Pondok pesantren?
Ya, dengan menempuh pendidikan di Pondok Pesantren akan memberikan suatu pengalaman hidup yang berharga bagi mereka yang memilih melanjutkan pendidikan di pondok pesantren. Belajar hidup mandiri, bertanggung jawab dan tentunya memiliki nilai-nilai keislaman yang kuat. Dan tentunya membangun sebuah persaudaraan yang erat dengan sesama santri.
Ina hanya sebuah kisah dari santriwati yang menghabiskan sisa waktu mereka di tingkat akhir sekolah Madrasah Aliyah atau MA. Mereka adalah santri putri dengan tingkah laku yang ajaib. Mereka hanya menikmati umur yang tidak bisa bisa mendewasakan mereka.
Sang Kiyai tak mampu lagi menghadapi tingkah laku para santriwatinya itu hingga dia menyerahkannya kepada para ustadz mudah yang dipercayai mampu merubah tingkah ajaib para santri putri itu.
Mampukah mereka mengubah dan menghadapi tingkah laku para santri putri itu?
Adakah kisah cinta yang akan terukir di masa-masa akhir sekolah para santri putri itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KECELAKAAN
Disinilah Adira duduk didepan Agra, satri itu terlihat menutup wajahnya dengan kertas putih dengan bibir yang terus mengeluarkan suara merdunya. Menyetor hafal yang kemarin diberikan Agra dkk kepada mereka.
Agra merasa tenang mendengar suara kecil namun menenangkan itu, sesekali Agra menggoyangkan kecil tubuhnya kekiri dan kekanan menikmati lantunan ayat-ayat cusi Al-Qur’an.
Hingga Adira mengakhiri setorannya, ustadz mudah itu bahkan merasa tak rela Adira begitu cepat mengakhirinya.
“Bagus, lain kali jika pengajian sorenya sudah selesai langsung kembali keasrama. Jangan melamun hingga lupa waktu seperti kemarin lagi jika tidak mau kami beri hukuman.” Jelas Agra kepada Adira.
“Na’am ustadz.” Jawab Adira pelan. “Emmm ustadz.” Panggil Adira kepada Agra.
Agra menatap Adira. “Hm?”
Adira melipat bibirnya kedalam, kenapa pula dirinya merasa salah tingkah seperti ini. “Emmm a-ku mau tannya boleh?”
Agra mengangguk. “Tentu saja.”
“Ustadz Agra beneran alumni disini?” Tanya Adira. Dia merasa sangat kepo dengan para ustadz mudah ini.
Agra membuka kopiahnya hingga rambut yang hitam legam itu menyembul dan Adira merasa gemas dengan rambut yang tuing tuing menutupi jidat mulus ustadz Agra.
“Tampannya ma sya Allah…,” Lirihnya. Kemudian. “Eh astagfirullah Aidra sadar kamu.” Bisiknya kepada dirinya.
“Saya, Abraham, Bima dan Abyan sama-sama alumni disini. Setelah lulus dari sini kami tidak langsung melanjutkan pendidikan melainkan kami mengabdi selama setahun disini.” Jawab Agra.
Agra duduk bersilah tanpa kopiah putihnya, baju gamis hitam dengan dua kancing dibiarkan terbuka menampilkan baju tipis berwarna putih itu terlihat sedikit dan gamis yang dilipat sampai pahanya menampilkan sarung polos hitam.
Lalu Adira duduk didepan Agra dengan mukenah putihnya, dan beberapa buka dan kitab didepannya.
“Mengabdi?” Tanya Adira dengan wajah penasaran.
“Ya, mengabdi membantu para pembina disini.” Jawabnya lagi.
Adira mengangguk paham. “Owhhh, terus kenapa ustadz sangat cepat selesai pendidikan di mesir?”
Agra memainkan lidahnya, lalu menjawab. “Karena kami pintar.” Jawabnya. Membuat Adira menyipitkan matanya.
“Dih, masa?” Adira sepertinya belum percaya.
“Kalau tidak pintar, mana mungkin bisa selesai dengan cepat.” Jawab Agra. “Sudah, tuh teman mu sudah menunggu disana.” Lanjutnya menunjuk dengan wajahnya kearah belakang Adira.
Adira berbalik, benar saja ketiga temannya ada disana. “Lah iya, yasudah ustadz pamit. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
xxx
Almaira, Aruna dan Ayyara tak henti-hentinya menjerit tertahan. Bagaimana tidak jika tadi pada saat menyetor hafalan mereka ternyata berpisah dan menghadap kepada masing-masing ustadz mudah itu.
“Aku hampir ajah lupa lagi sama hafalannya, grogi ditatap ustadz Bima.” Ujar Aruna. Ya memang Aruna menyetor hafalan kepada ustadz muda Bima.
“Sama ih! Ustadz Abyan juga begitu, mana aku sempat ulang beberapa kali.” Timpal Ayyara.
“Masih untuk cuman ditatap, lah aku harus ngulang sampe rasanya tenggorokan aku kering. Ustadz Bima teliti banget.” Ucap Almaira. Mengingat tadi betapah kesalnya dirinya berhadapan dengan ustadz Bima.
Adira melangkah cepat kedepan mendahului langkah ketiga temannya lalu berhenti tepat didepan ketiganya. “Kayanya kamu memang ditakdirkan bareng ustadz Abraham, cocok soalnya.”
Almaira melotot, tak terimah dengan ucapan Adira. “Ckkk ya Allah, tidak mungkin.”
“Adira, tadi kamu ngobrolin apa dengan ustadz Agra sampai kita panggil pun kamu tidak dengar?” Tanya Aruna menatap Adira.
Adira menggeleng. “Tidak ada, cuman berbincang ringan ajah.”
“Masa?” Tanya ketiganya.
“Iyaaaaa.” Jawab Adira.
Mereka sebenarnya lelah dengan harus menaiki anak tangga ini untuk bisa sampai kelantai tiga, baru beberapa bulan mereka pindah dari lantai dua ke lantai tiga sudah merasakan kaki mereka sangatlah pegal.
Lantai satu diisi oleh kelas santri putri baru atau kelas satu Aliyah, lantai dua untuk santri putri kelas dua Aliyah dan untuk lantai tiga adalah untuk kelas akhir atau kelas tiga Aliyah.
Saat hendak berbelok ke tangga lantai dua menuju lantai tiga, mereka dikejutkan dengan Gia yang sepertinya hendak juga turun dari lantai tiga ke lantai dua dengan entek-enteknya berjumlah dua.
“Wowww, baru pulang kah?” Tanya Gia dengan wajah sinisnya.
Adira dkk memutar bola mata jengah dan wajah malas, lelah menghadapi tingkah sok berkuasa Gia dan entek-enteknya ini.
“Mau apa? Kalau mau turun nih kita kasih jalan, buruan turun.” Ucap Ayyara. Dia sangat tidak menyukai Gia.
Gia yang masih diatas ujung tangga tersenyum licik, perlahan dia turun namun berhenti saat ditengah tangga. “Ayyara, ayyara. Lo kayanya benci banget ke gue, irinya karena bokap lo dah bangkrut?”
Ayyara harus sabar menghadapi ucapan Gia yang terkadang menyulut emosi ini. “Lo kalau ngak tahu apa-apa mending diam deh, ngak usah sok tahu kehidupan orang.” Balasnya dengan santai. Bahkan dia mengubah kosa katanya yang berarti dia dalam mode serius.
“Why? Benar dong kalau bokap lo itu korup dan ngak mampu buat bayar utang ke ayah gue. Lo harusnya bersyukur karena ayah gue ngak laporin bokap lo yang makan duit haram.” Lanjut Gia lagi. Anak ini memang sangat suka mencampuri dan mengungkit masalah orang lain.
Ayyara masih bisa menahan emosinya, kata ustadz Abyan buah dari kesabaran itu luar biasa manisnya. “Lo emang suka cari ribut, gue malah kasian liat ortu lo dengan bangganya nyebutin anaknya ini anak baik padahal kenyataannya spek nenek lampir.”
Gia berhasil tersulut emosi dengan ucapan Ayyara. “Lo! Lo berani ngomong gitu ke gue?”
“Kenapa? Tidak terimah kamu dikatai nenek lampir? Benar dong kamu itu emang mirip sama nenek lampir, jadi jangan marah.” Timpal Aruna. Kakinya sudah pegal dan matanya sudah sangat mengantuk meladeni Gia ini.
“Ini mau sampai kapan disini terus sih? Capek.” Kesal Almaira.
Ayyara menatap teman-temannya, lalu menatap kembali Gia. “Ayok guys, nguras energy banget berhadapan si nenek lampir ini.”
Keempatnya mengambil sisi sebelah kiri karena Gia berada di sisi kanan, sepertinya Gia kesal menatap mereka melalu ekor matanya. Hingga pikiran licik membuat Gia tersenyum kecil saat melihat Adira yang hendak melaluinya.
Gia hendak menyandung kaki Adira, dengan cepat Gia melakukan aksinya tanpa disadari siapapun. Sedikit lagi kakinya menyampai kaki milik Adira sebelum naik ke anak tangga selanjutnya namun pijakan kaki kanannya tidak lah sempurna di anak tangga itu dan genggaman pada gagang tangga tidak kuat hingga tubuhnya kehilangan keseimbangan, kejadiannya begitu cepat.
“AAKKKHHH!!!”
“GIAAA!”
“ADIRAAA!”
BRUKKK
Adira kaget dengan Gia yang sempat mencengkram tangannya hingga kuku Gia sedikit melukai punggung tangannya, santri dengan tinggi 150 cm itu memegang kuat pada sisi tangga hingga dirinya tak terjatuh.
xxx
“Masih tidak mau menjawab hm?” Tanya kiyai Aldan menatap tajam Adira yang tertunduk dalam. “ADIRA! JAWAB SAYA.”
Adira berusaha menahan air matanya agar tidak keluar, dadanya terasa sesak saat semua mata dalam ruangan ini tertujuh padanya. “T-ti-dak kiyai, ak-ku tida-k mendorong Gia sampai jatuh.”
“Jangan bohong Adira, mereka melihat kamu yang mendorongnya. Masih mengelak kamu?” Tanya salah seorang ustadz yang seumuran dengan kiyai Aldan.
Adira merasa takut dihakimi seperti ini, bahkan seluruh tubuhnya bergetar karena ketakutan. Ruangan ini begitu sesak dan dia hanya sendiri tanpa ketiga temannya. “T-tidak ustadz, aku benar-ben-nar tidak…,”
“Lalu Gia jatuh sendiri? Begitu maksud kamu?” Lagi kiyai Aldan bertanya.
Agra menatap Adira dengan tatapan tajam dan dingin, ada perasaan aneh yang dirasakannya saat melihat Adira ketakutan seperti itu.
semangat 💪👍