Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Naura dengan mata berbinar-binar melihat ke arah ku yang duduk di samping Kevin, seraya berkata dengan bangga, "Cantik kan, Om, mamah aku?" suaranya riang memenuhi ruangan.
wajahku langsung memerah, hanya bisa tersenyum malu sambil melirik ke arah Kevin yang tersenyum lebar mendengar pujian itu. "Naura," bisik ibunya dengan nada malu.
"Emang bener kan, Mah? Mamah gak usah malu gitu, Om Kevin orangnya baik kok, dan sayang juga sama Naura. Naura sering dibelikan es krim loh, Mah," cerocos Naura tanpa henti, matanya berkilau penuh kebahagiaan.
"Benarkah?" tanya ku, mataku terarah pada Kevin yang mengangguk sambil tertawa kecil.
"Iya dong, Mah. Oh iya, Om, besok kalau Naura sudah sembuh, kita ajak Naura ke kantor polisi lagi ya, Om?" Naura bertanya dengan semangat, tidak sabar ingin berpetualang lagi.
"Beres, Naura. Tapi Om gak bisa lama-lama, Om ada tugas. Melihat Naura sudah baik-baik saja, Om pulang dulu ya," jawab Kevin sambil berdiri dan mengacak rambut Naura dengan lembut.
Kevin berpamitan dengan ibu dan aku, lalu melambaikan tangan sebelum berjalan keluar, meninggalkan kami berdua.
Naura, tiba-tiba berseru, "mah, itu apa di lantai? Seperti kunci mobil ya?" sambil menunjuk ke bawah.
Aku melirik ke lantai, dan ternyata benar saja, ada kunci mobil tergeletak. "Ini milikku atau Om Kevin, ya?" tanyaku.
Ibu, yang berada di dekatku, menyahut, "Kunci mobil kamu ada di sini, Nak," seraya memperlihatkan kunci mobilku yang berada di dalam tasnya.
"Berarti itu milik Om Kevin. Tolong kasihkan, Mah. Kasihan kalau dia kehilangan kuncinya," pinta Naura dengan rasa prihatin.
"Baiklah, Nak," jawabku, mengambil kunci tersebut.
Aku keluar dari bangsal rumah sakit, berjalan menyusuri lorong demi lorong untuk mencari Kevin. Pikiranku mulai merasa cemas, "Semoga aku menemukannya sebelum dia semakin panik mencari kuncinya."
Namun, Kevin tak kunjung kutemui di lorong-lorong rumah sakit. Akhirnya, aku bergegas menuju parkiran mobil, mengikuti naluri yang menggoda pikiranku. Dan benar saja, di sana aku melihat Kevin tampak bingung mencari kunci mobilnya.
Dengan nafas yang tersengal-sengal karena terburu-buru, aku berjalan santai mendekatinya sambil tersenyum. "Kevin, apa sedang mencari ini?" tanyaku sambil mengibaskan kunci mobil di tanganku.
Kevin menoleh ke arahku dan menjawab, "Iya, tadi tergeletak di lantai."
Aku memberikan barang tersebut kepadanya sambil berkata, "Mungkin tadi terjatuh, makasih ya Rania." Kevin terlihat gugup
dan aku hanya bisa menjawab, "Sama-sama." Sejujurnya, aku merasa bingung dan tidak tahu harus berbicara apa lagi.
Mungkin lebih baik aku pergi saja. Namun, sebelum aku beranjak, Kevin berkata lirih, "Eeemm, Rania."
"Iya?" balasku, penasaran dengan apa yang ingin ia sampaikan.
Kevin tampak ragu sebelum akhirnya mengungkapkan perasaannya. "Maaf jika aku lancang langsung masuk tadi, jujur saya khawatir dengan keadaan Naura, setelah aku tahu kalau dia dirawat," ujarnya dengan ekspresi yang serius.
Aku tersenyum dan menjawab, "Iya, tidak apa-apa, Kevin. Terima kasih sudah peduli pada Naura." Aku membalikkan badan dan berjalan kembali menuju gedung rumah sakit.
Ketika melangkah, pikiran ini seketika teringat tentang kedekatan Naura dan dirinya. Kenapa tadi aku tidak bertanya lebih banyak soal hubungan mereka? Apakah aku terlalu terkejut dengan kehadiran Kevin? Atau mungkin aku grogi?
Ah, pikiran ini terasa aneh lebih baik nanti aku tanya saja langsung ke Naura, saat aku masuk ke bangsal aku melihat dia begitu bahagia ngobrol dengan ibu.
Aku mendengar bisik-bisik bahwa Naura ingin memiliki ayah seperti Kevin. Aku sangat kaget dengan perkataan Naura,
"Ssst, Naura! Jangan berbicara begitu.
Bagaimana jika papah dengar?" sergahku.
"Mama, jangan ikut-ikut deh. Naura kesal sama papah. Bukannya papah berjanji akan datang, tapi mana? Sampai sekarang Ayah belum ke sini!" keluh Naura dengan kesal.
Aku tak tahu harus menjawab apa, aku hanya duduk di sofa sambil mengecek pesan di ponselku. Banyak sekali pesan dari Sumi dan pesanan pun membludak.
"Alhamdulillah," gumamku sambil tersenyum.
Aku mencoba berkonsentrasi pada pesanan tersebut sambil mendengarkan keluh kesah Naura. Semoga nanti kami bisa membahas perasaannya lebih jauh, tapi untuk sekarang ini, aku harus menyelesaikan pesanan ini.
***
Keesokan harinya, kami bersiap-siap untuk pulang ke rumah. Naura tampak begitu bahagia, apalagi karena banyak yang menjenguknya semalam.
Saat Naura hendak masuk ke dalam mobil, Mas Adnan tiba-tiba datang. Naura langsung melirik kesal kepadanya saat ia keluar dari mobil.
Aku hanya bisa memperhatikan keduanya dari kejauhan, berharap semuanya akan baik-baik saja nantinya.
"Loh, nak, kok udah pulang saja? Kamu udah beneran sembuh?" ucap Mas Adnan dengan wajah khawatir.
Naura hanya menatapnya saja, enggan mau bicara. Saat Mas Adnan ingin memeluk Naura, tangannya langsung dihempaskan. "Jangan sentuh Naura! Ayo, Nek, kita masuk," ketus Naura, sambil berlalu dan menahan emosi yang memuncak di dalam hatinya.
"Naura, tunggu Papah, Nak. Papah bisa jelaskan semuanya, jangan seperti ini dong sama Papah," seru Mas Adnan memohon.
Namun, Naura seakan tidak peduli dengan Mas Adnan, ia menutup pintu mobil dan tak lama mobil pun berjalan.
Mas Adnan menoleh ke arahku dan mendekat, wajahnya penuh pertanyaan dan rasa marah campur bingung. "Rania, apa kamu mempengaruhi Naura untuk marah padaku?" serunya.
"Apaan sih? datang-datang marah! Seharusnya Mas tau kenapa Naura marah sama kamu," seruku sambil menunjuk dadanya.
Aku merasa tak percaya bahwa dia benar-benar tidak tahu alasannya.
"Lah, emang aku salah apa? Aku ke luar kota untuk kita juga," keluh Mas Adnan, mencoba memberi penjelasan.
Aku hanya bisa mendesah, merasa frustrasi dengan ketidaktahuannya akan apa yang telah terjadi selama dia pergi.
Di satu sisi, aku merasa simpati pada Naura yang harus menghadapi rasa sakit ini sendirian, dan di sisi lain, aku berharap Mas Adnan dapat segera menyadari kesalahannya dan mencoba memperbaikinya.
Bagaimanapun, yang terpenting sekarang adalah kesehatan Naura,
"Oh iya, terima kasih ya, Mas, udah bekerja keras untuk keluarga kita," jawabku dengan nada sinis.
"Apa maksud kamu, Rania?" Tanya Mas Adnan. Tanpa menjawab, aku membuka pintu mobil dan langsung masuk ke dalamnya.
Kupercepat mobil keluar dari area rumah sakit dengan kecepatan tinggi. Tak lama kemudian, ponselku berdering. Mas Adnan menelponku, namun aku tidak mengangkatnya.
Kecewa, aku membiarkan ponsel berdering beberapa kali sebelum akhirnya menjawabnya dengan kesal.
[ "Hallo, Mas, ada apa?"] tanyaku datar.
[ "Aku hanya mau bilang, hari ini aku lembur lagi,"] jawab Mas Adnan seakan tidak merasa bersalah.
Hatiku bergolak mendengar ucapannya. Belum sempat dirinya sampai di rumah dan menghadapi Naura yang marah, ia sudah mengatakan akan lembur lagi.
[ "Gak pulang juga gak papa kok, Mas,"] jawabku dengan perasaan kecewa dan emosi.
"Aku sudah cukup capek menghadapi situasi seperti ini. Apa selama ini, bekerja lebih penting daripada keluarga kita? Apakah kebahagiaan Naura dan diriku tidak sebanding dengan kesuksesanmu di tempat kerja?" perasaan sedih, kecewa dan marah mulai bercampur jadi satu.
[ "Kumohon, Mas, berfikirlah lagi tentang apa yang sebenarnya kau inginkan,"] pesanku sebelum menutup telepon.
****