kegelapan sepenuhnya. Seorang gadis muda, Rina, terbaring di atas ranjang dengan tenang, wajahnya tampak damai dalam tidur. Di sampingnya, ibunya duduk di kursi tua, kepala bersandar di tepi ranjang, menjaga anaknya yang tertidur lelap. Sejak kutukan itu mulai menyerang desa, sang ibu tak pernah lagi membiarkan putrinya sendirian di malam hari.
Angin malam berhembus lembut melalui jendela yang sedikit terbuka, membuat tirai berayun pelan. Tak ada suara selain desahan napas lembut Rina yang teratur. Namun, di tengah keheningan itu, mendadak Rina merasakan sesuatu yang aneh. Di antara mimpi-mimpinya yang samar, muncul perasaan tak nyaman. Ia mengerjapkan mata, berusaha kembali pada kesadaran, saat rasa tekanan mulai merambat di dadanya.
Awalnya, tekanan itu ringan, seperti ada sesuatu yang menempel di dadanya. Namun, perlahan-lahan, rasa itu semakin kuat, seperti ada tangan tak kasat mata yang menekan tubuhnya, membuatnya sulit bernapas. Napas Rina menjadi pendek dan tersengal-sengal, matanya terbuka sepenuhnya, memandang ke langit-langit kamar dengan tatapan panik.
"Ibu..." suaranya bergetar, nyaris tak terdengar. Namun ibunya tetap terlelap, tak menyadari anaknya yang mulai bergulat dengan sesuatu yang tak terlihat.
Rina mencoba bergerak, mencoba menggerakkan tangannya untuk menggoyangkan tubuh ibunya yang tertidur di sampingnya, namun tubuhnya seolah tertahan. Rasa berat di dadanya semakin kuat, membuat seluruh tubuhnya terasa kaku, tidak mampu bergerak sedikit pun.
“Ibu…” bisiknya lagi, kali ini benar-benar tidak ada suara, matanya terbelalak penuh ketakutan. Ia merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Tekanan di dadanya kini begitu kuat hingga ia merasa seakan napasnya terhenti. Rina memejamkan matanya dengan erat, berharap ini hanyalah mimpi buruk yang segera berlalu.
Tapi rasa itu nyata, semakin nyata saat ia mulai merasakan jika ada sentuhan lembut meraba di atas lututnya.
Di dalam kamar yang remang, gadis itu terbaring di atas ranjang dengan mata terpejam, napasnya tersengal-sengal. Tubuhnya yang semula tenang kini terhuyung oleh sesuatu yang tak terlihat.
Kulitnya yang pucat berkeringat, sementara wajahnya mengekspresikan campuran kebingungan dan rasa takut yang mendalam. Setiap helaan napas terasa berat, seolah-olah ada kekuatan tak kasat mata yang melingkupinya, menyeretnya ke dalam pengalaman yang tak dapat dipahami.
Tangan dan kakinya meronta, namun tetap tak berdaya di bawah kendali yang tak bisa ia lawan. Tubuhnya bergerak, seperti dipaksa oleh sesuatu yang tak terlihat, sesuatu yang menuntut kepatuhan mutlak. Gadis itu mencoba berteriak, namun suaranya tertelan oleh kehampaan, tak ada yang mendengar jeritannya. Air matanya mengalir tanpa henti, membasahi pipinya yang dingin.
Rasa sakit dan ketakutan merajai setiap inci tubuhnya, namun sumber dari penderitaan itu tetap tak terlihat, seolah kekuatan tak kasat mata ini bermain-main dengan tubuhnya, merenggut kehormatannya tanpa ampun. Tidak ada wajah, tidak ada tangan yang terlihat—hanya sensasi, tekanan yang terus menerus menghantam, tanpa henti.
Ketika segalanya berakhir, gadis itu tergeletak tanpa daya, tubuhnya gemetar hebat. Matanya terbuka, tapi tatapannya kosong, seolah jiwanya telah direnggut dari tubuhnya. Yang tersisa hanya kengerian yang mendalam, meninggalkan bekas yang tak akan pernah hilang.
****
Embun Pagi membasahi daun-daun, sinar matahari mulai mengintip dari balik pepohonan, menyinari Desa Mola-Mola yang masih diliputi bayangan kengerian malam sebelumnya. Ekot baru saja pulang dari tugas jaga di rumah Pak Purrok, wajahnya terlihat letih namun penuh kewaspadaan. Namun, istirahatnya terganggu oleh seorang warga yang berlari tergesa-gesa ke arahnya.
"Ekot! Rina... Rina telah menjadi korban kutukan!" seru warga itu, napasnya tersengal-sengal.
Ekot menghentikan langkahnya, jantungnya berdetak kencang mendengar kabar buruk itu. "Apa!" sergahnya dengan nada tinggi, seolah tidak percaya.
Warga itu mengangguk cepat. "Semua yang berjaga di rumah Pak Labih... Pak Rumbun, Pak Mantir, dan Empong. Mereka semua pingsan! Belum ada yang sadarkan diri sampai sekarang!"
Mendengar itu, wajah Ekot memerah penuh amarah. Bagaimana mungkin? Dia sudah mengatur penjaga di sana. Dengan geram, dia meraih tombaknya dan dengan sekuat tenaga melemparkannya ke arah pohon di depannya. Tombak itu menancap dalam di batang pohon, bergetar sejenak sebelum berhenti, mencerminkan kemarahan yang meluap-luap dalam hati Ekot.
Pak Kades, yang kebetulan melihat insiden itu dari dalam rumah, segera mendekat. "Ekot! Tenang." Serunya, menahan amarah Ekot yang siap meledak. "Kita harus segera ke rumah Pak Labih. Ini bukan saatnya marah. Warga butuh kita!"
Dengan napas memburu, Ekot menggertakkan giginya, tapi dia tahu Pak Kades benar. Dia harus bertindak cepat. Mengangguk tegas, Ekot segera berbalik dan berlari menuju rumah Pak Labih, diikuti oleh Pak Kades dan warga lainnya yang juga mulai khawatir akan keselamatan orang-orang di desa.
Hati Ekot masih bergolak, tetapi kini ada tugas yang lebih mendesak. Mereka harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan memastikan tidak ada korban lagi.
Ekot tiba di rumah Pak Labih dengan perasaan bercampur aduk. Udara pagi yang biasanya sejuk terasa menyesakkan, dan pemandangan warga yang berkerumun di sekitar rumah membuat hatinya semakin berat. Tatapan penuh harap dan kekhawatiran dari warga yang hadir membuatnya semakin terpukul, terutama ketika bayangan Pak Labih berdiri dengan wajah penuh duka diambang pintu.
Ia pun melangkah masuk ke dalam rumah, Ekot mendapati Pak Labih, Empong, Pak Rumbun, dan Pak Mantir terbaring tak sadarkan diri di ruang tamu. Warga desa sibuk mengompres dan memberi obat tradisional untuk mencoba menyadarkan mereka, tapi belum ada tanda-tanda mereka akan pulih. Ekot merasa bersalah, seolah-olah gagal melindungi mereka dan keluarga Pak Labih. Dalam keheningan, ia berdiri di samping mereka, menahan emosi yang semakin memuncak.
Tiba-tiba, pikirannya melayang pada sosok yang lebih ia khawatirkan—Rina. Dengan langkah berat, Ekot masuk ke kamar Rina, hanya untuk menemukan pemandangan yang menyayat hati. Rina terbaring di ranjang, bersama ibunya yang juga tak sadarkan diri di sampingnya. Seorang warga duduk di lantai, mencoba membangunkan mereka dengan air yang disiramkan lembut ke wajah mereka, tetapi sia-sia.
“Bagaimana keadaannya?” Ekot bertanya, suaranya terdengar serak.
Warga itu menggeleng pelan, tak berani menatap langsung ke arah Ekot. "Belum ada perubahan. Kita belum tahu kapan mereka akan tersadar."
Ekot mengepalkan tangan, matanya menatap Rina dengan penuh penyesalan. Ia menahan amarah yang seolah siap meledak. Semua ini terasa di luar kendalinya, dan kesalahan ini menumpuk di pundaknya. Keheningan di ruangan itu membuat suara hatinya semakin jelas, menyalahkan dirinya sendiri.
Pak Kades muncul di belakangnya, meletakkan tangan di pundak Ekot. "Tenangkan dirimu Nak... Kita harus fokus pada penyembuhan mereka. Perintah warga untuk merawat yang sakit, bantu mereka sebaik mungkin."
Dengan berat hati, Ekot mengangguk. Sementara warga bekerja keras merawat mereka yang jatuh, suasana di rumah Pak Labih berubah tegang.
Tiba-tiba, terdengar suara gumaman dari Pak Mantir yang terbaring di ruang tamu. Ia mulai bergerak perlahan, lalu batuk terengah-engah. Warga segera berkerumun, memberikan air dan membantunya bangkit.
"Pak Mantir sudah sadar!" seru salah seorang warga dengan penuh antusias.
Harapan mulai muncul di antara mereka. Dengan cepat, perhatian mereka beralih ke Empong, yang masih terbaring tak sadarkan diri. Warga mulai bekerja lebih cepat, seolah ada secercah harapan bahwa yang lain pun akan segera sadar. Tapi di balik kegembiraan itu, hati Ekot masih dihantui oleh ketidakberdayaan yang terus menghantuinya.
Ekot mulai mendekati Empong dengan langkah yang berat, "Apa yang telah terjadi?" tanya Ekot, ia membantu Empong duduk.
"Sebaiknya kita biarkan mereka pulih sepenuhnya," ucap Pak Kades, melihat kondisi Empong yang begitu lemas. "Kau juga terlihat lelah setelah semalaman suntuk berjaga. Pergilah beristirahat, biar di sini aku yang urus."
Ekot kembali membaringkan tubuh Empong, dan meminta warga untuk memperhatikan kondisi mereka. "Apakah aku pantas menerima lelah ini?" gumam Ekot, menatap lirih pada kedua telapak tangannya, seolah ia merasa menjadi manusia yang tak berguna.
Pak Kades menghela nafas, lalu menepuk bahu Anaknya itu dengan hangat, "Tidak ada yang siasia Nak. Kamu sudah menjalankan tugasmu dengan penuh tanggung jawab."
Ekot pun mengangguk mengerti walau dalam hatinya amarah masih menggebu-gebu, lalu ia berpamitan untuk pulang.
Sore itu, suasana di rumah Pak Kades terasa penuh ketegangan. Ekot duduk di teras, sesekali melirik ke arah jalan desa yang mulai senyap. Pak Kades berdiri di sampingnya, matanya tak lepas memandang jauh. Mereka berdua menunggu kedatangan empat warga yang sebelumnya terbaring tak sadarkan diri di rumah Rina, Pak Mantir, Pak Rumbun, Empong, dan Pak Labih. Ekot tak henti-hentinya merasa gelisah, perasaan bersalah menghantuinya sejak Rina jatuh sebagai korban.
“Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada mereka,” gumam Pak Kades, suaranya serak menandakan kekhawatirannya.
Ekot hanya mengangguk lemah, hatinya masih diliputi penyesalan.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar mendekat. Empat warga yang dinantikan akhirnya tiba. Ekot bangkit dari duduknya, rasa lega bercampur bersalah menyelimuti wajahnya. Dengan suara yang agak serak, dia menyambut mereka dengan sopan. “Pak Mantir, Pak Rumbun, Empong, Pak Labih… Maafkan aku. Ini semua terjadi atas kelalaianku.”
Mereka semua tersenyum tipis, menerima sambutan Ekot dengan kehangatan. Pak Labih, yang juga hadir, segera memotong perasaan bersalah yang ada di hati Ekot. "Ekot. Ini bukan salahmu. Kau sudah melakukan apa yang bisa kau lakukan. Kami semua tahu kau sudah berusaha."
Pak Kades mengangguk setuju, “Benar sekali. Kita semua ada di posisi sulit ini bersama.”
Setelah semua duduk di ruang tamu, Pak Kades mulai berbicara dengan nada yang serius namun lembut, "Bagaimana keadaan kalian sekarang? Dan apa yang sebenarnya terjadi?"
Pak Mantir menjadi yang pertama membuka suara, "Kami baik-baik saja, Pak Kades. Hanya masih sedikit pusing, tapi... tubuh kami sudah pulih."
Pak Rumbun menimpali, "Sepertinya tidak ada luka serius pada kami. Kami semua merasa lebih baik sekarang."
Ekot yang masih merasa bersalah, menundukkan kepalanya dalam-dalam. “Aku… Aku benar-benar minta maaf. Aku tak bisa melindungi kalian. Aku merasa gagal…”
Suasana menjadi hening sejenak. Pak Labih dengan tenang meletakkan tangannya di bahu Ekot. “Ini bukan salahmu. Kita semua sudah berusaha. Aku sendiri juga merasa gagal sebagai seorang ayah, tidak bisa melindungi Rina. Tapi kita harus terus maju, kita harus cari tahu bagaimana bisa menghentikan ini.”
Pak Mantir yang duduk di sudut, tiba-tiba bersuara. "Ada sesuatu yang aneh malam itu."
Semua mata tertuju padanya. Ia melanjutkan dengan suara lebih pelan, namun jelas. "Kami semua mencium bau aneh sebelum pingsan. Itu seperti bau busuk, tapi lebih kuat. Kemudian ada suara ranting patah dari arah belakang rumah, kami memeriksanya… dan kami melihat sosok itu."
Pak Kades mengerutkan kening. "Sosok apa?"
Pak Rumbun menjawab dengan nada penuh ketakutan. "Sosok hitam besar. Matanya merah. Dan, entah kenapa kami tidak bisa bergerak. Kami seperti terpaku di tempat."
Empong, yang terlihat masih sedikit gemetar, menambahkan, "Kabut mulai muncul setelah itu. Lalu satu per satu dari kami jatuh tak sadarkan diri."
Pak Labih menunduk, raut wajahnya tegang, ketika amarah dan ketidak berdayaan menghantui jiwanya. “Semuanya terjadi begitu cepat. Mataku tiba-tiba gelap, dan aku tidak bisa merasakan tubuhku lagi,” ucapnya dengan nada bergelombang, menahan haru yang mendalam.
Pak Kades mengangguk pelan, mencerna setiap detail yang disampaikan. Ekot hanya terdiam, menyimak dengan perasaan yang semakin campur aduk. Ia berusaha menahan emosinya, tapi cerita mereka hanya memperdalam rasa bersalahnya.
"Jadi. Kita menghadapi sesuatu yang lebih mengerikan, dari yang kita duga sebelumnya." Pak Kades berbicara pelan, memandang semua yang hadir. "Ini bukan hanya tentang leluhur yang murka. Kita harus bersiap dengan kemungkinan yang lebih buruk."
Ekot meremas kedua tangannya, tekadnya semakin kuat. Dia tidak akan membiarkan hal ini terjadi lagi.
Pak Labih menatap dalam-dalam ke arah Pak Kades, raut wajahnya penuh pertanyaan. “Kenapa desa kita bisa terkena kutukan seperti ini?”
Pak Kades menarik napas panjang sebelum menjawab. “Karena warga telah melupakan adat leluhur. Di masa lampau, leluhur kita mengajarkan adat tertentu yang harus dipatuhi. Namun kini, kita telah mengabaykannya.”
Pak Mantir mengernyitkan dahi, merasa bingung. “Adat seperti apa yang leluhur kita jalankan Pak Kades? Apa kita benar-benar melupakannya?”
Empong, yang lebih muda, ikut berpikir keras. “Aku selama ini tidak pernah dengar tentang adat semacam itu. Apa mungkin kita selama ini memang tidak tahu?”
Ekot, yang sedari tadi gelisah, akhirnya angkat bicara. “Aku rasa, kita tidak akan menemukan jawabannya di sini. Kenapa tidak kita tanya langsung ke Tetua Adat? Mungkin dia bisa membantu kita memahami lebih jauh soal kutukan ini.”
Pak Kades tampak sedikit ragu. “Aku sudah pernah mencoba bicara dengannya. Tapi waktu itu, hasilnya nihil. Dia hanya menyalahkan kita semua tanpa memberi solusi.”
Namun, empat warga yang ada di sana—Pak Mantir, Pak Rumbun, Empong, dan Pak Labih—mengangguk serempak, mendukung saran Ekot. “Tidak ada salahnya kita coba lagi,” kata Pak Mantir dengan tegas.
Setelah berdiskusi, akhirnya mereka semua sepakat untuk bersama-sama menuju rumah Tetua Adat.
Selama perjalanan, Pak Labih mendekati Pak Kades. “Seharusnya Tetua Adat bisa membantu kita. Bukan malah bersikap dingin seperti saat itu.”
Pak Kades mengangguk pelan, matanya menyiratkan sekelumit kenangan lama yang belum terungkap. Ada sesuatu yang berhubungan dengan keluarga Tetua Adat yang belum pernah ia ceritakan.
lanjut nanti yah