Lahir di sebuah keluarga yang terkenal akan keahlian berpedangnya, Kaivorn tak memiliki bakat untuk bertarung sama sekali.
Suatu malam, saat sedang dalam pelarian dari sekelompok assassin yang mengincar nyawanya, Kaivorn terdesak hingga hampir mati.
Ketika dia akhirnya pasrah dan sudah menerima kematiannya, sebuah suara bersamaan dengan layar biru transparan tiba-tiba muncul di hadapannya.
[Ding..!! Sistem telah di bangkitkan!]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bayu Aji Saputra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepergian Raelion
Amon tertawa pelan, menurunkan pedangnya dengan gerakan yang seolah mengatakan bahwa latihan hari ini sudah cukup.
Raut wajahnya berubah rileks, menghapus semua kewaspadaan yang sebelumnya memenuhi arena latihan.
"Sudah cukup untuk hari ini, Tuan Kaivorn," kata Amon, nadanya tenang.
Kaivorn mengerutkan kening, sedikit bingung. "Kenapa? Kita baru saja memulai."
"Anda lupa?" Amon tersenyum tipis. "Bukankah Anda harus mengantar kepergian Raelion?"
Kaivorn terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut seolah-olah semuanya mendadak jelas baginya.
"Ah, benar juga," kata Kaivorn, suaranya terdengar tanpa beban. "Kakak tertuaku sedang menunggu."
Dengan satu gerakan yang sangat presisi, Kaivorn melemparkan pedang kayunya ke arah rak, dan dengan sempurna, pedang itu masuk ke tempatnya.
Tanpa berbasa-basi, ia memberi penghormatan singkat kepada Amon, lalu berjalan meninggalkan arena.
Amon memperhatikan punggung Kaivorn dengan senyum samar, menyaksikan bagaimana pemuda itu selalu tenang dalam setiap tindakannya.
Setelah itu, Amon menutup matanya sejenak, menikmati momen tenang sebelum menyimpan pedangnya.
Beberapa waktu kemudian, Kaivorn berdiri di gerbang kastil bersama Selvara, kakak keduanya yang selalu penuh perhatian.
Selvara memandang Kaivorn dengan senyum lembut, seperti seorang kakak yang sudah sangat mengenal adiknya.
"Kamu datang langsung setelah latihan, ya?" tanya Selvara, matanya menyapu tubuh adiknya yang masih berpeluh.
Kaivorn mengangguk tanpa banyak kata. "iya," jawabnya singkat.
Selvara tertawa kecil, menutup hidungnya sambil berkata, "Pantas saja bau."
Kaivorn tersenyum malu, menggaruk belakang kepalanya. "Hehe."
Keduanya menunggu dengan tenang untuk mengantar kepergian Raelion.
Meskipun suasana tampak santai, ada ketegangan yang tidak terucapkan di antara mereka, terutama ketika bayangan kehadiran ibu mereka, Elandra, mendekat.
Elandra Vraquos muncul dari balik gerbang besar, sosoknya anggun dengan pakaian bangsawan yang menandakan wibawa dan kekuatan politik.
Senyumnya lembut, tapi sorot matanya tetap tajam, terutama ketika tertuju pada Kaivorn.
"Raelion sudah bersiap?" tanya Elandra kepada Selvara, seolah mengabaikan Kaivorn sesaat, meskipun kehadirannya sangat terasa.
"Ya, Ibu. Dia baru saja selesai memeriksa perbekalannya," jawab Selvara dengan tenang.
Mata Elandra kemudian beralih kepada Kaivorn, memandang anak bungsunya dengan sorot mata penuh makna.
"Kau sudah selesai berlatih?" tanya Elandra, suaranya terdengar datar, seolah pertanyaan itu tidak lebih dari sebuah formalitas.
Kaivorn mengangguk dengan cepat. "Sudah, bu."
Elandra menatapnya lebih lama sebelum melanjutkan, "Kau sebaiknya mengganti pakaianmu sebelum menemui Raelion." lalu dia menambahkan. "Tidak pantas kau berdiri di sini seperti ini."
"Ya, Bu." Kaivorn menjawab, tapi tak ada sedikit pun rasa terganggu di wajahnya.
Ia tahu benar bagaimana ibunya melihatnya—bukan dengan harapan yang sama seperti kepada Raelion atau Selvara, tapi lebih sebagai anak yang tersesat di jalan yang salah.
Selvara, yang berdiri di samping Kaivorn, merasa gerakan dingin ibunya, tapi memilih untuk tetap diam.
Elandra mencintai Kaivorn, tapi rasa kecewa itu sering terlihat jelas di momen-momen seperti ini.
Tidak lama kemudian, Raelion muncul dengan penuh wibawa, mengenakan baju perang yang terlihat mewah, tapi tidak berlebihan.
Ia menghampiri mereka tanpa banyak bicara, hanya menganggukkan kepala sebagai tanda penghormatan.
Elandra tersenyum bangga kepada Raelion, wajahnya berubah lebih lembut. "Kau sudah siap, Raelion?"
Raelion mengangguk. "Aku akan segera berangkat, Ibu."
Kaivorn melihat kakaknya dengan perasaan campur aduk—di satu sisi, ia mengagumi Raelion yang selalu tampak sempurna, di sisi lain, ia merasa jarak di antara mereka semakin tak terjangkau.
Meskipun demikian, tidak ada kecemburuan di dalam dirinya, hanya sebuah rasa lega bahwa beban besar keluarga itu tidak ditimpakan padanya.
"Semoga perjalananmu lancar, Kak," ucap Kaivorn akhirnya, suaranya rendah tapi tulus.
Raelion hanya mengangguk singkat. "Terima kasih."
Elandra menatap interaksi singkat itu dengan pandangan yang sulit ditebak.
Hatinya mungkin menginginkan sesuatu yang lebih dari anak bungsunya, tapi Kaivorn tidak pernah menunjukkan apa yang dia harapkan.
Saat Raelion menaiki kudanya, Elandra, Selvara, dan Kaivorn hanya bisa melihatnya pergi, membawa nama besar keluarga Vraquos yang menunggu di pundaknya.
Kaivorn menarik napas dalam-dalam, seolah merasakan tekanan harapan keluarganya yang membebani dirinya, meskipun itu bukan tanggung jawabnya.
"Ngomong-ngomong," batinnya bergema, "aku jadi penasaran dengan kemampuannya."
"Sistem," panggil Kaivorn dalam hati. "Perlihatkan profil kakakku, Raelion," perintahnya.
Segera, di hadapannya muncul deretan informasi tentang pewaris keluarga Vraquos itu.
...—————————————————————————...
...[Profil]...
...[Nama: Raelion Vraquos]...
...[Tittle: The Successor of the Sword Legend—The Ambition Blade—Emotionless Swordmaster—And 17 Others..]...
...[Usia: 24]...
...[Tinggi Badan: 1,91 Meter]...
...[Berat Badan: 87 Kilogram]...
...•••••••••••••••••••••••••••••••...
...[Kemampuan]...
...[???????????]...
...••••••••••••••••••••••••••••••••••...
...[Statistik]...
...[Kekuatan: ????]...
...[Konstitusi: ????]...
...[Kecekatan: ????]...
...[Kecerdasan: 31]...
...[Pesona: 31]...
...—————————————————————————...
"Tanda tanya?" gumam Kaivorn. "Sistem, kenapa semua kemampuannya disembunyikan?"
[Tingkat kekuatan anda terlalu lemah untuk melihat detail kemampuan Raelion Vraquos.]
Seketika, wajahnya yang biasanya tenang menunjukkan sedikit frustrasi. "Lagi?" pikirnya.
Sebelum ia bisa tenggelam lebih dalam dalam renungannya, sebuah tangan kokoh menyentuh bahunya.
Sentuhannya menggetarkan, seolah membawa bobot sebuah dunia.
"Tuan Kaivorn," suara Amon terdengar dari belakang, suaranya dalam dan mengandung kengerian.
Kaivorn menoleh, dan di sana berdiri Amon, Komandan Tertinggi Ksatria Suci.
Wajah Amon, yang biasanya tegas dan tanpa keraguan, sedikit berkerut, seolah ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"Sir Amon?" tanya Kaivorn, lebih kepada dirinya sendiri.
Dia belum sepenuhnya terbiasa melihat Amon dengan ekspresi semacam ini.
"Apa yang Anda lakukan di sini?" lanjutnya, kali ini benar-benar mengarahkan pertanyaan kepada Amon.
Amon melangkah melewati Kaivorn dengan langkah berat yang tetap penuh kehormatan.
"Saya ingin mengantar kepergian Raelion juga, Tuan," jawab Amon, suaranya datar..
Raelion, yang mendengar percakapan itu, menoleh dengan tenang.
Mata merahnya menatap dingin dan penuh perhitungan, sebagaimana layaknya seorang pewaris ahli pedang.
"Komandan Tertinggi Ksatria Suci ingin mengantar kepergianku?" tanya Raelion dengan suara datar yang tak menampakkan emosi apapun, meski kata-katanya tetap terdengar sopan.
"Sebuah kehormatan bagiku," lanjutnya sambil memberi anggukan hormat yang kaku.
Amon tersenyum tipis, tapi sorot matanya tajam. "Lalu kenapa Anda tidak turun dari kuda, Tuan Muda Raelion?" tanyanya, dengan nada yang mengandung sindiran halus.
Raelion terdiam sejenak, matanya bertemu dengan pandangan Amon.
Waktu terasa membeku di antara mereka.
Kaivorn yang memperhatikan dari samping, tidak bisa mengabaikan ketegangan yang muncul.
Selvara, yang berdiri di dekat Kaivorn, tampak gelisah.
Meski biasanya tenang dan anggun, kali ini ada sesuatu yang membuatnya waspada.
"Kaivorn," panggil Selvara, nadanya pelan namun serius.
Kaivorn menoleh. "Ya?" balasnya cepat.
"Sepertinya sesuatu akan terjadi," kata Selvara dengan sorot mata penuh kehati-hatian.
Meski dia seorang pendekar pedang yang sangat berbakat, situasi di depannya tetap membuatnya gugup.
Kaivorn mengangguk pelan, matanya terus memerhatikan Raelion dan Amon.
"Sepertinya begitu," balas Kaivorn, ada sedikit ketidakpastian di balik nada suaranya.
Namun setelah beberapa saat yang tegang, Raelion akhirnya tersenyum tipis, sesuatu yang jarang terlihat dari pewaris keluarga Vraquos ini.
Dengan anggun, dia mulai turun dari kudanya, memperlihatkan tubuhnya yang penuh disiplin dan kekuatan yang terkendali.
Namun sebelum dia bisa benar-benar turun, Amon sudah meletakkan tangan besarnya di bahu Raelion.
"Tidak perlu dilakukan, Tuan Muda Raelion. Aku hanya bercanda," kata Amon sambil menghela napas panjang.
Suaranya kembali normal, seolah-olah ketegangan tadi tak pernah ada.
Raelion hanya mengangguk kecil, tak sedikit pun tersinggung.
Kaivorn, di sisi lain, merasa ada banyak hal yang tersirat dalam pertukaran itu.
Selvara menghela napas lega, matanya yang lembut memantau kedua pria di hadapannya.
Raelion yang baru saja mendekati tanah setelah hampir turun dari kudanya, kembali mengangkat tubuhnya dengan satu gerakan halus.
"Kalau begitu, aku akan melanjutkan perjalananku," kata Raelion sambil menatap Amon dan Kaivorn dengan pandangan yang tidak terbaca.
Dia tampak tenang, terlihat tak memiliki kelemahan sedikitpun.
Pandangan datar Raelion bergeser seolah sedang menimbang-nimbang, namun akhirnya ia hanya menjawab dengan anggukan kecil, tanpa kata-kata.
Raelion menghentikan kudanya sejenak, memutar kepala dan menatap Selvara.
"Selvara," suara tegas Raelion memecah keheningan malam.
Selvara, yang sedang berdiri di bawah bayangan bulan, menoleh dengan alis terangkat.
"Apa?" tanya Selvara, suaranya dingin namun menyimpan sedikit kecemasan.
Raelion menghela napas panjang, lalu berkata tanpa keraguan, "Mungkin ini kali terakhir aku meninggalkan rumah."
Tatapan tajam Selvara mendadak goyah.
Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Apa maksudmu?" suaranya lebih berbisik daripada bertanya, seperti sudah tahu jawabannya, tapi tidak ingin mendengarnya.
Raelion tidak menjawab.
Sebaliknya, matanya beralih ke sosok yang berada di dekar Selvara—Kaivorn, yang seketika menegang di bawah pandangan kakaknya.
"Selvara," Raelion kembali berbicara, suaranya kali ini lebih lembut, penuh kepercayaan yang tak biasa. "Lindungi dia."
Selvara mengerutkan kening. "Kaivorn?"
"Dia... terlalu lemah," ujar Raelion, pandangannya tidak meninggalkan Kaivorn.
Kaivorn yang mendengar kata 'lemah' itu menahan napas, jantungnya berdebar keras, tapi ia tidak berani membantah—Tidak di depan Raelion.