"Cuma karna I-Phone, kamu sampai rela jual diri.?" Kalimat julid itu keluar dari mulut Xander dengan tatapan mengejek.
Serra memutar malas bola matanya. "Dengar ya Dok, teman Serra banyak yang menyerahkan keperawanannya secara cuma-cuma ke pacar mereka, tanpa imbalan. Masih mending Serra, di tukar sampa I-Phone mahal.!" Serunya membela diri.
Tawa Xander tidak bisa di tahan. Dia benar-benar di buat tertawa oleh remaja berusia 17 tahun setelah bertahun-tahun mengubur tawanya untuk orang lain, kecuali orang terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
"Apa perlu kita tes DNA agar kamu percaya.?" Tawar Darwin sungguh-sungguh. Dia bersikeras meyakinkan Serra bahwa dia adalah ayah kandungnya.
Serra tersenyum miring. "Nggak perlu, saya lebih percaya ayah saya sudah meninggal. Lagipula saya nggak butuh seorang ayah dan nggak membutuhkan pengakuan sebagai anak kalau memang ayah saya masih hidup.!" Tegasnya penuh penekanan.
"Saya permisi.!" Serra beranjak dari kursinya, namun Darwin lebih cepat menahan pergelangan tangan Serra.
"Pada kenyataannya kamu memang putri kandung saya bersama Sena. Saya menemani Sena melahirkan kamu. Kamu juga harus tau bahwa kamu memiliki saudara kembar." Terang Darwin yang ingin meyakinkan Serra sekali lagi.
Serra mengepalkan sebelah tangannya yang tidak di genggam oleh Darwin. "Saya nggak peduli.! Bagi saya, pria yang ditakdirkan sebagai ayah saya sudah lama mati.! Sebaiknya Anda jangan muncul lagi di depan saya.!" Teriak Serra sembari menarik kasar tangannya dari genggaman Darwin.
Beberapa pengunjung kafe saling berbisik setelah mendengar teriakan Serra. Mereka langsung bisa mencerna ucapan gadis itu meski tidak mendengar obrolan mereka sebelum Serra berteriak. Apalagi mereka melihat sendiri gadis muda dan pria paruh baya itu memiliki beberapa kemiripan di wajahnya.
"Hanya ayah kandung yang nggak punya hati yang menelantarkan putrinya dan baru menemuinya setelah 17 tahun.! Jadi jangan harap saya akan percaya.!". Tegasnya masih dengan nada tinggi. Serra kemudian pergi dari kafe setelah membungkam Darwin tanpa bisa berkata-kata lagi.
"Cih,, dasar tua bangka. Tega sekali menelantarkan anak secantik itu." Salah satu pengunjung kafe berdecak sambil menatap ke arah Darwin. Wanita itu ikut geram menyaksikan perdebatan seorang anak dan ayah kandungnya.
"Pasti karna ada maunya, jadi berani muncul di depan putrinya setelah 17 tahun. Nggak punya malu." Sambung pengunjung lain yang tak kalah geram dan ikut merasakan amarah Serra.
Darwin bergegas pergi karna tidak tahan mendengar cibiran orang-orang disekitarnya yang membuat semakin kesal.
...*****...
Serra tidak langsung pulang ke rumah Sila dan memilih pergi ke taman untuk menenangkan diri. Jujur saja, suasana hatinya sangat berantakan. Pertemuannya dengan pria yang mengaku sebagai ayah kandungnya, cukup mempengaruhi perasaannya saat ini. Dalam hati kecilnya, Serra sebenarnya senang karna ayahnya masih hidup dan dia bisa bertemu secara langsung. Sejak kecil dia percaya ketika semua keluarganya mengatakan jika ayahnya sudah meninggal. Namun seiring bertambahnya usia, Serra merasa ada yang janggal karna tidak pernah ditunjukkan makam ayahnya.
"Dia sudi menemui ku karna ingin menyelamatkan nyawa anaknya yang lain." Gumam Serra dengan senyum miris. Seandainya saudara kandungnya tidak mengalami sakit keras, Serra yakin sampai dia mati sekalipun, pria tua itu tidak akan datang dan mengaku sebagai ayahnya.
Serra merasakan dadanya berdenyut nyeri. Dia hanya ingin dimanfaatkan oleh mereka untuk menyembuhkan saudara kembarnya yang hidupnya berbanding terbalik dengannya. Dia bisa hidup enak karna memiliki orang tua kaya, sedangkan Serra disini harus hidup serba kekurangan secara finansial. Dia hanya mendapatkan kasih sayang dari keluarganya yang berasal dari keluarga sederhana.
Sambil menikmati satu cup es krim di tangannya yang dia beli di pinggir taman, Serra hanya bisa menyaksikan orang-orang yang tertawa bahagia bersama pasangannya, bersama keluarga ataupun teman-temannya. Semua pengunjung di taman ini terlihat bahagia. Hanya Serra sendiri yang merasa sedih, kesepian dan tidak tau nasib hidupnya setelah ini.
"Kamu disini.?" Suara familiar itu menyadarkan Serra dari lamunan. Kepalanya mendongak, ditatapnya laki-laki bertubuh tinggi yang berdiri dihadapannya, senyum lebar terbit di sana.
Serra tidak menggubris, dia kembali menyuapkan es krim ke dalam mulut sambil melihat orang-orang yang berlalu-lalang. Taman ini semakin gelap semakin ramai. Meski bukan weekend tapi tetap ramai. Di sekitar taman banyak penjual makanan, orang-orang menikmati sore hari sembari mencicipi kuliner disini.
Laki-laki itu duduk di samping Serra tanpa meminta ijin.
"Geser.! Jangan dekat-dekat." Tegur Serra saat di rasa laki-laki itu duduk terlalu menempel padanya.
Sambil menghela nafas, laki-laki itu bergeser sedikit. "Kamu benar-benar menolak ku.?" Tanyanya dengan dana tak percaya sekaligus kecewa.
Serra memutar malas bola matanya untuk menatap Aron, adik kandung Xander satu-satunya.
"Perlu aku ulangi lagi.?!" Ujar Serra sedikit ketus. Suasana hatinya sedang buruk, sekarang ada Aron di sampingnya, Serra merasa ingin melampiaskan kekesalannya pada Aron saat ini juga.
"Cukup, jangan diulang lagi atau aku akan semakin sakit hati dengan penolakan mu." Ujar Aron yang tampak mendramatisir kekecewaannya dengan bicara sendu.
Serra mencebik. Dia tidak memperdulikan Aron dan memilih menghabiskan es krimnya.
Sementara itu, Aron malah memandangi wajah cantik Serra dari samping. Dia menatap Serra antara kagum dan heran. Kagum dengan kecantikannya, sifat dan sikapnya. Bahkan ketika Serra marah-marah sekalipun, Aron tetap suka melihatnya. Namun Aron merasa heran karna Serra tetap menolaknya setelah mengetahui dirinya berasal dari keluarga konglomerat. Serra bahkan melihat sendiri rumah keluarganya yang tampak seperti istana dibanding rumah-rumah lainnya. Tapi keputusan Serra untuk menolaknya tidak bisa diganggu gugat.
"Katanya kamu belum punya pacar, lalu apa yang menjadi alasan menolak ku.?" Lirih Aron hati-hati.
Serra menghela nafas sembari menghembuskan nafas kasar. "Melihat wajahmu saja rasanya aku ingin mengamuk. Kamu ingin aku darah tinggi karna mengamuk setiap hari kalau kita pacaran.?!" Terangnya jujur.
Awal pertemuannya dengan Aron tidak memiliki kesan yang baik, jadi Serra hanya akan emosi jika melihat Aron.
"Hanya karna wajahku.? Aku bisa pergi ke luar negeri untuk operasi wajah, kamu ingin wajah yang seperti apa.?" Seru Aron antusias. Dia tidak tersinggung sama sekali mendengar kejujuran Serra.
Sementara itu, Serra melongo tak habis pikir dengan jawaban Aron. "Dasar sinting.!" Cibirnya kemudian beranjak meninggalkan Aron.
"Serra, tunggu.! Aku serius rela mengubah wajahku.!" Teriak Aron seraya mengejar langkah Serra yang semakin kencang.
Aron tidak bisa mengejar lagi karna Serra masuk ke dalam angkutan umum yang langsung melesat dari taman.
"Bisa-bisanya Dokter Xander miliki adik yang gila seperti itu." Gumam Serra lirih. Sikap Xander dan Aron bagaikan bumi dan langit. Xander cenderung cool dan tertutup, sedangkan Aron terlalu percaya diri dan blak-blakan mengekspresikan perasaannya.
...*****...
"Pah, bagaimana.? Papa sudah menemui Serra.?" Tanya Marta begitu keduanya masuk ke dalam kamar. Darwin menggeleng.
"Dia pulang lebih awal dari sekolah. Papa sudah menunggu juga di dekat rumah Tantenya, tapi Serra nggak pulang kesana hari ini." Tutur Darwin bohong. Dia menyembunyikan pertemuannya dengan Serra sore tadi. Darwin merasa suasana hatinya sedikit terusik setelah bertemu dan mendengarkan semua perkataan Serra. Jadi dia memilih berbohong pada istrinya.
Marta berdecak. "Kalau begitu besok biar Mama saja yang menemui anak itu. Mama Akan menunggunya lebih awal di depan sekolahnya.!" Seru Marta tidak sabaran.
"Jangan membuat keadaan menjadi kacau, kamu percaya saja padaku. Besok Papa akan mencoba menemuinya." Ujar Darwin dan Marta tidak mendebat lagi.
"Zayn harus segera mendapatkan donor itu, Mama nggak mau Zayn pergi, Mama sudah menganggap dia seperti anak sendiri. Papa tau sendiri sejak lahir Mama yang Zayn mengasuh dan membesarkan Zayn tanpa bantuan orang lain. Itu karna Mama sengaja ingin menumbuhkan kedekatan dan ikatan batin dengan Zayn. Kehadiran Zayn membuat Mama melupakan kesalahan Papa di masa lalu dan bisa berdamai dengan keadaan." Tutur Marta.
Darwin mengangguk paham dan menarik bahu Marta dalam dekapannya. "Terimakasih karna Mama bisa memaafkan kesalahan Papa."