15 tahun berlalu, tapi Steven masih ingat akan janjinya dulu kepada malaikat kecil yang sudah menolongnya waktu itu.
"Jika kau sudah besar nanti aku akan mencarimu, kita akan menikah."
"Janji?"
"Ya, aku janji."
Sampai akhirnya Steven bertemu kembali dengan gadis yang diyakini malaikat kecil dulu. Namun sang gadis tidak mengingatnya, dan malah membencinya karena awal pertemuan mereka yang tidak mengenakkan.
Semesta akhirnya membuat mereka bersatu karena kesalahpahaman.
Benarkah Gadis itu malaikat kecil Steven dulu? atau orang lain yang mirip dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiny Flavoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20 - Remind me of that past!
Rimba mengambil tas pakaian yang sudah berdebu dari atas lemari. Ia lalu membersihkan debunya dengan kain basah.
"Buat apa?" tanya Steven sekembalinya dari kamar mandi. Lelaki itu baru saja selesai membersihkan dirinya.
"Buat nampung baju," sahut Rimba tanpa menoleh ke arah orang yang bertanya. Ia masih sibuk membersihkan tas berwarna hitam itu dengan kain lap.
Steven mengibas-ngibaskan tangan didepan indera penciumannya. "Itu penuh debu lho! daripada di lap gitu mending kamu rendam dan cuci. Debunya kan kemana-mana kalo gitu caranya," protesnya. Lalu ia jadi bersin-bersin karena memang Steven alergi terhadap debu.
"Kalo dicuci ya kapan keringnya, pan sekarang kita mau pulang," kata Rimba.
"Emang mau bawa apa lagi sih? bukannya udah sekoper baju yang dibawa waktu itu?" tanya Steven.
"Dikit kak, kemarin aku malah banyak bawa baju untuk di rumah, baju-baju pergi sama buat ke kampus masih disini," sahut Rimba seraya mengibaskan kain lapnya ke udara. Jadilah debu-debu itu semakin bertebaran ke mana-mana.
Reaksi alergi Steven semakin menjadi. Hidung dan matanya pulau memerah, ditambah bersin-bersin yang terus-menerus.
"Cukup ya Rim, ini debu banget," gumam Steven sambil memegangi hidungnya. "Kamar kamu udah terkontaminasi debu ini, harusnya tadi bersihinnya diluar," ucapnya gemas.
Rimba tersadar saat melihat debu-debu beterbangan di kamarnya. Udara dikamarnya itu jadi terlihat pengap, ia segera membuka jendelanya lebar-lebar. "Sori, aku nggak nyadar," gumamnya mendekati Steven yang masih menutup hidungnya dengan kedua tangan.
"Bajunya nggak usah dibawa sekarang, nanti-nanti kan bisa," saran Steven.
"Trus kalo kuliah besok pake apa? masa pake piyama motif Tedy bear?"
Steven kembali bersin, lalu segera menarik selembar tissue dari kotaknya diatas nakas. "Dari sini ke mampir ke mall, kamu bisa beli pakaian yang baru," sahutnya kali ini menutup hidung dengan tissue.
"Hah? beneran kamu mau beliin aku baju?" Perempuan mana yang menolak ditawari shoping oleh suaminya sendiri.
"Iya, sekalian kita beli stok makanan buat dirumah kebetulan abis," sahut Steven.
"Asiik, tapi aku nggak mau satu, beberapa stel boleh kan ya biar sekalian?" tawar Rimba kalap. Benar-benar memanfaatkan kebaikan suaminya itu.
"Boleh, asal jangan satu toko aja kamu borong, nanti kita makan pake apa," ujar Steven makin gemas saja dengan tingkah istrinya.
"Iyess! kalo gitu ayo, kita siap-siap trus pamit sama Bunda," kata Rimba sepertinya tak sabar. Rasanya sudah lama ia tidak nge-mall dan liat-liat pakaian disana meski dulu tidak membelinya.
***
"Selamat datang kakak! ada yang bisa saya bantu?" sambut seorang penjaga gerai merk ternama yang menjadi langganan Steven.
"Tolong anda pilihkan semua baju yang cocok dipakai sama dia, bungkuskan untuk saya!" ujar Steven sambil menunjuk Rimba yang ternyata masih jauh tertinggal di pintu masuk.
Rimba bimbang, ia merasa takut untuk masuk. Dulu saat ia pergi ke mall seperti ini bersama Ellena dan Angela, ia tak berani masuk ke gerai merk ternama. Tapi sekarang Steven malah mengajaknya kemari.
"Baik Kak," jawab sang penjaga gerai seperti sudah sangat mengenal Steven sebagai costumer setianya.
"Rim!" panggil Steven mengagetkan Rimba. Ia melambai kecil, membuat Rimba terpaksa masuk untuk menurutinya.
Mata Rimba membulat, terpana melihat banyaknya barang mewah yang untungnya memperbaiki moodnya. Kendati demikian, ia melangkah hati-hati sekali, takut menyentuh sesuatu dan merusaknya. Seperti yang sering kita temui di toko-toko piring dan gelas kristal, 'Pecah berarti membeli'.
"Kamu bisa cari yang pas buat kamu pake," ucap Steven menunjuk deretan dress perempuan yang terlihat sangat elegan.
"Dress?" Rimba mengernyit. "Saya nggak biasa pa---"
"Kamu masih nyaman pake celana jeans bolong-bolong dan t-shirt gantung kurang bahan itu ke kampus?" potong Steven tak ingin mendengar penolakan. "Calon dokter jangan urakan dong!" tambahnya menyindir.
'Ah, sialan nih orang bilang gue urakan. Tahan Rim! dia suami Lo, jangan sekali-kali ngebantahnya!' batin Rimba menenangkan hatinya sendiri.
Rimba menghela napasnya dalam-dalam, lalu mendekat ke arah suaminya, ia mulai berbisik lirih, "Disini mahal-mahal Om, mending kita cari ke toko lainnya yang ada discountnya. Ato kita ke tanah Abang aja yang bisa ditawar dan dapet banyak dengan harga segini," ucapnya gemes.
Steven tersenyum tipis. Sejenak Rimba merasa Steven memahami situasinya. Namun bukan Steven yang perfeksionis namanya jika tidak membuat Rimba kelimpungan. Lelaki itu justru menunjuk beberapa dress untuk ikut dibawa ke kasir. Tanpa peduli pada Rimba yang berusaha menarik lengannya untuk mencegah.
"Terima kasih atas kunjungannya Kakak, selamat datang kembali," ucap sang kasir ramah.
Mereka pun segera keluar dari gerai itu setelah Steven membawa beberapa tas pakaian hasil belanjanya. Dengan malas Rimba mengekor Steven. Bagaimana tidak malas, Steven sendiri yang memilihkan beberapa pakaian model dress itu tanpa bertanya lebih dulu apakah rimba menyukainya atau tidak.
"Kamu pilih lagi," tunjuk Steven pada gerai pakaian yang lain, kali ini mereka masuk ke gerai pakaian dalam.
Rimba menutup mulutnya syok. Seakan Steven lebih berpengalaman masuk gerai pakaian dalam perempuan ketimbang dirinya.
"Kamu perlu saya bantu milihin?" tanya Steven iseng, meski ekspresi wajahnya terlihat datar.
"Kok kesini sih? cukup kok yang ada dirumah juga," protes Rimba.
"Maksudmu yang hampir semua motifnya polkadot full color itu? cari yang polos aja kenapa?"
"Ih, jadi kamu ngintip isi kopernya?" Rimba melotot menatap suaminya.
"Cari yang soft, yang lebih elegan," pinta Steven lirih.
Rimba mendesah gemas, "Fine! Saya pilih sekarang!" katanya seraya menjejak-jejakkan kakinya ke lantai kasar, kesal pada lelaki yang ikut mengiringinya masuk.
"Nah gitu dong," dengus Steven seakan tak peduli tatapan aneh dari pengunjung lain yang sekaligus terpesona ketampanannya.
Cukup lama Steven duduk di kursi tunggu masih dengan tatapan tak lepas dari ponselnya. Ada beberapa pesan masuk dan panggilan tak terjawab dari Sean, adik Steven dari beda ibu yang selama ini tinggal di New York.
"Yang merk ini lebih cenderung nyaman untuk dipakai olahraga Kak," ucap penjaga toko gerai menyadarkan Rimba yang tengah melamun menatap wajah serius Steven.
"Ah iya," jawab Rimba tersenyum, "Saya nyari yang lebih nyaman dipake sehari-hari aja mbak," balasnya.
'Pake bra yang polos, jangan pake yang polkadot gitu, norak!' Rimba langsung teringat ucapan Steven waktu dirinya terpeleset dikamar mandi waktu itu. Apalagi ia masih teringat dengan jelas ekspresi Steven saat mengatakannya, jelas terpatri diingatan Rimba. Sebuah ekspresi melindungi, bukan mesum.
"Yang warnanya Soft aja Mbak, jangan yang mencolok," pinta Rimba lagi. Ia tersenyum melirik Steven, meski sang suami tampan tak terlalu mendengarnya karena sibuk berkomunikasi dengan seseorang diponselnya.
"Oke, saya pilihkan beberapa ya Kak. Silahkan dicocokkan sama ukurannya," kata sang penjaga gerai seraya menyerahkan beberapa item bra dengan merk berbeda.
"Kayaknya yang ini nyaman Mbak," tunjuk Rimba pada satu set bra berwarna soft tak berenda.
"Bener banget kak, saya bungkus, ukuran berapa?" tanya penjaga gerai ramah.
"Ukuran 34B ya,"
"Siap, Ada lagi? Mumpung punya pacar yang sabar banget nungguin gitu. Jarang lho ada yang mau nunggu ceweknya milih pakaian dalam," puji penjaga gerai takjub.
"Ah," Rimba tercekat, "Dia suami saya, mbak. Kami sudah menikah."
"Eh? jadi kakak udah nikah? kirain masih pacaran, soalnya kakaknya masih imut-imut dan kaya masih sekolah gitu."
"Saya emang masih sekolah Mbak," sahut Rimba masih mau menanggapi sang penjaga gerai.
"Masih kuliah? aih, pasti kakak dijodohin ya makanya nikah muda, atau terciduk berduaan makanya dipaksa nikah?" tebaknya tepat sasaran.
"Nggak juga sih, Mbak. Sayanya aja yang pengen nikah muda, apalagi sama laki-laki hot kaya dia, bikin saya ketagihan," desis Rimba malah sengaja memanasi si Mbak penjaga gerai yang kepo abis itu hingga tersenyum pias dan mulai kegerahan. "Itu aja deh, tolong dibungkus ya," lanjutnya.
"I-iya kak. Silahkan ke kasir ya," ucap penjaga gerai bingung, tak menyangka Rimba akan memberi tanggapan berbeda soal ucapannya.
"Kak, udah tuh, tinggal bayar!" tegur Rimba membuat Steven mengangguk dan mengalihkan pandangannya dari layar ponsel sekejap.
Sebelah tangan Steven nampak menarik keluar satu dompet yang tidak terlalu tebal lalu memberikannya pada Rimba. "Ambil kartu warna gold didalam, bayar pake itu aja," ujarnya.
"Lho, tapi--"
"Passwordnya 541999"
"Itu tanggal lahir saya?"
"Iya, kenapa? kartu itu punya kamu, kamu bisa pake kartu itu buat kebutuhan apa saja" jawab Steven sangat enteng. "Udah bayar dulu sana!" pintanya.
Rimba mengangguk, kembali ke kasir sambil membawa dompet milik Steven ditangannya.
"Totalnya 765.000 kak," kata sang kasir.
'Buset, beli baju daleman aja hampir sejuta?' batin Rimba. Ya sudahlah, toh yang bayarin suaminya sendiri. pikirnya begitu.
"Bentar ya Mbak," gumam Rimba lalu membuka dompet dan mencari kartu berwarna emas yang tadi dikatakan Steven. "Pake ini Mbak," tambahnya sambil menyerahkan kartu itu pada kasir.
Sambil menunggu proses pembayaran, tak sengaja rimba melihat isi dompet Steven yang masih terbuka. "Lho ini foto gue?" gumamnya kaget saat melihat foto dirinya terpajang didompet tersebut.
Difoto itu ada gambar dirinya waktu kecil bersama Steve yang terlihat masih sangat muda. Rimba menatap foto itu lekat-lekat. 'ini benar foto gue waktu kecil kan? kok bisa sama Steven? kapan dan dimana ini? Ya Tuhan kok gue nggak inget sih? ini bukan gue!' Rimba reflek menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Passwordnya Kak!" tiba-tiba petugas kasir itu membuyarkan pikiran Rimba.
"Oh," sahut Rimba lalu menekan beberapa angka di mesin EDC.
.
.
.
Cinta adalah keabadian, dan kenangan adalah hal terindah yang pernah dimiliki.