Mengisahkan tentang perjalana kehidupan seorang anak bernama Leonel Alastair yang berasal dari keluarga Von Adler. Kecintaannya pada musik klasik begitu melekat saat dia masih kecil, demi nama keluarga dan citra keluarganya yang sebagai musisi.
Leonel menyukai biola seperti apa yang sering dia dengarkan melalui ponselnya. Alunan melodi biola selalu membawanya ke masa masa yang sangat kelam dalam hidupnya.
Namun perlahan seiringnya waktu berjalan, kehidupan dan minatnya berubah. Dengan bantuan seorang kakak angkat Raehan dia memiliki tujuan baru, dengan tujuan tersebut dia bertemu seseorang yang menempati hatinya.
Bromance!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: "Di Bawah Bayangan"
Malam semakin larut, namun Leonel tetap terjaga di ranjangnya. Rasa panas dari tamparan Julian masih terasa di pipinya, namun yang lebih mengganggu adalah perasaan hampa dan sesak di dadanya. Hujan mulai turun perlahan, suara tetesannya di luar jendela menciptakan irama monoton yang menambah kesuraman malam itu.
Leonel menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Namun, suara lirih yang menggema dari lantai bawah membuat hatinya makin tenggelam dalam rasa sakit. Terdengar suara tawa kakek dan ibunya, diselingi canda Julian dan Gento. Mereka tampak begitu nyaman, seolah kehadiran Leonel tak pernah ada. Seperti selalu, dia hanyalah bayangan yang tak dianggap.
Tidak ada ruang untuknya di sini. Rumah ini hanya menyisakan luka, bukan kenyamanan.
Dengan enggan, Leonel memutuskan untuk bangkit dari tempat tidurnya. Langkah kakinya pelan, hampir tak terdengar saat dia menyusuri lorong panjang menuju balkon kamar. Udara dingin malam segera menyambutnya begitu dia membuka pintu geser, namun Leonel justru merasa sedikit lega. Setidaknya, dinginnya udara malam lebih bisa diterima dibandingkan dinginnya perlakuan keluarganya.
Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, Leonel melihat seseorang sedang berdiri di ujung taman rumahnya. Sosok itu tidak asing—Raehan, kakaknya, berdiri diam, menunggu. Entah bagaimana, Leonel selalu merasa Raehan bisa tahu kapan dia membutuhkannya, seperti malam ini.
Leonel turun dari balkon lewat tangga kecil, bergerak cepat agar tak ada yang melihatnya keluar. Saat dia mendekati Raehan, pria itu memandangnya dengan wajah yang menunjukkan keprihatinan.
"Kamu baik-baik aja?" tanya Raehan, suaranya lembut namun penuh kekhawatiran.
Leonel menggeleng, meski tidak ada air mata yang terlihat. "Enggak, Rae... Aku nggak tahu harus gimana lagi. Di rumah ini, aku cuma jadi beban. Gak ada yang peduli, gak ada yang lihat aku. Bahkan Julian... Julian—"
Raehan mendekat, memotong ucapan Leonel dengan menariknya ke dalam pelukan. "Aku di sini, Nel. Kamu nggak sendirian. Gak ada yang bisa ngerubah kenyataan itu."
Untuk beberapa saat, Leonel hanya terdiam dalam pelukan Raehan, mendengarkan detak jantungnya yang stabil. Ada kehangatan dalam pelukan itu yang tak pernah dia dapatkan dari siapapun di rumahnya. Setelah beberapa menit, Raehan melepasnya, namun tetap memegang bahu Leonel.
"Kita pergi dari sini, Nel," Raehan berkata dengan nada tegas. "Kamu nggak harus terus-terusan menderita di tempat ini."
"Tapi... ke mana?" Leonel ragu-ragu. "Aku nggak punya tempat lain."
Raehan tersenyum kecil, namun penuh keyakinan. "Kamu selalu punya tempat, Nel. Selama kamu punya aku, kamu punya tempat."
Malam itu, tanpa melihat ke belakang, Leonel dan Raehan meninggalkan rumah yang selalu menjadi sumber penderitaannya. Mereka berjalan bersama di bawah hujan yang kini mulai deras, melewati jalan-jalan sepi menuju tempat yang lebih tenang—tempat di mana Leonel bisa merasa bebas untuk sementara waktu.
Mereka berdua akhirnya berhenti di sebuah kedai kecil yang buka sepanjang malam. Hujan masih mengguyur, tapi di dalam, suasana terasa hangat dan bersahabat. Raehan memesan dua cangkir kopi hangat sambil mempersilakan Leonel duduk di bangku di dekat jendela.
Saat Leonel memandang keluar, dia merasakan kebebasan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Meski ada rasa takut di dadanya, dia tahu bahwa melangkah pergi dari rumah tadi adalah keputusan yang benar.
Raehan duduk di depannya, menatapnya dengan tatapan yang dalam. "Kamu harus mulai mikirin diri kamu sendiri, Nel. Semua orang di rumah itu nggak pernah kasih kamu ruang buat jadi diri kamu. Sekarang saatnya kamu nentuin apa yang kamu mau."
"Entah kenapa, itu justru yang bikin aku takut," jawab Leonel pelan. "Aku selalu merasa... aku cuma bagian dari mereka. Kalau aku keluar, apa aku masih bisa jadi diri aku sendiri?"
Raehan menggeleng. "Kamu nggak pernah jadi bagian dari mereka, Nel. Kamu terlalu kuat buat diikat sama aturan-aturan mereka. Dan soal jadi diri sendiri... kamu cuma perlu percaya. Aku ada di sini buat bantu kamu."
Malam itu, di kedai yang sepi, Leonel dan Raehan berbicara lama. Tentang masa lalu, tentang masa depan, dan tentang harapan yang selama ini terkubur di dalam hati Leonel. Setiap kata yang diucapkan Raehan terasa seperti cahaya yang perlahan-lahan menghangatkan kegelapan yang selama ini menyelimuti Leonel.
Ketika fajar mulai menyingsing, Leonel akhirnya merasa sedikit lebih kuat. Meskipun jalannya masih panjang dan penuh rintangan, dia tahu bahwa dia tidak sendiri. Dengan Raehan di sisinya, dia punya alasan untuk melangkah maju, bahkan jika itu berarti meninggalkan segalanya di belakang.
"Saatnya memulai hidup yang baru," gumam Leonel sambil menatap langit yang mulai cerah.
Raehan mengangguk setuju. "Dan aku bakal ada di sini buat bantu kamu jalanin semuanya."
Leonel menghela napas panjang, namun kali ini, bukan napas putus asa. Ini adalah napas penuh harapan—harapan akan masa depan yang lebih baik, jauh dari bayang-bayang keluarganya.