NovelToon NovelToon
Jodoh Untuk Kakak

Jodoh Untuk Kakak

Status: tamat
Genre:Romantis / Tamat / Cintapertama / Cintamanis / Cinta Seiring Waktu / Teman lama bertemu kembali
Popularitas:5.3k
Nilai: 5
Nama Author: veraya

Ketika adik-adiknya sudah memiliki jodoh masing-masing, Ara masih diam tanpa progres. Beberapa calon sudah di depan mata, namun Ara masih trauma dengan masa lalu. Kehadiran beberapa orang dalam hidupnya membuat Ara harus memilih. Teman lama atau teman baru? Adik-adik dan keluarganya atau jalan yang dia pilih sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon veraya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 24 : Pencarian

     Mahesa celingukan di depan gerbang rumah Ara. Mbok Siran membuka gerbang tapi tidak mempersilakan Mahesa masuk.

     “Mas Mahesa nyari siapa?”

     “Ara ada Mbok?”

     “Mbak Ara nggak di rumah.”

     “Ooh…pergi ya?”

     “Iya.”

     “Sama siapa, Mbok?”

     “Saya nggak tahu perginya sama siapa.”

     “Ke luar kota, Mbok? Nomernya saya hubungi dua hari ini kok nggak bisa."

     “Saya juga nggak tahu, Mas. Maaf ya.”

     “Ya udah, Mbok.”

     Pintu gerbang itu tertutup perlahan. Mahesa menyimpan tanda tanya besar dalam hatinya. Dia mengayuh sepedanya pulang ke rumah.

     “Muka apa keset itu? Kusut banget.”

     Tante Nia mengucek rambut Mahesa sambil tertawa.

     “Ganteng begini, masa’ keset sih, Tante.”

     “Ganteng-ganteng jomblo akut. Nggak seru.”

     Mahesa meminum air dingin dari dalam kulkas.

     “Gara-gara Ara nih. Kamu habis dari rumahnya, kan? Nggak ketemu? Ara-nya kabur lagi?” Tante Nia melirik Mahesa sambil mencuci piring.

     Mahesa terdiam.

     “Mahes…Tante sayang sama kamu, jangan sampai kamu cuma mikirin Ara padahal dia-nya nggak mikirin kamu. Pernikahan di depan mata aja dia bisa gagal, apalagi pacaran.”

     “Tante, maaf, kalau nggak tau cerita sebenarnya jangan ngikut opini publik yang nggak bener."

     Mahesa mengambil kunci mobil lalu pergi meninggalkan Tante Nia yang masih terbata ingin menasehati. Tapi melihat temperamen Mahesa yang mulai emosi, Tante Nia memilih diam.

     Di tengah perjalanan, Mahesa menghubungi Alan untuk mencari keberadaan Ara.

     “Halo, Alan?”

     “Siapa ini?”

     “Mahesa.”

     “Wooo, wasup Bro? Kok tahu nomerku?”

     “Dari akun tokomu. Aku mampir ya, perlu sepatu baru.”

     “Oke! Aku ada kok, sini aja.”

     Mahesa melepas earphone nirkabelnya lalu mengatur tujuan lokasi dengan aplikasi peta. Tidak jauh dari lokasinya saat ini.

     Toko sepatu milik Alan sedang sepi ketika Mahesa sampai di sana.

     “Weits, dah keren aja nih bocil. Udah lama, Lan?” tanya Mahesa sambil menyalami Alan.

     “Belum, baru aja. Aku kira kamu dah balik ke habitatmu, Mas. Ternyata masih nyangkut di sini. Nanti minta foto bareng dong. Buat promosi. Boleh, Mas?”

     “Boleh. Kamu masih futsal? Kapan-kapan main bareng?”

     “Masih, dong! Olahraga penting banget. Kapan-kapan kalau aku main, aku undang Mas Mahes.”

     “Sip. Thank you. Eh, ada sepatu edisi ini?”

     Mahesa menunjukkan sebuah gambar dari ponselnya.

     “Kayaknya ada, ukuran berapa?”

     “42.”

     “Bentar ya. Duduk aja dulu. Liat-liat juga boleh.”

     Mahesa memilih untuk keliling sedikit di toko ini. Dia teringat sepatu yang pernah Ara beri padanya.

     Mahesa sering jadi korban perundungan semasa sekolah. Sepatunya sering disembunyikan oleh teman-temannya yang jahil. Mahesa pulang tanpa alas kaki, lalu Ara memberikan sepatunya. Sebelah-sebelah.

     Kalau dipikir-pikir, nggak guna juga sepatu cuma sebelah, telapak kaki yang sebelah masih perih kena tanah atau pedal sepeda.

     Mahesa tertawa geli.

     “Ada nih, Mas. Kebetulan tinggal satu.”

     “Mantaap!”

     Mahesa mencoba sepatunya.

     “Pas. Enak banget dipakai nih.”

     “Ya dong. Kuallitas sepatu yang aku jual nggak ngecewain lah pokoknya.”

     Mahesa tertawa sambil mengacungkan jempol.

     “Ada yang ukuran 39?”

     Alis Alan mengkerut. Dia melihat kaki Mahesa yang besar. Ukuran 39 buat siapa? Ah, bisa aja adiknya.

     “Nggak ada, Mas. Buat siapa? Barangkali dia mau yang model lain. Atau, aku ambilin lagi dari stok gudangnya? Tapi nunggu sekitar tiga hari.”

     “Kalau Ara kira-kira suka yang kayak gimana?”

     Alan tertawa.

     “Ooh, ke situ toh arahnya.”

     Mahesa tertawa pendek.

     “Mbak Ara sih sukanya yang warna biru. Tapi akhir-akhir ini dia lagi pengen beli sepatu gunung baru. Pernah tak goda biar beli sepatuku tapi dia nggak mau tuh.”

     “Ara lagi mendaki sekarang?”

     “Emm...aku nggak tahu si, Mas.”

     “Dia baik-baik aja, kan? Biasanya dia pamit sama keluarga kalau mau pergi ke mana aja. Apalagi mendaki gunung.”

     “Mas Mahes…jangan bilang kamu tahu ini dari aku ya, kalau Mbak Ara tahu, aku bisa dipithing.”

     “Emang ada apa?”

     “Mas Mahes beneran suka sama Mbak Ara?”

     Mahesa merasa kikuk sendiri ketahuan oleh adiknya Ara.

     “Gini, Mas. Aku kayaknya paham gimana perasaanmu sekarang. Dulu aku sempet nebak kamu suka sama Mbak Ara, tapi Mbak Ara-nya nggak peka dan dengan lugunya milih si cowok brengsek itu. Kalau Mas Mahesa mau ngakuin perasaanmu ke dia, aku dukung kamu. Dengan syarat, jangan sampai bikin kakakku sakit hati lagi.”

     “Kalau masalah sakit hati, aku nggak bisa jamin, Lan. Kamu tahu sendiri kakakmu itu kadang punya pemikiran sendiri. Kita maksudnya begini, dia melenceng ke mana. Aku nggak bisa kalau kamu suruh janji jagain hatinya dia, karena hatinya Ara ya Ara sendiri yang bisa me-manage. Aku cuma bisa jagain diriku sendiri biar bisa kuat ngadepin Ara.”

     Alan tertawa.

     “Anda lulus. Aku kasih tahu Mbak Ara di mana.”

...* * * * *...

     Ibu Kota terasa begitu asing bagi Ara. Tapi mau nggak mau dia harus datang ke sini untuk menuntaskan pekerjaan. Pamungkas sudah menyiapkan penginapan sederhana untuk Ara. Begitu Ara meletakkan ranselnya, hal pertama yang dia lakukan adalah memberi kabar pada orang rumah bahwa dia sudah sampai dengan selamat.

     Ara duduk di samping tempat tidur. Kamar ini nyaman, bersih, dan terang. Ara memilih di lantai paling atas karena tidak ingin terganggu dengan lingkungan sekitar. Cukup dekat juga dengan kantor rumah produksi yang disebutkan Pamungkas. Cukup jalan kaki sepuluh menit.

     Rasa lapar sudah menggelitik perut Ara. Selesai mandi, dia segera membeli mie instan dalam cup untuk diseduh. Dia lagi malas makan nasi, dan tidak ingin bertemu banyak orang. Dia sedang dalam posisi ‘bertapa’ untuk beberapa hari ke depan.

     Ara mengirim pesan pada Pamungkas.

     [Aku udah nyampek kontrakan, Kak.]

     Sambil meniup kuah mie instan yang masih panas, Ara membuka jendela. Dia memandang hiruk pikuk di bawahnya. Kota besar ini benar-benar sibuk.

     [Oke, nanti di sana ketemu sama Pak Doni ya. Datang aja nanti malam jam 7.]

     [Oke.]

     Masih ada waktu sekitar tiga jam untuk Ara tidur. Di sebelah penginapan Ara ada hotel besar yang terpisahkan gang kecil dengan posisinya saat ini. Ara melihat cat keemasan yang mewah dari hotel itu.

     Ara merasa jengah melihat hotel dan kehidupan mewah yang dulu pernah dia rasakan. Seolah-olah semua kesenangan itu palsu dan berakhir menjerumuskan dirinya dalam lubang hitam.

     Ara mengusap wajahnya, mencoba menghilangkan semua kenangan masa lalu. Dia menghibur dirinya sendiri dengan menonton video para kucing di rumahnya. Sebelum berangkat, Ara merekam tingkah polah mereka bertiga. Klepon, Cemplon, dan Abon.

     Ketiga kucingnya selalu bisa membuat Ara terhibur. Walaupun mereka cuma tidur atau main bola kertas, sudah cukup menenangkan hati Ara yang sering berkecamuk. Ada penelitian yang menyimpulkan bahwa dengkuran kucing bisa meredakan ketegangan dan mereduksi stres.

     Ara setuju dengan teori itu. Dia butuh kucing untuk tempat berkeluh kesah jika manusia sudah tidak bisa diajak bicara. Aneh, tapi tidak apa-apa. Demi keselamatan jiwa dan raga.

     Pukul tujuh malam Ara sudah duduk bersama Pak Doni dan tim produksi film.

     “Bu Risty punya banyak perusahaan, Real Dream ini hanya sebagian kecil. Makanya dia tidak punya waktu banyak untuk kita.”

     “Nggak apa-apa, Pak. Saya lebih nyaman kerja sama Pak Doni daripada dia."

     “Dia baik, tapi kalau udah sewot ya semuanya terlihat salah. Maklum lah, bu bos, orang kaya, dan punya segalanya.”

     Ara terdiam. Risty, temannya semasa SMA yang dulu adalah orang yang sederhana. Bahkan kadang makan di kantin pun harus barengan dengan Ara. Dia tidak pernah naik kendaraan pribadi untuk berangkat dan pulang sekolah.

     Nasib seseorang tidak ada yang tahu. Siapa sangka beberapa tahun kemudian dia berubah jadi bos kaya raya.

     Dan bisa rangkul tangannya Saka.

     "Kenapa selama ini kamu sembunyi, Ra?"

     “Kalau dalam ilmu bela diri, saya sedang menghindari pukulan, Pak. Dipukul tu sakit.”

     “Nyerang dong. Kalau kamu nggak nyerang, bakalan dipukul terus.”

     “Saya cinta damai. Kalau bisa, saya menghindari perang saja.”

     “Selama kamu masih hidup, akan selalu berada di medan perang, Ra. Musuh akan selalu ada di sekeliling kamu. Mau kamu menghindar ke lubang semut sekalipun, mau nggak mau, cepat atau lambat, kamu pasti akan menghadapi mereka. One by one. Atau keroyokan.”

     “Jangan nakutin gitu lah, Pak. Masak keroyokan.”

     “Lihat bagusnya. Kalau masalah datangnya keroyokan, barangkali habis itu kelar semua, kamu tinggal leha-leha. Tapi bisa jadi masa hidupmu juga selesai. Sodara saya itu kayanya luar biasa, masalah yang dia hadapi juga luar biasa. Rezeki dan masalah datang barengan, bruk, habis itu dia meninggal. Tugasnya di dunia sudah selesai.”

     Ara merinding.

     “Hadapi, Ra! Tanpa kamu sadari, ketakutan kamu itulah yang bikin kamu tambah kuat.”

     Ara tertegun. Selama ini dia mengira bahwa takut adalah hal yang melemahkannya, dan berani adalah hal yang menguatkannya. Tapi tanpa adanya rasa takut, kita tidak akan tahu bagaimana rasanya jadi pemberani bukan?

     Keberanian ada karena rasa takut. Ara bergidik.

     Pertemuan pertama dengan tim produksi selesai dalam waktu tiga jam. Permulaan selalu sulit untuk Ara. Dia mencoba se-profesional mungkin dengan mengesampingkan perasaannya yang masih takut akan terjadi sesuatu.

     Ara tetap meminta wajahnya tidak ditampilkan dalam promosi apapun sebelum film itu rilis nantinya. Cukup dengan avatar atau siluet badan yang menghadap belakang. Pokoknya wajahnya jangan dulu.

     Ara masih merasa aman Risty tidak menyebutkan judul filmnya ketika acara ulang tahun itu. Ara masih sering menjentikkan kuku jarinya jika mengingat kejadian itu. Rasa campur aduk.

     Pulang ke kontrakan, Ara jalan kaki melewati hotel mewah itu lagi. Ara mendongak ke atas. Tingginya gedung itu menyimpan kerendahan moral orang-orang jahat yang selalu membuatnya bergidik.

     Beberapa detik kemudian terdengar suara decit rem dan bunyi klakson yang panjang seperti tertekan sesuatu. Ara membalikkan badan. Sebuah mobil putih berhenti hanya beberapa meter dari tempatnya berdiri. Sepertinya Ara mengenali plat nomor itu...

1
Sumringah Jelita
paket komplit
veraya: terima kasih atas apresiasinya 🥰🥰 🥰
total 1 replies
ian gomes
Keren abis, thor! Jangan berhenti menulis, ya!
veraya: Terima kasih supportnya, smangat lanjut 🥰🥰
total 1 replies
Shion Fujino
Lanjutkan ceritanya, jangan sampai aku ketinggalan!
veraya: Terima kasih dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!