Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 3 ~
Sebelumnya, karena saya bukan dari kalangan TNI atau istri TNI, pengetahuan tentang TNI sangat minim, hanya tahu dari membaca serta dari teman yang memiliki suami seorang TNI. Jadi kalau ada yang nggak pas mohon maaf dan harap maklum. Atau mungkin ada readers yang memiliki suami anggota TNI bisa kasih saran dan pengetahuannya sedikit ya.
Happy Reading...
...🌟🌟🌟🌟...
Di perjalanan pulang setelah dari rumah orang tua mas Bima, hanya keheningan yang menyelimuti kami berdua.
Mas Bima fokus menyetir, dan aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Sementara Lala sudah terlelap di pangkuanku.
Aku mengalihkan perhatian dengan memandang kepadatan lalu lintas yang tersaji dari balik kaca mobil.
Terngiang perkataan mas Bima kalau aku sudah memanjakan Lala, terlintas juga kalimatnya yang mengatakan jika aku pergi, akan sulit mengatur Lala yang sudah bergantung padaku. Kecemasan kalau-kalau aku dan Lala memang akan di pisahkanpun semakin menyeruak.
Membayangkan berpisah dengan Lala, sungguh hatiku seperti di remas-remas dengan sangat kuat. Rasa sakitnya seakan menghimpit dada hingga sesak luar biasa.
Tanpa sadar aku meneteskan titik bening dari pelupuk mata. Tanganku yang tadi menepuk-nepuk punggung Lala, bergerak menyapu mataku yang berembun. Sesekali menghela nafas untuk mengurangi rasa nyeri yang berdenyut dalam hati.
Sanggupkah aku berpisah dengan Lala? Hatiku bertanya dengan debaran jantung yang mendadak berdesir.
Jawabannya tentu tidak, aku sudah terlanjur sayang pada anak ini, aku tidak bisa meninggalkannya, tapi bagaimana dengan ayahnya kalau memutuskan bercerai dariku jika menemukan wanita yang ia cintai?
Mau tidak mau, aku harus pergi dari kehidupan Lala, bukan? dan sepertinya aku harus mempersiapkan diri untuk hari perpisahan itu.
"Apa yang kamu pikirkan?" tiba-tiba ku dengar suara mas Bima dari samping kananku.
Aku menoleh sekilas, lalu menggeleng.
"Enggak ada" kataku yang kemudian mengecup puncak kepala Lala.
"Nggak ada apa-apa, kenapa nangis?"
Nah kan, mas Bima tahu kalau aku menangis, dia emang sepeka itu untuk urusan perasaan. Dia bahkan tahu persis kalau aku mencintainya.
"Nggak mau ngomong? apa mulutmu hanya pajangan?" sindirnya ketika aku tak kunjung memberi jawaban.
Mendengar ucapannya itu, kepalaku reflek terangkat, merasakan desir-desir aneh yang persekian detik menjalar ke tubuhku.
"Nggak ada apa-apa, aku cuma nggak tega lihat Lala kesakitan tadi" bohongku melirik luka Lala di lututnya.
Ekor mataku menyadari kalau mas Bima tengah menatapku dengan sorot menyelidik.
"Yakin, cuma itu?" tanyanya sambil memalingkan wajah ke arah jalan yang gelap.
Detik itu juga, ganti aku yang menatap mas Bima. Aku hanya bisa menatap sisi wajahnya sebelah kiri.
Saat mas Bima kembali menoleh untuk mempertemukan netra kami, pandangan kami otomatis langsung bertali beberapa detik sebelum dengan cepat aku memutuskan kontak mata dengannya.
Perasaan yang ada di hatiku makin tak karuan, detak jantungkupun ikut berdegup kian kencang, itu sebabnya aku selalu tak berani menatapnya lebih lama.
Kemudian hening.
Aku kembali sibuk dengan pikiranku.
Terkadang seseorang yang paling kita cintai, dialah yang pandai melukai perasaan.
Aku selalu merasakan hal itu semenjak menikah dengan mas Bima. Bukan karena mas Bima berkhianat, tapi hatiku sakit mencintai seorang diri.
Pepatah jawa yang mengatakan 'Tresno jalaran soko kulino' seakan tidak berlaku untuk mas Bima. Buktinya, dua tahun tinggal satu atap, tak bisa membuatnya mencintaiku, dia masih dengan egonya yang selalu menampilkan ekspresi dingin dan datar.
Tak ada kehangatan barang sedikit ada di raut wajahnya.
Apa lebih baik aku mundur? dari pada bersama tapi berjuang tanpa mas Bima, yang ujung-ujungnya justru akan semakin melukaiku?
Entahlah...
***
Keesokan paginya, aku melakukan rutinitas pagi seperti biasa, menyapu, menyiram tanaman, menyiapkan sarapan, serta mempersiapkan diri berangkat kerja. Aku juga membantu Lala bersiap-siap untuk pergi ke play group. Mas Bima memang menitipkan Lala di sana sejak usianya belum genap dua tahun. Itu karena kami sama-sama sibuk dengan tuntutan pekerjaan sebagai ASN.
Lalapun tidak keberatan jika harus tinggal bersama bunda di Play group sampai pukul empat sore. Ada banyak anak-anak lain yang juga di titipkan karena kesibukan orang tuanya.
Play group itu benar-benar sudah terpercaya, buktinya mereka bisa menjaga anak-anak kami dengan baik. Selain mendapat pengawasan dari para bunda di play group, anak-anak juga bisa bersosialisasi dengan teman-teman lainnya, jadi pandai bercerita, mewarnai, dan juga bernyanyi.
Setelah Lala siap dengan pakaian dan rambut yang ku ikat tinggi, aku mempersiapkan tasnya yang akan ku isi dengan baju ganti lengkap pakaian dalam, beberapa diapers, dan juga minyak kayu putih beserta bedak. Untuk jaga-jaga saja kalau bajunya basah, atau kotor.
Setelahnya, segera aku bawa Lala ke kamarku yang ada di depan kamarnya.
Aku di temani putri kecilku berganti pakaian.
"Bunda sudah mandi?" tanya Lala ketika mengetahui aku langsung mengganti pakaianku.
"Sudah, sayang"
Selang sekian menit, aku sudah siap, ku kenakan sepatu heels lalu menyambar tas yang sudah ku persiapkan semalam.
"Ayo" ajakku yang langsung di anggukan oleh Lala.
Ku gandeng tangan mungilnya menuruni tangga.
Saat berada di tengah-tengah anak tangga, aku terkesiap mendapati suamiku yang baru saja keluar dari kamar. Dia sudah siap dengan atribut pakaian dinas hariannya. Dan jantungku, benar-benar berontak di dalam sana.
Apa memang seperti itu jika menghadapi pria yang kita cintai? mas Bima yang sudah mencuri hatiku sejak lama, rasanya, aku seperti ingin pingsan saking bahagianya bisa menatap wajah pria yang ku cintai.
Karena hari ini mas Bima dinas di kantor lanud setelah tiga minggu dinas di lapangan, dia akan berada di sana hingga pukul tiga sore.
Langkah mas Bima lebih dulu sampai di meja makan, hanya selang setengah menit, aku dan Lala pun sudah berada di ruang makan.
Mas Bima menarik kursi untuk Lala, sementara aku langsung menyiduk nasi untuk mas Bima, Lala dan untukku sendiri.
"Selamat pagi, yah"
"Selamat pagi, sayang" Mas Bima tersenyum dan mengusap kepala Lala.
"Selamat pagi, mas"
"Pagi"
Ku tarik napas perlahan sesaat setelah mendengar jawaban singkatnya.
"Lala nggak mau sayur bun" katanya saat melihatku menyendok sayur buncis.
"Kenapa?"
"Nggak suka"
Selain kangkung, bayam dan brokoli, Lala memang tidak suka sayur.
"Ini enak loh nak" kata Mas Bima melirik Lala.
"Nggak mau"
"Ada slice sapinya juga, tetep nggak mau?" tanyaku lembut.
Anak itu tetap saja menggeleng, aku pun menyerah, hanya mengambilkan nugget dan sosis.
Kami mulai menyuapkan nasi ke mulut, sambil sesekali aku membantu Lala makan, pandanganku juga sesekali melirik gelas mas Bima, biar tahu kapan aku harus mengisi gelasnya.
"Nanti Lala di jemput siapa?" tanyanya melirikku dan mas Bima bergantian.
"Di jemput ayah ya" Tanpa pikir mas Bima langsung menjawab pertanyaan Lala.
"Iya"
Aku diam menyimak. Memang jika mas Bima di rumah, dia yang akan menjemput Lala di sekolah setelah pulang kerja.
Dia yang pulang pukul tiga sore, akan sampai di sekolah Lala tepat pukul empat. Jarak rumah dengan Lanud tempat mas Bima dinas memang lumayan jauh. Beda denganku yang hanya lima belas menit saja dari jarak tempatku kerja dengan sekolah Lala. Itu karena aku memilih playgroup yang dekat dengan area kerjaku agar bisa sesekali nengokin Lala saat jam istirahat makan siang. Itupun kalau sempat.
"Bunda siangnya jengukin Lala enggak?"
"Enggak ya, nak. Bunda sibuk kalau hari senin"
"Iya" Anak ini agak sedikit kecewa. Tapi dia pandai sekali menyembunyikan kekecewaannya.
"Nggak apa-apa kan, La?" tanyaku gamang.
"Nggak apa-apa bun, tapi bunda janji, malamnya temani Lala main"
"Iya" sahutku mengusap belakang kepala Lala.
Sepuluh menit berlalu, mas Bima sudah menghabiskan sarapannya, lalu meneguk air di gelasnya.
"Ayah berangkat dulu, Thalia jangan nakal, jadi anak baik ya!" pesannya sambil mengelap mulut menggunakan tisu.
"Iya ayah"
Pria yang bagiku ketampanannya masyaa Allah ini bangkit, mengulurkan tangan pada Lala. Setelah Lala, giliran aku mengecup punggung tangannya.
"Hati-hati di jalan, jangan ngebut" pesannya merujuk padaku.
"Iya, mas"
"Ayah pergi ya nak" Mas Bima mengecup pucuk kepala Lala sebelum benar-benar beranjak dari ruang makan.
"Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumsalam. Hati-hati, mas!"
"Hemm" Pria itu melenggangkan kaki dengan langkah tegas.
Aku menatap punggung lebar mas Bima.
Mau sampai kapan pernikahan kita seperti ini, mas?
Kalau mas tidak memberi kesempatan untuk hati mas menerimaku, maka aku yakin dalam dua tahun ke depan, hubungan kita akan sama seperti dua tahun yang sudah kita lalui. Akan stuck disini dan tidak ada kemajuan.
Bersambung.
jujur pgn jg ada kisah ttg kalangan menengah ke bawah. Misal guru SD, dokter yg bertugas di desa terpencil dg kehidupan yg sederhana...ato apalah...😁
tp gpp lah ...nikmati kisah rumah tangganya sj...
lanjutt... .
pasti Bima ke hotel itu ngelabrak Gesya krn sdh blg yg engga2 ke Arimbi wkt itu. Gesya itu licik, pandai memanfaatkan situasi, mgkn pas Bima telp mo ngemabrak...Gesya sengaja menyuruh menemui di hotel. sengaja menciptakan kesalah pahaman dg dibantu Yoga....